Rumah Berdaya, 17 Januari 2020
Saya seorang ibu rumah tangga dan suami mengalami gangguan jiwa (ODS) pada tahun 2001.
Saya ajak berobat ke RS Jiwa Bangli, di sana dirawat 7 hari dan sudah diperbolehkan pulang. Menjalani perawatan di rumah sungguh sangat menyita perhatian keluarga.
Saya dan mereka selalu menguatkan saya agar tetap menemani suami dan selalu bersabar sampai pernah ingin saya pergi dan tak sanggup lagi. Untung semua pihak, keluarga mendukung saya dalam menjalani semua ini.
Ibu di rumah kerja merawat orang tua. Saya jarit, ambil jaritan. Pak Nyoman sudah bisa tidak seperti orang sakit. Dulu sama dengan ibu. Sudah ngemong anak, nyari kerja, untuk beli obat 500 ribu itu berapa uangnya? Sekarang lebih murah. Saya bersyukur, sudah terbayar pengorbanan saya.
Benar, menderita sekali punya orang sakit, kadang diolok-olok orang. Yang penting minum obat teratur. ODS di RB saya doakan bisa stabil, dan bisa kerja. Bujang dapat jodoh biar bisa menikah. Harapannya yang belum punya pasangan bisa punya.
Saya sering diomongin orang, ya sabar aja. Jangan terlalu mengeluh, orang dia (suami) nggak ngerasain. Kalau dia sakit keras kan di kampung, semua mengingatkan,” jangan ditinggalin, bu.” Keluarga saya sendiri bilang, jangan ditinggal, bila perlu dianter. Saudara menghina, tidak usah diajak ke sana ke sini, dipasung saja. Ajak ke RS Bangli. Saya mengikuti yang menyarankan menjalani pengobatan dari pada dipasung. Saya berdua menunggu sama anak 2 tahun, ada keluarga baik yang menampung saya menanggung namanya Pak Kadek. Pas jenguk saya diantar.
Dilihat saya ngemong anak, istirahat dulu, pulang dulu. Saya lihat raut wajahnya lain mungkin ada masalah di sini, kerjaan, lain. Nanyain saya tidak berani.
Ngae kopi, sube medaar? Tak biarin tidur. Kadang dia tak ke sini, tidur.
Pak ngudiang sing megae? Saya berangkat kerja ya. Sorenya berangkat kerja. Saya tak pernah mempermasalahkan, mau di sini atau rumah saudaranya. Tak boleh diganggu. Sudah ngerti, paham orang sakit.
Orang yang tidak pernah merawat, mengalamin enak, oh tidak usah dituruti. Ada ibu memarahi anaknya mungkin tidak mengerti pikiran anaknya.
Saya pernah ingin mati duluan, inget nasihat orang tua saya yang meninggal. Kalau bisa jangan ikut sakit. Kedepannya ada hikmahnya, belajar bersabar.
Bapaknya tak pernah terbayang kerja kontrak, bersyukur diangkat Dinsos.
Karena waktu sangat singkat saya cukupkan dulu cerita ini. Mungkin nanti saya akan memulai lebih panjang lagi cerita saya dan akan saya kirimkan ke ibu.
Rumah, 25 Januari 2020
Saya nikah tahun 1998. Kerja di garmen, jarit, dan bikin sampel. Saat suami sakit, setelah menikah 4 tahun. Dia mukul, marah, dan berhenti kerja. Setelah mengaso, diajak nyablon baju di bos saya. Sini ajak, biar tidak bengong. Sempat diajak adiknya kandungnya ngurus proyek jadi staf gudang. Dipercaya bos. Datang ke rumah bawa susu 2 kotak, saya tanya be maan gaji? Tunyan orin meblanje, sisanya anggo meli susu.
Mungkin merasa bersalah, kok saya seperti pencuri? Ingin berhenti kerja. Saya mepangenan, nagih suud megae. Ape anggon megae, awak numpang dini (saya bengong, dia mau berhenti kerja. Mau kerja apa lagi, kita sudah diberi tumpangan di sini).
Mungkin dipendam suara saya, apa pake makan. Numpang di mes bos jahit. Saat itu sudah kelihatan blank, pas makan kok seperti tertidur, makan care kucit. Buin makesiab bayu. Parah.
Pas paman nikah dia keluar ke jalan, ketawa ngakak, ban Honda kok kotak? Saya bilang mungkin kempes. Anak baru 2 tahun. Dia tinggal di jalan, cerita sama orang sambil ngakak. Mai mulih.
