Tari Gandrung di Bali pernah mengalami masa kejayaannya.
Sekitar tahun 1928, Made Sarin, penari Gandrung asal Banjar Ketapian Kelod, Denpasar menjadi salah satu penari ternama bahkan hingga saat ini, kenang Made Bandem, Budayawan Bali.
Namun hari ini, tak banyak lagi penari gandrung laki-laki. Seiring perkembangan zaman, penari-penari perempuan hadir mengisi kekosongan tari yang awalnya dilakoni oleh kaum pria.
Di Banjar Ketapian Kelod sendiri, yang terkenal dengan tari tersebut, hanya tersisa dua orang laki-laki yang masih meneruskan Tari Gandrung. Made Satria Dwi salah satunya.
Menjadi seorang penari Gandrung sudah dilakoni Made Satria Dwi sejak duduk di bangku SMP. Awalnya, pemuda kelahiran tahun 1993 asal Banjar Ketapian Kelod, Denpasar satu ini sangat enggan menarikan Gandrung. Dia bahkan sempat berulang kali menolak.
Namun, dia kemudian akhirnya menjadi penari Gandrung hingga saat ini. Berbagai panggung pun sudah pernah ia pijak sebagai seorang penari gandrung.
“Dulu saya tidal mau, takut dikira bencong menari kayak gitu. Seperti joged lanang,” ujar Satria sambil menyeruput secangkir kopi di hadapannya.
Tari Gandrung yang memiliki fungsi sebagai tari pergaulan ini tak hanya di Banyuwangi, begitu pun di Bali. Sama seperti di Banyuwangi, Di Bali sendiri, awalnya tarian ini dibawakan oleh kaum pria yang menari sebagai sosok perempuan.
Bahkan menurut Made Bandem, budayawan Bali dalam bukunya Ensiklopedi Tari Bali (1983), tak hanya sebagai tari pergaulan, tari yang sejak awal dilakoni para pria ini pun dikatakan sebagai tari pertanian dan keselamatan.
Dulu tarian ini kerap ditampilkan sebagai ucapan syukur saat panen. Kemudian berkembang lagi menjadi tarian keselamatan saat muncul wabah penyakit.
Namun seiring perkembangan zaman, para perempuan hadir mengisi kesenian tari di Bali. Termasuk Gandrung sendiri, tidak jarang perempuan menarikan Gandrung hari ini. Bahkan di Denpasar, selain di Ketapian Kelod, adapun banjar lain yang para penari gandrungnya adalah perempuan.
Tidak hanya Gandrung sesungguhnya. Pada awalnya, tari-tarian Bali memang dilakoni oleh kaum pria. Justru kehadiran perempuan dalam kesenian Bali baru muncul setelahnya.
Namun kini persepsi masyarakat sendiri berubah, di mana penari identik dengan perempuan. Jika kemudian lelaki menari, khususnya tarian dalam sosok perempuan, stigma masih kerap berkeliaran di masyarakat.
Satria kembali menceritakan bahwa di Banjar Ketapian Kelod tidak sembarang orang bisa menjadi Penari Gandrung. Khusus laki-laki, adapun mereka yang memiliki garis keturunan penari Gandrung. Sementara untuk kaum perempuan, adalah mereka yang sudah menstruasi.
Tak berhenti di situ, mereka pun harus mengalami proses sakralisasi. Karena dari sisi garis keturunan diwajibkan menjadi penerus penari gandrung, maka mau tidak mau Satria harus mengikutinya.
Namun, belum melakukan prosesi sakralisasi sebagaimana mestinya, saat menari Gandrung biasa, Ia mengalami kerauhan (trance). Dari sana kemudian Ia merasa bahwa secara tidak langsung Ia telah mengalami proses sakralisasi tersebut.
“Dulu karena kewajiban garis keturunan itu, makanya mau gak mau. Tapi kemudian saat nari, belum proses sakralisasi, saya trans, semacam kerauhan kalau di Bali. Jadi sakralisasi secara tidak langsung. Bisa dikatakan memang sudah dipilih,” ujarnya.
