“Schizofriends Berdaya. Kasihanilah Kasihi Kami..”
Tulisan penuh pesan di spanduk tersebut menyambut pengunjung di depan Rumah Berdaya, tempat beraktivitas komunitas orang dengan skizophrenia (ODS) dan keluarga yang tergabung dalam Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Bali.
Awal November lalu, saya pertama kali mengunjungi Rumah Berdaya. Made Sudiarta sedang berbincang dengan beberapa anggota komunitas ODS yang sudah hadir ketika saya datang.
Tak berapa lama Pak Made berinisiatif memasangkan spanduk bertanda Saya Ikut Awasi Jaminan Kesehatan Nasional #AJAKAN dibantu salah satu peserta. Pak Made adalah salah satu pengurus Rumah Berdaya. Hari itu komunitas Rumah Berdaya bersama Sloka Institute akan berlatih cara membuat video melalui ponsel.
Hadir pula komunitas mantan pengguna narkoba yang tergabung dalam Ikatan Korban Napza (IKON) Bali sebagai peserta.
dr. Rai Putra Wiguna sebagai pengurus Rumah Berdaya mengawali pembukaan pelatihan hari itu. “Pada umumnya anggota rumah berdaya kurang cakap menulis, tetapi lebih banyak bisa bicara,” kata dokter Rai merespon kebutuhan rumah berdaya dalam pelatihan ini.
Dengan belajar memproduksi video ponsel ini bisa menjadi salah satu cara anggota komunitas berdaya untuk berkomunikasi dengan orang-orang diluar komunitasnya. Nyoman Sudiasa ketua Rumah Berdaya mengapresiasi pelatihan tersebut pada pembukaan itu.
“Tiyang mengucapkan terima kasih yang besar, karena Sloka Institute mau membagi ilmunya,” kata Nyoman Sudiasa. Menurut Nyoman, sapaan akrabnya, selama ini anggota komunitas Rumah Berdaya masih dianggap sebelah mata.
Pembukaan ini dilanjutkan dengan perkenalan peserta. Peserta yang hadir ada masih mengikuti terapi untuk ODS ada pula orang tua penderita yang sering mendampingi anaknya berkegiatan di komunitas tersebut.
Penderita ODS yang mengikuti pelatihan terdiri dari berbagai macam tingkatan skizofrenia. Ada Lingga yang mengalami gangguan bipolar, Anissa yang mengalami gangguan mendengar suara-suara, Naomi yang mengalami histeris saat menonton film horor ataupun Nyoman Sudiasa yang sudah sembuh dari gejala halusinasi yang pernah dialaminya dan peserta lainnya.
Rumah Berdaya merupakan wadah bagi penderita skizophrenia di kota Denpasar di bawah koordinasi KPSI Bali. Kegelisahan Dr. Rai Putra Wiguna sebagai dokter spesialis kejiwaan di Rumah Sakit Wangaya yang melatarbelakangi inisiatif dibentuknya wadah ini. Di rumah berdaya ini anggota komunitas tidak hanya bersosialisasi, tetapi juga membuat keterampilan dan karya seni.
Interaktif
Pelatihan ini dipandu oleh videografer Oka Sudarsana. Oka yang mengaku biasanya menggunakan kamera DSLR untuk video-videonya mencoba menyederhanakan pembuatan video menggunakan ponsel.
Oka mengawali materi dengan menayangkan video kegiatan KPSI Bali yang dibuatnya beberapa waktu lalu. Dia juga menayangkan video lain, sementara peserta diminta menelaah dari segi pengambilan-pengambilan gambar yang dijelaskannya
Kegiatan pelatihan berlangsung interaktif. Beberapa anggota ODS yang bisa berkonsentrasi dengan pemberian materi juga merespon dengan baik. Kenny dan Donny dari IKON Bali yang tampak lebih sering memanfaatkan video ponsel banyak membuka diskusi-diskusi dalam pelatihan ini. Beberapa diskusi yang diajukan adalah terkait framing gambar, pengambilan angle dan lainnya.
Sebelum sesi diakhiri, peserta dibagi empat kelompok untuk mendokumentasikan kegiatan mereka sendiri. Ada kelompok yang mendokumentasikan pengemasan dupa, hasil karya tas kertas, karya bingkai foto ataupun video testimoni yang dibuat antar peserta rumah berdaya. Karya-karya yang dibuat tersebut kemudian dievaluasi oleh Oka dan Anton Muhajir yang mewakili Sloka Institute.
Di akhir evaluasi Oka menjelaskan keunggulan menggunakan video ponsel dibanding video menggunakan kamera lain. Oka mengatakan bahwa pertama, alat yang ada paling dekat dengan kita ya handphone. Kedua, ketika tidak perlu standar yang tinggi untuk pembuatan video, menggunakan pun sudah cukup digunakan untuk menceritakan kegiatan sehari-hari.
Hanya saja Oka juga mengatakan kelemahan video ponsel yaitu letak mikrofon di bagian depan sangat peka terhadap suara, stabilizer kurang bagus dan diperlukan space memori telepon miniman 2GB.
JKN untuk ODS
Sebagian besar penderita ODS berobat rutin menggunakan jaminan kesehatan. Naomi misalnya, dia mengaku menggunakan Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) sejak terapinya tujuh bulan lalu. “Tidak ada hambatan,” katanya.
Antreannya menurut Naomi juga lebih sedikit dibanding antrean pengguna JKN. Beberapa peserta lain ada yang menggunakan JKN baik sebagai peserta mandiri ataupun penerima bantuan iuran.
Menurut dr. Rai yang setiap hari mendampingi pasien ODS di rumah sakit daerah Wangaya ini, pasien ODS sangat terbantu dengan BPJS Kesehatan saat ini. Hanya saja saat diwawancara itu ada hambatan kekosongan obat antipsikotik yang biasa digunakan sebagai penawar efek samping obat utama.
“Tidak berpengaruh terhadap pengobatan, hanya pasien akan seperti itu,” katanya dengan menunjuk seorang anggota rumah berdaya yang tampak tremor.
Selain untuk keperluan mengkomunikasikan tentang komunitas berdaya, pelatihan video ini juga untuk merespon kebutuhan kelompok ODS mengakses pelayanan publik, misalnya JKN. “Merespon JKN juga penting, selain saat ini sebagian besar ODS memang menggunakan JKN Juga nantinya yang JKBM akan ganti ke KIS (Kartu Indonesia Sehat),” kata dr. Rai sebelum menutup kegiatan sore itu.
“Belum tahu bagaimana kelanjutannya,” dia menambahkan.
Pada penutup pelatihan, Anton Muhajir berharap para peserta dapat terus membuat video sendiri dan membagikannya kepada orang lain. “Sehubungan dengan program kami AJAKAN, kami juga ingin teman-teman bercerita tentang bagaimana kelompok ODS menggunakan JKN,” tambahnya. [b]