Sembahyangnya teriak Allahu Akbar menghadap barat jam 12 malam. Pas kerja ditelp, Nyoman teriak-teriak ngamuk di proyek. Di rumah dipegang, diikat. Saya nangis.
Kija ajak berunding? Rumah Sakit atau balian? Saudara nyuruh langsung ke Sanglah. Di sana ngamuk, opname 7 hari. Saya nungguin. Pas di UGD dia sempat teriak, mana anak kita, sing ajaka panak muani.
Ipar saya baru lahiran anak laki-laki. Dia sempat minta, saya dibilang, “ yesing nyak ngelah panak muani.” (suami mengatakan jika saya tidak mau punya anak laki-laki).
Pas pulang kok makin parah. Tidur di emperan. Berhubungan dengan air, wadahin plastik dibawa ke tempat kerja. Ajak melukat ke Campuhan Sanur. Kontrol ke Sanglah, ngamuknya berkurang tapi bengong.
Ajak ke balian, pulang kampung ke Buleleng. Bus turun di Pupuan, Nyoman ndak balik. Lama busnya nunggu mau ditinggal. Katanya jalan-jalan.
Sampai kampung minta segehan, kencing diwadahin ember, disiram ke rumah. Minta mukul, minta uang rokok. Dirayu ke balian dibekelin nasi sama dadong. Sampai balian, dia kabur. Di pinggir pantai telanjang bulat. Mau lompat ke laut dari pohon waru di pantai. Mejuk, diikat di motor.
Disuruh ke RS Bangli, disuruh pasang blagbag (pasung), saya tidak mau. Diikat di carry dari Buleleng biar tidak ngamuk.
Di Bangli diikat, masuk kamar bersel, disuntik. Saya nungguin. Untung ada yang baik memberi tempat tinggal Pak Kadek Sudiarsa. Jro mangku, tolong saya. Dia nampung saya seminggu. Saya kira seperti pasien biasa bisa ditungguin.
Untung saya ingat bawa obat dari RS Sanglah. Cepat stabil, mungkin karena tiap hari saya nengok, sehari tiga kali. Saya tanya, sudah makan?
Balik ke Buleleng, rehat seminggu. Seperti sembuh, bisa naik motor ke Monang Maning. Jadwal kontrol ke Ubung dokter saraf, dr pantri. Tiap minggu ketemu dr Nyandra, kontrol di Wangaya.
Tidak punya surat miskin, pulang ke rumah ibu untuk minta beli obat. Saya ditanggung ibu angkat. Tahun 2001, hamil anak ke-2, sudah satu tahun kontrol di Wangaya.
Bisa kembali ke garmen, kerja di tempat lama. Bosnya baik, tidak dibentak karena dia sakit. Diajak motong. Anak kelas 1 SD, dia balik ke Buleleng 2-3 tahun. Dia perlu pemandangan. Saya disuruh tenang di mes, anak sudah sekolah.
Selama itu dia tidak putus obat, cari ke Puskesmas di Buleleng. Nanti ditelp disuruh ambil. Terus minum obat, selalu ada obat di tas kompeknya. Kerja di Buleleng, walau diejek tidak peduli. Saudara mengerti, ikuti kemauannya biar tidak kumat.
Sudah tua apa yang perlu dicemburui? Syukur sehat saja. Saya tidak nuntut, terus bersyukur, dipercaya Tuhan mendampingi Nyoman. Tapi tidak ada tempat curhat.
Kontrol di Wangaya rutin. Tahun 2014 bisa kontrak tanah, ketemu dokter Rai. Dia pernah marah-marah di loket, kok obat mahal katanya bantu masyarakat? Disuruh bikin JKBM biar meringankan.
Rasa percaya diri mulai timbul, merasa dihargai, dipedulikan, disayang, merasa ada dukungan. Mulai sering kumpul di KPSI, ada komunitas untuk berekspresi.
Dia paling senang melukis, apa yang di pikirannya. Sisanya kebanyakan main HP, tapi lihat informasi berita, grup KPSI, lucu-lucu, hiburan. Pernah komunikasi ke anak, mau kuliah atau kerja?
Sri Ayu Astuti dalam #KamiBersuaraKamiMendengar. Kampanye bersama Rumah Berdaya, Citradaya Nita (PPMN) dan pewarta warga ini mengajak mengenali gangguan kejiwaan, proses pemulihan, dan mendorong akses psikososial bagi perempuan sebagai penyintas atau pendamping.