Semacam ada taksu sendiri, saat menari Gandrung, Satria merasakan bahwa dirinya adalah seorang perempuan. Namun hanya saat prosesi menari saja, selepas itu ia kembali menjadi laki-laki utuh.
Bukan tidak mungkin kalau kemudian ada yang terhanyut dan menjadikan sisi kewanitaan yang lebih dominan.
“Bisa saja kalau tidak terkontrol, lalu kemudian merasa nyaman jadi perempuan. Asal jangan sampai terhanyut saja. Saya sendiri selepas nari, ya kembali laki-laki biasa,” ujarnya.
Yang menjadi kekhawatiran dan tidak bisa dipungkiri, bahwa penari gandrung laki-laki semakin sedikit hari ini. Bukan tidak mungkin jika tidak dilestarikan satu hari bisa punah.
Satria menambahkan untuk penari gandrung laki-laki di banjarnya saja tinggal dua orang termasuk dirinya.
Tari LGBT
Berbeda dengan Satria, para penari laki-laki di Sanggar Ardhanareswari memang para kaum lesbian, gay, biseksual, and transgender (LGBT). Sanggar yang berasal dari Sading, Mengwi, Badung ini pun justru semakin berkembang dalam menyajikan tari legong klasik.
Sejak terbentuk tahun 2012, hingga saat ini ada total 14 penari yang berada di bawah naungan Sanggar Ardhanareswari. Ditambah dengan crew, ada sekitar 20 anggota di dalamnya.
Menjadi kebanggaan tersendiri, bagi para penari, di mana mereka bisa menampilkan babak-babak legong secara utuh.
Menurut Gusti Made Wira, Manajer Sanggar Ardhanareswari, justru saat ini, ada kecenderungan di mana babak-babak tertentu pada Legong tidak ditampilkan. Yang dikhawatirkan jika terus tidak dimainkan akan dilupakan.
Mengambil contoh Legong Keraton Lasem yang pada awal diciptakan, dimainkan selama 45 menit. Namun saat ini kerap dimainkan dalam durasi 20 menit saja. Itupun sudah termasuk condong.
“Menari legong menjadi satu kebanggan buat kami. Kami laki-laki dan bisa menarikan legong secara lengkap. Karena kami laki-laki staminanya lebih kuat dari perempuan,” ujarnya.
Asal muasal Sanggar Ardhanareswari sendiri adalah untuk mewadahi para seniman LGBT. Di tambah lagi, saat itu (alm.) Nengah Suarca, pendiri sanggar cukup prihatin dengan kelestarian tari legong sesuai pakemnya.
Wira menambahkan, di awal bahkan mereka menamai diri dengan Cross Gender Bali. Karena saat itu, di rumah Suarca yang berkumpul adalah para seniman LGBT.
“Awalnya namanya malah Cross Gender Bali, karena kebetulan di rumah Pak Suwarca, jadi tempat berkumpul para seniman LGBT,” ujar Wira.
Kerap tampil pada piodalan di Sading, diskriminasi menjadi kaum marjinal sendiri justru tak terasa. Menurutnya selama lima tahun ini, di sana mereka diterima apa adanya.
Walau tidak dipungkiri masih ada pandangan dari beberapa pihak, yang hanya melihat mereka dari kulitnya saja.
Tak hanya di desa asal sanggar tersebut, apresiasi pun mereka dapatkan dengan kesempatan tampil di Pesta Kesenian Bali (PKB) empat tahun berturut-turut. Bahkan Dinas Kebudayaan Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar memberikan sebuah sekretariat untuk Sanggar Ardhanareswari di Sesetan.
“Justru kalau sampai diskriminasi belum ada ya. Di Sading sendiri, karena kami memang total ngayah, kami sangat diterima apa adanya,” ujarnya.
Pembinaan Sesuai Fungsi
Made Bandem menilai jika masih ada pemikiran bahwa menjadi penari adalah banci atau diskriminasi pada penari kaum LGBT adalah sesuatu yang sangat disayangkan.
