BULAN Mei bagi Men Coblong adalah bulan yang menggelisahkan.
Beragam peristiwa-periswa besar terus mengusik dan menjadi teror yang terus menusuk-nusuk dan menguliti otaknya. Sebagai perempuan, ibu, dan istri banyak sekali pertanyaan yang menjegal hati dan pikirannya.
Men Coblong jujur saja merasa tidak nyaman.
Apakah yang sesungguhnya salah dari dirinya? Apakah karena usia yang makin “sepuh” membuatnya jadi penuh perasaan, jadi pandir dengan logika-logika yang telah dibangunnya sejak kana-kanak? Logika-logika kehidupan yang tiba-tiba saja jadi rubuh dan rapuh di dalam dirinya.
Peristiwa pengebom di Surabaya masih mencekik denyut nafasnya. Juga kematian tiga anak di Bali yang dibekap ibunya yang belum tuntas. Anak-anak yang jadi korban ideologi orang tua. Juga peristiwa politik yang menggugah
Dua puluh tahun lalu, 12 Mei 1998, peristiwa mencekam dan berdarah terjadi di kampus Universitas Trisakti, Grogol, Jakarta Barat, saat mahasiswa melakukan demonstrasi menentang pemerintahan Soeharto. Empat mahasiswa tewas dalam penembakan terhadap peserta demonstrasi yang melakukan aksi damai, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hartanto, dan Hendriawan Sie. Sementara itu, dokumentasi Kontras menulis, korban luka mencapai 681 orang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Tragedi Trisakti menjadi simbol dan penanda perlawanan mahasiswa terhadap pemerintahan Orde Baru. Setelah tragedi itu, perlawanan mahasiswa dalam menuntut reformasi semakin besar, hingga akhirnya memaksa Presiden Soeharto untuk mundur pada 21 Mei 1998. Kerusuhan yang bernuansa rasial sebenarnya sempat terjadi sehari setelah Tragedi Trisakti, yaitu pada 13-15 Mei 1998. Namun, kerusuhan itu tidak mengalihkan perhatian mahasiswa untuk tetap bergerak dan menuntut perubahan.
Terasa kontras sekali perjuangan anak-anak itu. Apakah setelah 20 tahun reformasi Indonesia sudah semakin “sehat”?
Presiden ke-3 RI BJ Habibie mengatakan, meski sudah 20 tahun reformasi, Indonesia malah dijajah politik identitas. Politik identitas tersebut diketahui menguat setelah Pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu. “Itu yang menjajah kita. Kita diadu domba,” ujar Habibie di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Senin (21/5/2018). Padahal korban politik identitas itu kata Habibie adalah rakyat Indonesia sendiri.
Men Coblong setuju dengan pemikiran itu. Politik identitas telah merasuki beragam “keluarga” yang makin hari merasa hidup ini terlalu berat untuk dinikmati dengan rasa syukur. Lihatlah! Banyak berita tidak masuk akal merambah dinding-dinding rumah keluarga yang privat. Kita bisa dengan mudah membaca via Line, bagaimana seorang anak tega membakar habis rumah orang tuanya sampai rata dengan tanah hanya karena alasan orang tuanya tidak bisa membelikan ponsel.
Di sisi lain, seorang anak SD menghamili anak SMP. Apakah yang sesungguhnya keliru dari cara-cara pendidikan di sekolah-sekolah kita? Merunut komentar di media sosial, ayah yang menuntun keluarganya menuju “jalan surga” sesungguhnya sudah memiliki benih-benih pemikiran anak sejak masih sekolah di sekolah menengah, dia tidak mau ikut upacara bendera. Hal ini diceritakan teman sekolahnya.
Jadi, bibit-bibit kekacauan itu sesungguhnya juga harus mulai menjadi tanggung jawab sekolah formal, untuk mendidik dan memahami arti menjadi manusia Indonesia yang sesungguhnya. Manusia Indonesia yang sadar bahwa mereka majemuk, dengan beragam perbedaan yang tidak bisa lagi dijadikan diskusi-diskusi tidak masuk akal.
Suatu hari ketika menjadi juri membuat buku ajar, Men Coblong juga kaget ada staf yang jelas digaji oleh negara dan bergerak di bidang pendidikan justru tidak menghormati perbedaan dan kemajukan. Padahal dia seorang pejabat tinggi di sebuah institusi pendidikan. Orang itu alergi memberi ucapan selamat hari raya bagi pegawai atau bawahannya yang berbeda keyakinan. Bagaimana mungkin orang-orang dengan pemikiran dan liku-laku seperti ini bisa lulus tes dan menduduki jabatan tinggi? Apakah dia bukan orang Indonesia?
Men Coblong benar-benar heran dengan beragam persoalan-persoalan di negeri ini. Di tengah dua puluh tahun merayakan reformasi, merayakan keterbukaan. Apa yang sesungguhnya berubah ketika saat ini politik identitas justru menjadi jalan untuk melempengkan kekuasaan.
Siapakah korban-korbannya? Anak-anak.
Lihatlah kasus keluarga-keluarga yang memilih “mati” demi masuk surga. Seorang guru yang mencabut nyawa tiga anaknya. Anak yang membakar rumah hanya alasan sepele. Bocah SD yang menghamili anak SMP. Sadarkah para “militan” yang masih membawa panji-panji identitas untuk duduk nyaman di kursi kekuasaan?
Men Coblong masih merasakan betapa getirnya wajah orang tua para pejuang reformasi untuk perubahan negeri ini mengantar jasad anak-anak mereka ke dalam liang lahat. Dua puluh tahun telah berlalu. Apa sesungguhnya yang berubah di negeri ini? Masihkah tega mengorbankan anak-anak? [b]