Dengungan pelan terdengar khidmat mendominasi suasana.
Sebuah partikel berpendar tampak di kejauhan makin lama makin mendekat. Berbiak dengan cepat makin banyak jumlahnya. Mengilusi kita yang duduk diam di bangku penonton. Seolah bergerak maju menyusur semesta gelap dengan ribuan partikel melintas.
Entah berenang entah terbang. Entah di kedalaman samudera entah di ketinggian angkasa.
Fase ini berlangsung cukup lama hingga saya sempat merenung, seandainya ini adalah pemandangan bawah laut, jangan-jangan kedalaman samudera sejatinya jauh melebihi ketinggian angkasa. Seperti palung derak kehidupan yang sulit dirambah bahkan dieja.
Siapa yang telah berhasil mengukur panjang, lebar dan tinggi semesta? Siapa yang telah menyelam dan memberi akurasi suasana kedalaman palung Mindanau atau laut Banda?
Misteri semesta sekiranya akan abadi dan selamanya menyuguhkan teka-teki pada penghuninya. Pertunjukan “Leviathan Lamalera “ adalah semesta kecil ciptaan Jonas Sastakresna. Karena itu saya telah siap pada kejutan-kejutan yang sudah pasti akan disuguhkan dalam pertunjukannya.
Menata otak saya dengan sulur-sulur kejutan dan hajaran tanda-tanda tentang semesta.
Saya mengenal Jonas sebagai seorang seniman seni pertunjukan yang tidak banyak bertutur secara verbal .tetapi tidak sepenuhnya abstrak. Secara terukur Jonas menyiapkan bingkai imajinasi penontonnya. Sehingga narasi-narasi cerita maupun pesan masih bisa ditangkap oleh penonton.
Tafsir
Memang kedalaman tafsir hanya bisa diurai sesuai pengalaman seni atau pengetahuan masing-masing penonton tentang konteks pertunjukan. Jonas hanya memastikan agar penikmat pertunjukannya senantiasa berpikir. Bahkan sampai akhir.
Siapa menduga koreografi tiga aktor pada awal pertunjukan adalah gerakan mengencangkan tali? Jika kita tidak menonton visual video menjelang babak akhir pertunjukan.
Bahkan sampai lampu ruangan dinyalakan tanda pertunjukan berakhir saya masih berpikir, kenapa pertunjukan diakhiri dengan musik jedag-jedug disko saat warga bergembira memotong ikan paus? Apakah karena musik pentas digarap bule?
Ingatan saya melayang pada pengalaman berada di NTT selama 3,5 bulan 2 tahun lalu. Setiap pesta, di sana memang lebih banyak menggunakan musik disko yang diputar keras-keras dengan pengeras suara. Sebagian besar lagu yang diminati adalah yang bergenre dangdut remix namun berbahasa daerah. Alat musik melodis tradisional masih ada namun tangga nadanya telah punah. Setelannya menjadi tangga nada barat sejak alat-alat musik barat mulai diperkenalkan di gereja.
Lalu kenapa musik disko dalam pertunjukan Jonas visualnya bernuansa psychedelic? Visual ala orang yang sudah mengalami halusinasi setelah mengkonsumsi pil terlarang. Video berupa objek yang dimodifikasi sehingga hanya berupa outline dengan warna monotone. Bergerak berulang-ulang, berputar, berbagai distorsi dengan efeki mirror dan split screen.
Apakah ini sekadar kemeriahan seperti visualization Winamp atau Windows Media Player agar kita tidak bosan karena yang bisa bekerja hanya saraf pendengaran?
Objek
Objek yang dipilih adalah serupa close-up tangan yang sedang menganyam sesuatu, sehingga ketika diolah dengan efek digital seperti diatas menghasilkan puluhan, ratusan bahkan ribuan garis yang menjadikannya sangat ‘psychedelic’. Kenapa psychedelic?
Kembali saya melayang ke NTT dua tahun silam. Masyarakat di sana masih ‘menjunjung tinggi’ tradisi nusantara meminum alkohol. Tiap ritual atau pesta, alkohol selalu hadir. Sebagai sesaji dan suguhan untuk tamu.
Semua orang biasa meminumnya, baik laki maupun perempuan. Babinkamtibmas, babinsa, kapolsek, dandim, camat, bupati bahkan presiden pun akan dipandang wajar oleh masyarakat di sana kalau ikut minum alkohol saat mengikuti ritual atau pesta adat.
