Lega rasanya, kadang merasa tertekan di rumah. Senang bersama ibu lain di Rumah Berdaya.
Suatu malam saya lari ke rumah nenek. Saya tidak berani pulang. Saya Ibu dari anak ODS (orang dengan skizofrenia), Made. Bersaudara 2 orang, kakak perempuannya sudah menikah punya satu anak. Made berumur 24 tahun, tamat sekolah SMA, tinggal bersama kami orangtuanya.
Made masih lajang. Dari tahun 2017 dimana Made mulai merasa kesepian serta sampai dengar suara-suara (halusinasi). Saat itu saya ajak ke dokter psikiater. Setelah itu diajak ke Rumah Sakit Wangaya, lalu diajak ke Rumah Berdaya.
Kejadiannya pas pacarnya nikah, saat itu kakaknya belum menikah. Tapi saya kan tidak tahu kalau dia mengalami itu. Mulai dah dia ngomong, curhat, tapi nggak punya teman. Akhirnya kadang-kadang saya emosi, kan jengkel. Cerewetnya, ngeselin pokoknya. Mulai dah dia tidak bisa tidur, badannya kurus, kalau tidak tidur kan kurus, ya. Makan susah. Sampai saya cariin orang pintar, ditanyain solusinya. Ke dokter juga sudah. Tak telpon dokternya, kan dia tidak mau ke dokter, orang dia sehat, ngapain diajak ke dokter. Tak telpon dokternya, minta konsultasi.
“Bisa ke rumah, dok?”
“Tidak.”
“Kalau begitu saya dah yang ke sana ya, Dok.” Saya aja yang konsul, anak tidak diajak.
“Gimana ciri-cirinya?”
“Gini, Dok. Dia tidak bisa tidur. Makan tidak mau. Apa, ya, kayak dia bawa untuk sembahyang aja. Kadang ketakutan.”
“Wah, depresi,” kata dokternya. Dikasih lah resep obat. Cari obat, minum itu, mau dah dia tidur. Mau dia. Habis itu kakaknya sudah menikah, mulai lagi dia diam. Kalau lihat orang, diam. Mulai ketakutan. Sudah kambuh-kambuh gitu. Saya habis dari dokter itu tidak minum obatnya lagi, tidak lanjut. Seharusnya berlanjut. Akhirnya baru tak ajak ke sana, dia mau. Konsul berapa kali berobat itu? Kan mahal waktu itu kalau tidak pakai BPJS. Sekali berobat, kontrol aja 600 ribu. Dokter spesialis kan mahal. Belum lagi obatnya.
Obatnya itu kadang saya cari setengah. Obatnya perbiji yang untuk mood dibilang gitu, 11 ribu. Tapi disuruh kalau tidak kaku, jangan dia dikasih. Kadang kaku dia, banting-banting. Semua dah dibanting, apa gitu. Kaca, ditendang. Saya juga. Kadang-kadang lari-lari. Aduuh, ini ya, anak psikis, luar biasa.
Kan ada pengobatan alternatif, ya. Pernah juga tak ajak ke sana kalau lagi dia marah. Ke sana, diterapi. Di sana kan ada tuh terapi, apa namanya.. hipnoterapi. Diajak ke sana, diterapi lah.
Habis diterapi, tak tanya, “Gimana, dik? Sudah tenang? Gimana tadi? Udah dapat tidur?”
Waktu diterapi katanya orang-orang ngomongnya ngawur, kan kalau diterapi katanya kayak Uya Kuya itu, kan. Kalau ini, tidak. Bisa dengar dia. Malahan dilihat itu, diraba tangannya yang diterapi. Dia ikut-ikutan.
“Dapat lupa?”
“Tidak,” Berarti lebih kuat otaknya ini, ya? Tahan, dia. Tidak mau masuk terapinya. Pernah kadang-kadang kan banyak itu muridnya itu. Diajak dah, kadang malam, diajak ke sana. Diterapi berapa orang, gitu.
