Beberapa minggu lalu, saya dikejutkan artikel di Bali Post.
Artikel itu membahas rencana Pansus DPRD Bali untuk melakukan sidak di Pura Besakih, Karangasem sebagai upaya dalam menanggapi isu pemerasan yang makin banyak dikeluhkan wisatawan asing di Pura Besakih.
Saya terkejut karena menyadari bahwa bukan hanya saya saja yang mengalami hal sama. Jujur saja saya bersyukur karena hal ini berarti laporannya makin banyak sehingga pemerintah memutuskan untuk turun tangan.
Saya seorang umat Hindu Bali yang pernah memiliki pengalaman diintimidasi oleh pemandu wisata lokal di Besakih.
Saat itu saya sedang hendak tangkil bersama mantan kekasih saya yang berkewarganegaraan Belanda beserta kedua anak perempuannya. Saat kami baru masuk gerbang pura, kami dicegat beberapa laki-laki lokal yang memaksa kami menggunakan mereka sebagai ojek dan pemandu wisata.
Saya menjelaskan bahwa saya orang Hindu Bali yang sudah terbiasa tangkil ke Pura Besakih untuk bersembahyang. Jadi saya tidak akan membutuhkan pemandu wisata lagi. Saya kaget karena penjelasan saya itu ditanggapi dengan kasar dan agresif.
Saya pun terlibat adu mulut dengan mereka karena saya sangat malu terutama karena kedua anak mantan kekasih saya baru pertama kali mengunjungi Bali. Selama berada di negara mereka, saya dan mantan kekasih saya sangat bersemangat menceritakan keramahtamahan masyarakat Bali.
Namun, saat kami berkunjung ke pura yang harusnya paling sakral dan suci, mereka malah diperlakukan seperti ini.
Pengalaman seperti ini juga saya alami di Pura Narmada Denpasar yang walaupun tidak seekstrim ini tetapi cukup memalukan dan mengecewakan.
Saya diminta seorang teman berkewarnegaraan Australia untuk mengajaknya ke sebuah pura yang dekat dari kawasan Seminyak karena saat itu ia sedang mengalami sebuah masalah yang cukup pelik dan hanya ingin bersembahyang dan mencari ketenangan.
Saat kami tiba di pura dan menyerahkan canang sari, sang pemangku berkata, “Mana sarinya?”
Saya berkata, “Kan seharusnya donasi jero mangku bukan harus diminta atau dituntut begini?”
LaluJero Mangku membalas, “Lho kamu kalau mau meminta banyak ya harus memberi banyak dong.”
Saya benar-benar kesal dan malu teman saya mendapatkan perlakuan seperti itu terutama karena saya dulunya cukup sering bersembahyang ke pura ini dan kalau saya tidak menaruh sari, saya tidak pernah ditanya atau dituntut hal ini. Saya berasumsi bahwa beliau melakukan ini oleh karena teman saya ini orang asing.
Sebenarnya sejak dulu saya ingin melaporkan hal-hal semacam ini akan tetapi saya khawatir jika hanya saya sendiri yang melapor, saya dianggap mengada-ada atau laporan saya tidak ditanggapi serius.
Nah, sekarang pertanyaannya adalah mengapa tindakan intimidasi ini bisa terjadi di tempat suci di Karangasem?
Beberapa tahun lalu, saya berkunjung ke sebuah vila the Griya di Amed yang menurut saya merupakan salah satu vila termewah di area ini. Saat saya sedang duduk dan makan siang bersama pemilik vila, di hadapan kami membentang bukit-bukit tandus dipenuhi rumah-rumah bedeng penduduk yang sangat berbading terbalik dengan kemewahan vila ini.
Saya merasa bingung saat itu karena saya tidak tahu apakah harus merasa bangga, karena sebagai orang Bali saya bisa menikmati gaya hidup mewah, atau saya harus merasa malu karena masih ada saudara-saudara saya dari Karangasem hidupnya berada di bawah garis kemiskinan.