Kemampuan minumnya tentu beda-beda dan masyarakat menghormati hal itu. Laki-laki tua rata-rata lebih kuat minum daripada laki-laki muda atau perempuan. Laki-laki mulai wajar belajar minum saat kelas tiga SMP. Diajari pula tata krama sebelum dan sesudah minum alkohol.
Pendek kata, kebiasaan minum alkohol tidak dikaitkan dengan tingkatan moral seseorang di sana.
Saat saya sedang berada di NTT, generasinya mulai tidak puas hanya dengan alkohol untuk merayakan kegembiraan. Anak muda ingin sensasi lain. Mereka mulai mencampur alkohol produk lokal dengan beragam minuman kemasan. Bagi orang-orang tua yang biasa minum alkohol, hal itulah yang menyebabkan sakit, seperti liver dan gagal ginjal. Tidak seperti mereka, berusia 90 tahun, tetap sehat walau biasa minum arak.
Lebih parah lagi, menurut media lokal di sana, anak-anak muda NTT mulai tidak puas hanya mengkonsumsi alkohol. Mereka mulai mencari ‘sensasi psychedelic’ dengan cara mengkonsumsi obat-obatan terlarang seperti shabu-shabu dan bermacam pil terlarang. Berbagai barang haram itu mudah diperoleh karena ternyata NTT adalah pintu gerbang peredaran narkoba dari dan ke Timor Leste.
Apakah ini yang diapresiasi Jonas?
Jika iya, tentu tidak semua penonton punya pengetahuan sama sehingga tidak memiliki tafsir sama pula. Jika tidak, setidaknya Jonas telah menyuguhkan sebuah sajian visual memukau ratusan penonton yang hadir dengan imajinasi realitas di kepalanya masing-masing.
Pastinya tidak semua orang menafsir bahwa visual alat-alat perbengkelan yang dianimasikan sehingga bergerak seperti binatang-binatang laut adalah metafora bagaimana teknologi perlahan telah masuk ke Lamalera, desa yang notabene berada di pelosok Indonesia.
Saya pun memastikan diri bahwa tidak semua bagian pertunjukan bisa saya nikmati dengan kedalaman tafsir. Telinga dan mata saya terlalu terpukau dengan suguhan audio-visual yang silih berganti dipertunjukkan Jonas.
Mungkin pada bagian-bagian tersebut saya yang kehilangan konteks karena tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang kontekstual. Sementara saya sebagai penonton tidak memiliki hak untuk menghentikan (stop) atau memutar ulang (replay). Atau bagian-bagian tersebut secara tidak sadar, saya merasa tidak perlu ditafsir lagi karena justru sudah cukup memuaskan indera-indera saya.
Inilah uniknya seni pertunjukan. Jangan berharap bisa berbicara banyak tentang sebuah pertunjukan jika tidak sungguh-sungguh fokus dari awal hingga akhir. Tidak seperti film, yang dengan mudah bisa kita putar ulang jika mau mengapresiasi lebih mendalam.
Digital
Olah audio-video baik digital maupun analog adalah kekuatan sekaligus ciri khas Jonas. Bahkan, setahu saya, segala perkakas yang bisa memproyeksikan visual pada screen bisa dia eksplorasi dengan sangat menikmati. Screen pun tidak melulu harus layar atau bidang datar.
Dengan apik, Jonas mampu mempetakan cahaya pada bidang yang beraneka rupa.
Malam itu Jonas cukup peka merespon ruang pameran Bentara Budaya Bali. Hampir seluruh sisi ruangan dimanfaatkan sebagai available screen. Visual diproyeksikan dengan setidaknya dua projector yang berhadap-hadapan hingga mampu memproyeksikan visual hingga hampir ke seluruh sisi ruangan. Sebuah screen tipis dipasang membentang di tengah panggung. Sebagai background sekaligus foreground aktor. Memberi kesan tiga dimensi menjadi lebih nyata.
Tidak cuma secara artistik, secara teknis pementasan Jonas juga merespon keterbatasan ruangan pameran ini sebagai sebuah gedung pertunjukan. Jonas sengaja tidak menyembunyikan bagaimana proses audio dan visual disuguhkan. Setidaknya, delapan orang operator berhadapan dengan panel kontrolnya masing-masing berjajar di barisan depan penonton.