Sampai saya pulang kampung, disuruh sama kakek neneknya bawa dia, tunasang (cari petunjuk secara niskala). Wih, ke gunung-gunung nyari balian. Dah gitu kan malam-malam lagi, ketakutan. Kan di dekat Gunung Agung. Kalau (tunasang) itu kan macam-macam jadinya. Leluhurnya ada hutang, gini, gini, gini.. Mulai dah saya bikin banten. Wih, datang dah baliannya itu mau bikin banten.
“Ngapain kamu ke sini?” digituin baliannya sama Made. Semua dimarahin. Malahan kesal dia, orang-orang ini datang.
“Kesal aku. Ngapain dia ke sini? Aku tidak apa-apa.”
Diajak ke Denpasar, tidak mau. “Jangan ke Badung, nanti di sana ada gini.” Dah ditinggal sama bapaknya, kemudian ditelpon, minta ke Denpasar. Saya betul-betul (bingung) waktu itu, duh, apa ini? Udah capek.
Lebih dari 5–an kali dah ke balian. Sama di sini juga, dilukat. Habis ke dokter itu dah, terapi ke dokter. Sekarang melengkapi. Kalau saya sih, yakin untuk obatnya, yakin. Cuma karena ninik sama kakeknya itu yang khawatir, biar cepat aja, gitu.
Takutnya nanti ada yang jahilin, kayak namanya gini kan bisa aja. Ya, ikutin aja.
Akhirnya pindah ke Rumah Sakit Wangaya. Sering konsultasi tiap bulan, dikasih obat sebulan. Dari dokter Wangaya, bapaknya dipanggil, coba biar dia ada teman, kreatif di sana, ada Rumah Berdaya. Coba bapaknya dulu ke sana survey. Akhirnya bapaknya survey, akhirnya ya, mama dah mau nganter, dik, hari Senin. Habis kunjungan, ke sana sudah ada Pak Nyoman.
“Bagus, dik, ada gini…” Cuma semua sih sudah besar-besar. Dia kan paling kecil di sana.
“Tuh, bapak-bapak.”
“Tidak apa, bapak-bapak. Disayang nanti adik. Ada kakek di situ.”
Ya, mau dah di sana, sampai waktu itu, hari pertama, saya seharian dah nungguin. Mau dia karaoke nyanyi. Sekarang mulai lagi, mogok.
“Jangan dah ke sana tiap hari, ya? Capek.” Kan yang bonceng, saya, dari sini jauh. Pagi bapaknya nganter.
Tidak berani dia naik motor. Dia kan tangan kirinya itu agak lemes. Sempat, dulu sempat bisa. Tiba-tiba sekarang takut, karena ada gangguan ini. Duh, gimana ya… Tadi tiang sampaikan sama adik, kalau nanti akan ada Ibu Luh De yang dari BaleBengong, bilang aja, dik, konsultasi. Tidak perlu adik takut, bilang aja nanti apa gininya, keluhannya.
Kalau di rumah ya dia nonton, tidur, itu aja. Nonton beneran. main HP kadang, main game. Disuruh bantuin bersih-bersih. Kalau bilang gitu, dia iya aja. Kadang disuruh buang sampah aja tidak mau. Kalau di RB malahan dia mau katanya cuci piring, bikin dupa juga mau. Sekarang katanya susah. Sudah tak bilang sama pegawai-pegawai yang dari Dinas Sosial, minta tolong sama Si Kadek yang cowok itu.
“Bu, saya sudah berapa kali bilang. Bangun, De, bangun! Nyapu dulu yuk, De, buang sampahnya. Tidak mau. Males sekali lho, bu.”
“Dek, caranya dia itu harus halus, harus lembut. Apalagi kalau bercanda terlalu keras, dia nanti emosi.”
Made hampir 25 tahun. Sudah 3 tahunan di RB. Perkembangannya ya, hampir 90%-an. Sudah mending, sudah mau lah dia keramaian. Dulu kan sempat ketakutan kalau ada orang, terus tidak mau keluar. Sekarang sudah. Kadang tidak ada saya di rumah, ada tamu, dia mau bilang, ibu saya lagi ke sini, bapaknya lagi ini. Sudah mau. Dulu jangankan ngomong, buka pintu aja tidak mau.