Kemudian saya membaca sebuah tulisan di majalah Exotic edisi Desember 2015 yang ditulis oleh seorang pemerhati lingkungan berkewarganegaraan asing bernama Ibu Kat. Dia menulis tentang sebuah organisasi bernama Yayasan Kita Peduli yang sejak akhir tahun 2015 telah membantu banyak sekali desa miskin di Karangasem yang kebanyakan tidak mendapatkan akses pendidikan yang layak, kamar mandi, obat-obatan atau akses yang mudah untuk mendapatkan air bersih.
Dalam tulisan ini juga dijelaskan tentang bagaimana sekitar 8.900 keluarga hidup dengan penghasilan di bawah Rp 1 juta per bulan sementara banyak keluarga yang memiliki lebih dari lima anak.
Sebagai anggota masyarakat Bali, saya juga menyadari bahwa terdapat ketidakseimbangan pendapatan antara Bali Selatan dan Bali Utara dan Timur yang menimbulkan kesenjangan sosial ini. Akan tetapi beberapa tahun lalu kebanyakan masyarakat Hindu Bali menolak keras saat pemerintah daerah mengusulkan agar Besakih dijadikan kawasan strategis wisata nasional yang mengacu pada Peraturan Pemerintah nomor 50 tahun 2011. Mereka khawatir bahwa kawasan ini akan kehilangan kesakralan dan kesuciannya jika dieksploitasi untuk pariwisata komersial.
Tidakkah intimidasi yang dilakukan para pemandu wisata lokal itu sudah merusak dan menodai kesucian pura bahkan sebelum areal ini dijadikan kawasan wisata nasional?
Mengingat para pemandu wisata tersebut adalah laki-laki, saya bisa membayangkan bagaimana tekanan mereka untuk menjadi kepala keluarga yang juga ditugaskan untuk melanjutkan kewajiban orang tua mereka dalam mebanjar adat sangat sangatlah berat.
Saya juga bisa membayangkan bagaimana pendidikan yang rendah menyebabkan mereka merasa minder untuk mencari kerja di kota. Saya sudah membuktikan sendiri bagaimana susahnya membantu beberapa anak muda Karangasem yang hanya tamatan SD untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang layak.
Tuntutan biaya hidup yang mencakup sandang pangan, kesehatan, dan pendidikan anak ditambah dengan menyamabraya tidaklah sedikit. Apalagi jika mereka dipenuhi oleh perasaan iri terhadap anggota keluarga mereka lainnya yang memiliki taraf hidup lebih baik karena bekerja di wilayah Bali Selatan.
Saya meyakini bahwa mereka pun sebenarnya merasa malu saat menyadari bahwa tindakan mereka ini menimbulkan rasa resah dan tidak nyaman wisatawan asing hingga akhirnya dilaporkan.
Mungkinkah ilustrasi di atas merupakan refleksi dari keputusasaan dan rasa frustrasi mereka dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan tekanan dan serba kekurangan yang akhirnya memicu sikap-sikap agresif ini?
Gubernur Bali Made Mangku Pastika belakangan ini sering dipojokkan karena dianggap sangat materialistis dan menjual Bali. Akan tetapi bagi saya usulan areal Besakih dijadikan kawasan strategis wisata nasional sebenarnya sudah sejalan dengan visi dan misi beliau untuk implementasi Bali Mandara.
Saya mendukung hal ini karena saya lebih memilih jika masyarakat Karangasem diberikan makin banyak lapangan kerja yang akan membantu dan memungkingkan mereka memiliki taraf hidup yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, rumah yang lebih layak, dan akses kesehatan yang lebih mudah sehingga mereka tidak lagi mengandalkan pemasukan dengan menjadi tukang palak yang menggunakan intimidasi terhadap warga asing di tempat suci. [b]
kasian .. knp hrs tjd Intimidasi Pemandu Wisata gini … 🙁