Ada 141.072 pengungsi di 414 titik sedang menunggu kepastian.
Entah berapa lama lagi status Awas Gunung Agung akan berakhir. Kegiatan pemantauan aktivitas vulkanik terus dilakukan. Alat untuk deteksi dini juga dipasang. Jika ada letusan, akan ada alarm yang berbunyi hingga 2 Km. Terakhir dikabarkan Solfatar Gunung Agung mulai keabu-abuan (Bali Post, 8/10/2017).
Kejadian meletusnya Gunung Agung pada 1963 masih menjadi acuan bagaimana besar dan lamanya gunung ini meletus. Kita semua tidak berharap kejadian itu terulang kembali. Beribu doa dipanjatkan terus untuk kemakmuran Bali ke depan.
Tindakan evakuasi segera saat berstatus Awas sudah sangat baik dilakukan. Menangani ribuan pengungsi yang banyak tentu tidak mudah. Peranan berbagai pihak dan relawan sangat besar dalam memenuhi kebutuhan makanan, pakaian, toilet umum, dan lain-lain.
Kita tidak tahu sampai kapan akan metelus. Jika meletus akan seberapa lama.
Ke depannya di dalam suasana kejenuhan menunggu maka mewujudkan pengungsi yang mandiri dan berdaya guna diperlukan. Mereka perlu dikembangkan kreativitasnya dalam memasak makanan sendiri, membangun jamban bersama, atau membuat kerajinan yang bernilai ekonomi.
Pengungsi perlu dilatih keterampilan informal agar dapat bermanfaat. Bakatnya juga perlu disalurkan ke berbagai sektor terkait. Pelatihan dapat diberikan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), PKK dan terbuka bagi yang bersedia terlibat.
Hal ini akan membuat mereka tidak jenuh di pengungsian, mampu mendapatkan penghasilan sendiri, mengurangi ketergantungan dari bantuan pemerintah dan orang lain serta mampu menjadi pelatih bagi kelompoknya dalam membuat kerajinan maupun usaha lainnya. Pindah ke tempat baru bukanlah halangan untuk terus berkarya namun kesempatan untuk mengembangkan diri. Mereka harus tetap semangat.
Tat Wam Asi
Sejauh ini, masyarakat Bali sudah menerapkan sistem manajemen bencana berbasis masyarakat saat menghadapi status awas Gunung Agung. Dalam Pra Bencana ada empat kegiatan yakni kesiapsiagaan, pencegahan, mitigasi dan deteksi dini.
Dalam hal bencana letusan gunung maka yang perlu diperhatikan adalah menyelamatkan nyawa masyarakat. Pemetaan daerah rawan bencana sudah dibuat. Upaya evakuasi segera dilakukan untuk mengurangi resiko korban jiwa.
Kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi risiko bencana gunung meletus terlihat dengan baik. Mereka bersedia dengan cepat dievakuasi ke tempat yang aman setelah di tetapkan statusnya menjadi awas.
Ini menunjukkan kesadaran masyarakat tinggi dalam mengurangi risiko bahaya. Kalau mereka tidak sadar maka akan sangat sulit untuk melakukan tindakan evakuasi seperti ini. Bisa kita bayangkan mereka harus segera meninggalkan rumah, harta benda bahkan hewan ternaknya.
Peran masyarakat juga sangat besar dalam menyediakan tempat evakuasi. Balai banjar disiapkan dengan segera untuk manampung warga Karangasem. Ada juga yang ikhlas menyediakan rumah kontrakannya, kos-kosan yang kosong, garasi mobilnya, gudangnya untuk menjadi tempat pengungsian.
Kalau tanpa peran serta masyarakat aktif seperti ini sulit juga pemerintah bisa menyiapkan tenda yang ribuan jumlahnya.
Bantuan pemberian sembako, sabun, odol, air mineral, selimut, pakaian, dan gas berdatangan dari seluruh negeri. Masyarakat tanpa komando berbagai instansi dan lapisan turut serta menyumbang uang tunai maupun barang. Secara langsung ke pengungsian maupun dikumpulkan di organisasi dan instansinya.
Bahkan di setiap perempatan dan lampu merah banyak yang meminta sumbangan untuk pengungsi. Ini sudah menunjukan pemahaman kita bahwa bencana bukan saja untuk warga Karangasem namun seluruh Bali.
Para sukarelawan dari berbagai Universitas, Sekolah, tokoh masyarakat, LSM, organisasi masyarakat berdatangan membantu BPBD dalam urusan logistik, dapur umum dan sebagainya. Peranan mereka sangat dibutuhkan.
Konsep Tat Twam Asi sudah diimplementasikan dengan baik. Dalam kondisi kesulitan warga Bali saling membantu meringankan beban para pengungsi. [b]