Saya berharap anak saya cepat sehat.
Perjuangan Made
Dari umur 22 mulai sakit. Sekarang umur dia 24, berarti sudah 2 tahunan. Dia tamat SMA aja. Dulu kerja jualan pulsa di rumah. Memang dia agak ada kekurangan, IQ-nya rendah karena dulu sempat jatuh. Waktu saya tinggal kerja, yang ngasuh kan pembantu. Tapi tidak bilang. Waktu masih kecil, waktu 6 bulan. Dari naik kereta bundar itu, lho. Dulu rumahnya di sini masih tinggi, nih sekarang kan sudah pendek, nih.
Dulu dari SD biasa, dipindahkan ke SLB di Lumintang, sampai SMA. Di SLB C. Anak masih bisa diajak belajar, gitu. Kalau yang di dekat Sanglah, itu ada yang tuli bisunya. Kalau di SLB C, itu yang IQ-nya rendah aja. Di situ temannya, banyak. Gurunya bisa 2, bisa 3.
Ia berteman dan bergaul. Disenengin dia di sana. Zaman ada blackberry, kalau dia ada ulangan, kan di sana kan biasa ada semesteran, sama kayak sekolah biasa. Kalau ada ulangan, paling gini, nanyanya bukan ke guru. Kalau dia kesulitan, saya dah. Makanya harus standby nungguin. Dah gitu dia lewat BBM dah, pertanyaannya, jawabannya apa, dia tinggal ngisi aja. Jadi, ulangannya kan bagus dia. Sampai gurunya tak giniin, “Tidak usah dah dikasih yang ribet-ribet, saya yang malahan nanya sama orang-orang. Bukan dia yang sekolah, saya yang sekolah ini.” Kok saya yang sekolah. Kalau tidak gitu, dia emosional.
Sekolahnya dari pagi sampai jam 12. SMA-nya baru jam 1. SD, SMP-nya jam 12. Lama, kayak SMA biasa. Komunikasinya biasa, belajar biasa.
Bekas pacarnya dari kampung. Waktu pacaran di SMA itu, sama temannya. Adik kelasnya kayaknya itu. Itu sih tidak masalah, karena dia kadang karena pisah, itu pacar-pacaran dia. Pacaran seriusnya ini, yang dari kampung. Kampung saya pernah, kampung orang yang dari Singaraja. Ketemunya di Singaraja pas dia potong gigi. Dia kan diundang, kebetulan masih ada hubungan, mungkin itu dah dia kenalan. Dia di Tejakula tinggalnya, yang cewek. Lewat HP aja. Kan terus chatting-chattingan. Semenjak putus itu dah dia.
Lalu bekas pacarnya itu nikahnya di Bangli, Kintamani. Sempat dia sudah kambuh gitu saya ajak ke pesta seni. Ketemu mantannya, dia sudah hamil.
“Iluh sudah hamil?”
“Sudah, bu.”
Diam aja, dia. Mulai dah datang dari sana, lagi dah Made mikir. Lagi di otaknya. Itu dah bikin dia kesal, gimana.. Lagi dah tidak bisa tidur. Sudah dah saya yang bingung di rumah. Kok bisa, ya? biar ada aja.. Kok segitu banyak, ramenya orang, bisa ketemu lagi sampai semua tak bilangin sama keluarga, ya, tiba-tiba aja.
Kadang dia apa, ya.. Gini sendiri. Kadang aneh pokoknya. Kalau dia tidak tidur tu, bolak-balik, mondar-mandir, mondar-mandir, naik-turun, gitu. Kadang dia tidak mau tidur sendiri. Mau sama bapaknya, sama saya, bertiga tidak tidur, Nanti kalau gimana, diusir lagi. Kondisi ini udah 2 tahunan.
