Suara tabuh gamelan dari speaker aktif yang terpasang di bawah pohon jepun mengiringi tarian gadis-gadis belia dari komunitas Seni Jari Menari, saat pembukaan pameran gambar di Kulidan Kitchen & Space, 24 Desember 2016 lalu.
Mereka menari dengan ‘lemuh’ meski memiliki keterbatasan dalam mendengar dan berbicara. Seolah menghipnotis para undangan yang hadir, semua terkagum dalam tapukan tangan. Di sela-selanya desiran angin sawah mengolah matahari sore, sehingga suasana terasa tetap adem di balik bangunan tinggi tempat gambar-gambar anak dipajang.
Pameran gambar yang bertajuk “Anak-anak bercerita dengan gambar, tentang desanya” diikuti oleh empat komunitas. Mereka adalah anak-anak dari Sanggar Anak Tangguh, Sanggar Bungan Sandat, Maha Putra Art dan Komunitas Seni Jari Menari.
Karya anak-anak ini terdiri dari lukisan dan sketsa berisikan visualisasi Desa Guwang. Ada gambar Catus Pata (jantung desa) berupa kemegahan patung Garuda Wisnu. Suasana jual beli di pasar tradisonal. Anak-anak juga melukis upacara ngelawang, ritual tradisi Melasti (penyucian diri dan rangkaian penyucian alam semesta).
Ada pula yang membuat lukisan motif Batun Timun (buji ketimun) yang diadopsi ke dalam ornamen Bali serta banyak lagi gambar lainnya yang merepresentasikan imajinasi anak tentang desanya.
Anak-anak diberikan kebebasan dalam mengemukakan ide mereka dalam gambar, sehingga hasil kreativitas yang muncul pun menjadi beraneka ragam. Bahkan salah satu anak, dalam bingkai gambar dengan berani melukiskan sebuah UFO yang mendarat di desa.
Deasy Tirayoh, penulis asal Sulawesi Tenggara (Sultra) yang ikut mengkurasi karya anak-anak menanggapi hal ini sebagai pertanda keluguan sekaligus kejeniusan imajinasi anak-anak.
Dalam pengantar akurasi, Deasy Tirayoh menjelaskan bahwa hal ini menunjukkan dalam dunia anak-anak, bermain merupakan media belajar yang harus mendapat perhatian serius. Sebab, di sinilah imajinasi mereka lahir, lalu terekam dengan cara melukiskan keinginan, harapan, dan impian.
Komang Adiartha, pemilik Kulidan Kitchen yang juga pendiri dari Sanggar Anak Tangguh memaparkan tema ini diangkat untuk mendekatkan anak-anak dengan lingkungan alam dan lingkungan sosial disekitarnya.
“Tema ini juga sebagai upaya mendekatkan konteks materi-materi pelajaran yang dipelajari anak-anak. Mengamati fenomena yang ada, di mana pendidikan justeru mencerabut manusia dari tanah di mana mereka berpijak yaitu desa,” kata Mang Adi, panggilan akrabnya.
Lebih lanjut desainer sekaligus pegiat perdagangan adil (fair trade) ini menggambarkan fenomena anak-anak cerdas dari suatu desa yang setelah bersekolah dan menamatkan pendidikan di kota justru tidak banyak yang kembali pulang untuk membangun desanya.
Kondisi ini, menurut Mang Adi, sangat merugikan desa karena desa menjadi kehilangan generasi-generasi terdidik.
Mang Adi menambahkan terwujudnya pameran ini juga berkat gagasan bersama dengan Made Bayak (Seniman Plasticology), Syafiudin Vifick (fotografer dan pendiri Komunitas Semut Ireng), serta Wayan Eko (pendiri Sanggar Bungan Sandat).
Pameran dibuka secara resmi oleh Perbekel Desa Guwang, A.A. Gede Oka Putra setelah memberikan beberapa katah kata sambutan. Selain itu pameran juga dihadiri oleh Bendesa Adat Guwang Wayan Dupa dan Wayan Hartawan, anggota DPRD Bali Nyoman Parta, masyarakat sekitar, serta para orang tua yang anaknya berkesempatan ikut dalam pameran.
Pameran akan berlangsung hingga 6 Januari 2016 di Kulidan Kitchen & Space Jl. Salya, Banjar Wang Bung, Desa Guwang, Sukawati, Gianyar. Untuk info lebih lanjut bisa kontak 081 338 665 862, 085 857 316 214, dan 081 747 635 66. [b]
Fotografer dengan zodiak Pisces. Lahir dan tinggal di Bali. Gemar nonton film, jarang membaca, lebih senang memotret ketimbang menulis. Selain memotret Ia juga membuat video. Email martinowayan@gmail.com atau IG @martinowayan.
Comments 1