Ada sibuk menyusun klip-klip video secara runut dengan cara mengklik and drag pada timeline yang terus berjalan pada monitor komputernya, sebagian sibuk menata dan mencipta musik digital secara langsung. Sebagian lagi sibuk dengan panel lampu warna-warni.
Secara umum, ‘cahaya-cahaya bocor’ ini justru tampak menyatu dengan konsep visual yang diproyeksikan Jonas di panggung. Gerak-gerik para operator pun sangat disiplin sehingga tidak mencuri fokus saat pementasan berlangsung. Seolah-olah mereka telah paham betul dan hafal apa yang harus dikerjakan.
Singkatnya, mereka juga bagian dari pertunjukan yang bisa dinikmati. Ibarat kita makan steak di hadapan meja barbeque.
Menurut Jonas, mereka adalah para sahabat-sahabatnya yang memang profesional pada bidangnya. Untuk berproses mereka cukup hanya diserahi storyboard dan sekali GR. Sebagian dari mereka juga telah mengikuti pentas pertama Leviathan Lamalera di Lembata, tempat dimana skenario ini dikembangkan.
Mereka mendukung pertunjukan ini tanpa dibayar bahkan berangkat ke Lembata, NTT pun beli tiket sendiri. Dana hibah yang hanya Rp 25 juta tentu saja sangat sedikit untuk pertunjukan yang melalui riset panjang dan melibatkan banyak personel profesional ini.
Yang terasa agak lemah pada pertunjukan ini adalah keaktorannya. Aktor-aktor tidak banyak melakukan eksplorasi, olah tubuh misalnya. Melakukan gerakan minimalis pun mereka sangat kaku. Mereka kehabisan stamina ketika harus melakukan gerakan yang berulang-ulang dalam waktu yang lama.
Jonas mengakui, eksplorasi tidak banyak bisa dia lakukan karena mereka bukan profesional dan rata-rata aktor pemula. Latihan pun hanya empat hari karena keterbatasan waktu dan dana.
Ketika diminta membandingkan pertunjukan pertamanya di Lamalera dengan yang kedua ini, Jonas merasa lebih puas pentas pertama. Di sana dia bisa memberdayakan warga lokal dengan mengajak warga sebagai aktor dan kru pertunjukan. Pertunjukan dilakukan outdoor, merespon pantai dengan mendirikan instalasi bambu yang sangat besar menyerupai ikan paus sebagai panggung pertunjukan. Pada pertunjukan kedua ini tidak mungkin bisa dilakukan karena keterbatasan dana.
Perlu dicatat bahwa, pertunjukan Leviathan Lamalera karya Jonas ini dihadiri ratusan penonton. Untuk ukuran Bali, termasuk pertunjukan teater yang berhasil mendatangkan banyak penonton. Sebagian besar memang sudah mengenal Jonas sebelumnya. Merekalah yang selalu terpukau oleh pertunjukan mutakhir Jonas dan selalu menantinya.
Di balik segala keterbatasan, Jonas dengan gayanya, cukup berhasil bercerita tentang kehidupan di Lamalera, Lembata dengan monster(leviathan) sebagai salah satu pondasi dinamika kebudayaannya. Terasa telah melalui sebuah proses yang panjang.
Bagi saya, ini adalah sebuah creative documentary yang disajikan dalam bentuk seni pertunjukan. Kejaran artistik jauh dikedepankan. Riset mendalam tak melulu harus disuguhkan berupa pesan (verbal) dan penyajian data (kuantitatif). Pesan banyak ada di perempatan dan data banyak ada di Google toh! [b]
Catatan: laporan ini ditulis untuk Yayasan Kelola oleh Dwitra J. Ariana sebagai pemantau pertunjukan Leviathan Lamalera karya Jonas Sastakresna (saya lebih suka disebut penonton saja), salah satu penerima Dana Hibah Kelola 2017.
creative documentary yang sangat menarik untuk di baca gan 😀
terima kasih atas kritikan akan keaktorannya, kami selalu butuh kritikan seperti ini, dengan segala keterbatasan kami, kami banyak belajar dari pengalaman ini, dan kami bisa lebih bekerja keras lagi dari kritikan ini, suksma ???
maaf bli, emoticonnya ga keluar, jadi tanda tanya disana hehe