Upaya Non Medis
Setiap bulan, 6 bulanan lah. Di RS Sanglah dapat opname 2 bulan. 2 minggu. Karena ngamuk-ngamuk itu. Saya paksa, ngamuk dah dia. Sudah gitu bapaknya dah nyuruh, dibohongin sama bapak. Kan dia sering minta ke kantor main laptop bapaknya. Tapi kan sudah aneh, sampai teman-temannya itu sudah semua tahu, sih. Sempat ke sini juga lihat. Kasian. Mungkin karena di sana sudah blank, mau dah dia diajak ke mana, gitu. Ke kantor. Wanen dah dia. Akhirnya karena sudah ngamuk-ngamuk, bapaknya dah bilang, “Sini aja dah, tak ajak ke kantor,” tapi langsung diajak ke Sanglah.
Sempat tak ajak sembahyang ke Ratu Niang yang di mana itu namanya…
Sebelum diopname kan tak ajak ke sana, ke Tanah Kilap. Sampai di Tanah Kilap, dia tidak mau turun. Teriak-teriak dia. “Cepat pulang, cepat pulang!” Saya sendiri, bapaknya nunggu di mobil. Bapaknya tidak berani ninggalin, akhirnya turun sama kakaknya, kakaknya belum nikah.
Sudah gitu, tak ajak ke Sanur. Adik yang di Sanur, kebetulan mertuanya bisa ngobatin. Akhirnya tak ajak ke sana. Dipukul-pukul dia di Sanur itu, dicubit. Dia kan merasa. Orang dia (blank) kan marah, dia. Dipegang kaki, tangan, diikat. Saya yang megang karena dia ngamuk-ngamuk. Orang depresi diobatin dengan cara gitu. Dibilang gini, “ini penyakit non medis.” Karena tidak mau keluar. Kalau memang dia sakit non medis, pasti keluar. Ada ilmunya yang keluar, teriak. Itu dipakai contoh dengan cara mukul. Dia marah ditendang, “Awas ya, kakek itu yang ngobatin, ya.” Made marah.
Di mobil dia marah. Akhirnya saya langsung ajak ke UGD. Sampai di UGD, tidak mau turun dia. Akhirnya satpamnya dikerahkan. Di sana sudah malam, saya datang dari pagi tuh ngajak dia berobat. Jam berapa itu.. Sudah gitu, langsung diturunin di UGD, saya tidak berani ngajak pulang karena dia sudah ngamuk. Langsung UGD. “Dok, tolong, dok. ini tidak mau minum obat depresi. Tidak mau minum obat.”
Pokoknya waktu itu tidak mau minum obat. “Mau disuntik atau mau minum obat?” Dihalus-halusin karena ada dokter cantik, kan senang dia. “Mau, mau dah.” Sudah gitu, cari kamar dulu ya, disuruh opname. “Tidak. Aku tidak sakit kok aku disuruh opname?”
“Kalau gitu, di rumah mau minum obat?”
“Mau.”
Habis itu kan sudah dibikinin surat, mau nyari kamar, tak lihat dah kamarya di Leli. Ih, gelap. Kayak besi-besi itu, kan. “Terus kalau yang nungguin, di mana, dok?”
“Di situ aja.”
Saya survey dulu ke Leli. “Ikut sana bu, ya? Nanti nginep di sana.”
“Tidak bisa di kamar biasa?”
“Tidak, tidak boleh. Dokter tidak mengizinkan. Situasinya begini, siapa tahu tiba-tiba dia berontak-berontak lagi. Kalau di kamar biasa, tidak ada penjaga khusus. Kalau di Leli, itu sudah khusus.” Lagian tidak ada bahan-bahan yang kaca. Kalau di ruangan kan kaca. Takutnya karena dia sudah sering pecahin kaca di rumah. Kalau di Leli, apa pun tidak ada. Cuma ada CCTV di kamar. Saya kasihan juga. Tapi kan anak saya tidak sekeras yang ngamuk gila begitu. Masih bisa lah dihalusin. Tidak berani dokternya. Akhirnya saya tanya dia, “Mau obat aja?”
“Mau.”