Jika ditilik dari sejarah seni tari di Bali sendiri, Bandem mengungkapkan bahwa di awal Tarian Bali dilakoni kaum pria. Sangat jarang bahkan tidak diperkenankan untuk menari saat itu.
Hingga kemudian seiring perkembangannya perempuan mulai menjadi penari.
“Awalnya di zaman kerajaan, penari Bali itu laki-laki. Dulu perempuan, seperti istri dan putri Raja masih dilarang untuk tampil. Seperti Gambuh juga, itu dulunya laki-laki. Namun karena perkembangan dan perubahan zaman, kemudian perempuan masuk menjadi penari,” ujarnya.
Menurutnya perlu ada pembinaan dan edukasi kepada masyarakat tentang fungsi dari tarian itu sendiri. Bukan kemudian membatasi karena perbedaan gender. Hal ini untuk mengantisipasi kepunahan seni itu sendiri.
Baik itu dari pemerintah, turun ke masyarakat juga oleh institusi pendidikan.
“Perlu ada pembinaan tentang fungsi tari itu sendiri. Jangan sampai dibatasi karena pemikiran seperti itu. Lama kelamaan bisa punah,” ujar Bandem.
Bagi Gede Edi Sulastana, salah satu penari di Sanggar Ardhanareswari, menjadi bagian untuk melestarikan tari klasik. Hampir lima tahun bergabung, menurut pria asal Negara ini banyak pakem yang kemudian Ia ketahui tentang tari legong klasik.
“Setelah gabung di sini jadi tahu pakem legong klasik. Tujuannya juga di sini kan untuk melestarikan Legong klasik karena saat ini orang cenderung ke tari-tari kreasi,” ujar Gede.
Selain mendapat tempat untuk berkegiatan secara positif, saat ini Ia juga aktif mengajar tari. Tak hanya legong juga beberapa tari lainnya sejak satu tahun ke belakang ini.
Ia menyampaikan bahwa dukungan tak hanya Ia peroleh dari teman-teman di sanggar. Begitu pun dengan orang tua yang menerima kegiatannya tersebut.
Bahkan tak jarang, jika ia tampil di lingkungan rumahnya, orang tua turut hadir untuk menonton pertunjukkannya.
“Orang tua tahu dan menerima. Bahkan kalau saya sedang tampil di rumah (Negara), mereka datang untuk menonton,” ujarnya.
Bukan Melacur
Tidak dipungkiri oleh Gusti Made Wira bahwa memang kemudian Sanggar Ardhanareswari menjadi wadah yang mengumpulkan kaum LGBT. Namun ini dinilai sebagai satu hal positif, di mana para kaum LGBT dapat menyalurkan aktifitasnya bukan pada hal-hal negatif yang menjadi stigma di masyarakat.
“Karena kami tidak hidup dari melacur. Justru di sanggar ini sebagai wadah teman-teman untuk menyalurkan lewat kegiatan positif,” ujar Wira.
Memang tidak mudah menurutnya untuk menjaga konsistensi anggota di Sanggar tersebut. Selama lima tahun ini cukup banyak yang keluar masuk.
Seperti seleksi alam. Mereka yang memang ikhlas bergabung dan menari itulah yang terus bertahan. Ada juga yang merasa jenuh, tidak cocok bahkan dilarang oleh pihak keluarga karena takut sang anak menjadi LGBT.
“Pasti ada titik jenuh buat teman-teman di sini. Apalagi tidak dibayar per orangnya. Karena setiap dapat penghasilan, kami gunakan untuk membeli perlengkapan di sanggar. Jadi yang memang konsisten di sini, mereka benar-benar tulus ikhlas menari,” tambahnya.
Hal senada diungkapkan Made Bandem. Menurut pria yang pernah menjadi guru besar ISI Denpasar tersebut, jangan sampai stigma masyarakat membuat bakat dan kesenian terpasung. Walaupun berbeda, namun apa yang dilakukan jika itu positif tetap harus diberikan ruang dan apresiasi.
“Mereka lahir dengan bakat jangan sampai disisihkan. Ada nilai positif yang disalurkan,” tutur Bandem. [b]