Saya ngurus obat sampai jam 11 malam itu. Dia sudah di mobil kan, sudah dikasih obat. “Aku lapar, mau makan. “ Dari pagi soalnya dia. Habis dikasih obat, baru merasakan lapar. “Tinggal aja mamanya, tinggal aja.” Dia sayang sama saya. Disuruh ninggal. Saya ditinggal di Sanglah berdua sama anak saya yang cewe, dia sudah pulang duluan sama bapaknya. Saya ngurus surat-surat, opname itu kan dah batal. Ya, batal opnamenya. “Gimana ini, pak?”
“Ya, cari aja grab.”
Dede naik mobil duluan sama bapaknya, saya ditinggal. Aduh, gitu perjalanannya. Akhirnya saya kan nunggu obat, masih ngurus administrasi, tidak bawa BPJS, akhirnya saya cash aja dah bayar di sana, sudah malem .
“Ya, bu, ya, kalau ada apa-apa, nanti ibu lagi ke sini, boleh kok, karena anak begini.”
Akhirnya saya sampai di rumah, lihat dia lagi makan. “Lho kok ibu ditinggal?”
“Ini orang tidak bisa distop, minta ditinggal aja.”
Sampai di perjalanan, baru dia ngaku, “Made lihat aneh-aneh, di sana. Mama tuh biarin dah di sana, dimakan sama hantu.”
Sampai berbulan-bulan berikutnya.. Eh, satu tahunan dah itu. Lagi dah ngamuk. Nikah kakaknya, baru dia keras lagi ngamuk-ngamuknya. Diopname balik di RS Sanglah. Itu pun saya rayu dengan alasan mau diajak ke kantor. Mau cari ambulance, tapi tidak ada. Bingung, saya tidak tahu apa. Di mana nyari? Pernah di RS Wangaya, disuntik di sana, berapa kali dapat suntikan penenang.
Kemarin tak ajak renang ke Citra Land. Sampai sana, “Pulang, ma, pulang.”
“Kenapa, De?”
Kok kayak… apa ya, dibilang sama dia itu? Di sana sempat ada kayak halusinasi gitu. Halusinasi di dalam kolam. “Kenapa, dik? jangan, dilawan aja.”
“Makan dah, itu. Nasinya, kakinya,” gitu.
Aneh-aneh dia. Baru sejam di sana, kan sama sepupu-sepupunya itu kemarin. Mumpung dekat, di sini. Sedang cuaca panas kan, ke sana tak ajak. Di situ dah mulai lagi, sempat dah sering kambuh waktu itu. Hari apa saya ke sana ya, ke RB (Rumah Berdaya). Selasa. Kambuh juga katanya. Habis tidur dia mau pulang.
“Tadi adik halu di RB, jangan dah ke RB lagi.”
“Tidak boleh gitu, halu itu di mana pun bisa, kalau pikiran adik tidak tenang. Di rumah juga bisa, di jalan juga bisa.”
Kok sering halu lagi? Akhirnya saya konsultasi sama dokter di RS Wangaya. Kadang di Wangaya, kadang langsung di RB. Di RB minta waktunya kalau dokternya lagi ada waktu. Disuruh naikin dosis obatnya. Malemnya saya kasih 1, biasanya saya kasih setengah aja. Kalau dia sudah tenangan, kasih 1. Dikasih sih, sama dokternya.
Berefek. Mau lah dia tidur. Awalnya itu, dikasih lah sama dokternya obat yang diracik, tidak ada efeknya, itu. Tidak berpengaruh. “Dok, gimana itu?”
“Oh, tambahin aja dosisnya.”
Iya, saya tidak bisa ke mana-mana. Kadang ditinggal sih, sebentar. Dia tanya jamnya, jam berapa pulang. Cepat dah saya (kerja, mengurus jasa asuransi).
Kadek Mentari dalam #KamiBersuaraKamiMendengar. Kampanye bersama Rumah Berdaya, Citradaya Nita (PPMN) dan pewarta warga ini mengajak mengenali gangguan kejiwaan, proses pemulihan, dan mendorong akses psikososial bagi perempuan sebagai penyintas atau pendamping.