“Justru ketika ada lamaran kami tersinggung..”
Kendaraan roda empat dan bus parkir di pinggir jalan utama menjadi penanda pertama ketika saya mengunjungi Dusun Sade, Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat beberapa waktu lalu.
Wisatawan asing dan domestik berseliweran di sela-sela rumah sederhana berdinding anyaman bambu serta atap alang-alang.
Itulah dusun wisata yang tampilannya masih dijaga dengan sederhana. Dusun Sade adalah salah satu dusun di Pulau Lombok.
Di balik suasana asri dusun, ada sebuah budaya unik Suku Sasak yang berdiam di Dusun Sade. Ya budaya itu adalah kawin culik. Mungkin masih ada yang janggal ketika menyebutkan perkawinan dengan model menculik pasangan. Sebab, pada umumnya perkawinan dilakukan dengan sistem sopan santun seperti adanya perkenalan dari pihak keluarga, lamaran dan lain sebagainya.
Sebelum lanjut, saya dalam tulisan ini mendefinisikan perkawinan dan pernikahan sama, yakni proses menjalin hubungan antara laki-laki dan perempuan untuk membina rumah tangga yang sah secara adat maupun hukum.
Namun, budaya kawin culik ini ternyata berbanding lurus dengan perkawinan dini. Bahkan bagi keluarga tingkat ekonomi rendah, perkawinan menjadi pilihan terakhir bagi para perempuan yang masih belia untuk menjalani hidup selanjutnya. Sebab, mau tidak mau setelah diculik oleh laki-laki, si penculik melalui perantara akan menyampaikan kepada pihak keluarga si gadis bahwa dia akan mengawininya.
Begitu penjelasan pemandu yang memandu saya dan rombongan selama perjalanan wisata di Lombok.
Memasuki Dusun Sade, perkiraan saya benar. Kami dipandu warga lokal yang memang mengkhusukan diri membentuk komunitas. Tidak boleh ada pemandu dari luar Dusun Sade. Kami juga disambut oleh jejeran pedagang pernak-pernik nuansa khas lokal yang dijajakan oleh penduduk setempat.
Biaya masuk di dusun tersebut hanya donasi.
Ketika menelusuri barisan rumah-rumah beratap ilalang yang pondasinya dibangun dari kotoran kerbau itu, saya berjumpa dengan seorang pedagang pernak-pernik. Dia menjajakan jualannya di depan rumah tinggal yang sekaligus menjadi aset wisata. Di sekelilingnya tidak begitu ramai karena lokasinya agak masuk ke dalam.
Wanita beranak dua itu menyebutkan dirinya bernama Resah dan telah menikah pada usia 18 tahun. Kini dia memiliki dua anak laki-laki.
“Yang paling besar usianya tujuh tahun dan paling kecil tiga tahun,” ujarnya.
Dia juga menyebutkan dirinya mengikuti proses kawin culik. “Ikut kawin culik juga,” terangnya.
Menikah Muda
Ketika saya tanya apakah dirinya tidak memiliki cita-cita atau bersekolah tinggi karena hanya tamatan sekolah menengah pertama (SMP), dia tersenyum. “Karena tidak ada uang,” kata Resah.
Dia mengatakan, anak-anak perempuan di dusunnya sekarang memang masih nikah muda. Hal tersebut menjadi pilihan sebagian besar remaja. “Masih banyak yang nikah muda,” ujarnya.
Di tengah hiruk-pikuk suasana wisata, tampak seorang anak perempuan yang mengenakan baju kemeja putih dan rok merah. Gadis itu menyebutkan dirinya bernama Emi (13). Dia sekolah di SDN 1 Rembitan kelas VI.
Saat saya tanya apakah dirinya ingin lanjut sekolah ke jenjang tingkat menengah pertama, remaja itu mengangguk pelan.
“Iya ingin sekolah,” ujarnya dengan logat khas Sasak sambil tersenyum.
Disinggung perihal nikah muda, Emi yang periang, mendadak keningnya mengkerut. “Kamu ingin sekolahnya lanjut ke SMP?” tanya saya. Dijawab anggukan kepala oleh Emi.
Lebih suka mana, sekolah atau kawin? Dia menyebutkan lebih memilih sekolah. “Suka sekolah lah,” ujarnya.
Ketika ditanya apakah ingin lanjut mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, Emi mengiyakan. Terkait cita-cita, remaja tersebut belum bisa bilang.
“Cita-cita belum tahu, tapi pengen kuliah,” katanya.
Obrolan singkat tersebut ternyata menarik perhatian orang tua Emi, Neman. Dia sedang makan dan menyuapi adik laki-laki Emi. “Kalau untuk kuliah kurang tahu, Mas. Mungkin kawin saja,” ujarnya dari dalam rumah.
Petani itu mengatakan, kemungkinan anaknya akan menyusul ibunya untuk kawin muda. Ibu Emi, Kenim juga menikah dengan dirinya di usia muda, 14 tahun.
“Jika ada, nikah saja. Tapi anak saya bengal ini (merujuk sikap Emi yang kurang suka dengan pernikahan dini),” ujarnya.
Neman menyebutkan, jika faktor ekonomi menyebabkan banyaknya perempuan di Dusun Sade menikah muda selain juga karena adanya tradisi kawin culik. “Jika sudah suka, mau bilang apa. Justru ketika ada lamaran kami tersinggung,” jelasnya.
Lain halnya dengan Junaedi, warga lain di Dusun Sade. Dia mengaku menikah pada usia 25 tahun dengan istrinya di usia 20 tahun. Pria yang sehari-hari menjajakan pernak-pernik itu mengatakan anjuran pemerintah untuk menikah usia idelnya adalah 25 tahun untuk laki-laki dan 20 tahun untuk perempuan.
“Usia menikah idealnya 25 tahun untuk laki-laki dan 20 tahun untuk perempuan merujuk aturan pemerintah,” ujarnya.
Dia juga sepakat dan menyebutkan faktor ekonomi menjadi penentu di antara faktor-faktor lain dalam pilihan pernikahan dini bagi remaja di Dusun Sade. “Bagi yang ekonominya kurang kebanyakan memilih nikah muda perempuannya,” ujarnya.
Dianggap Menghina
Menurut Awan, pemandu lokal di Sade, wilayahnya telah dikembangkan menjadi obyek wisata selama 30 tahun terakhir. Menurut dia, sebelum menjadi desa wisata kehidupan masyarakat suku Sasak di Dusun Sade hanya bergantung dari berjualan kayu bakar jika belum musim panen padi di sawah.
“Profesi warga Desa Sade adalah petani. Mereka panen setahun sekali karena lahannya termasuk sawah tadah hujan,” ujarnya.
Awan menyampaikan jika tradisi menculik anak gadis sebelum dinikahi adalah salah satu adat yang dipertahankan hingga saat ini. “Jika meminang gadis justru dianggap menghina orangtua gadisnya,” ujar Awan.
Perihal kondisi pendidikan serta pernikahan dini yang dialami remaja perempuan di Dusun Sade, saya sempat bertanya kepada seorang pemandu kami selama di Lombok di luar pemandu Dusun Sade. Jawabannya hanya normatif, bahkan cenderung menurut saya agak menutupi realita. Dia memberikan pernyataan jika perempuan di Dusun Sade sudah banyak yang berpendidikan bahkan hingga kuliah. Ketika akan menikah, mereka kembali ke kampungnya untuk melaksanakan tradisi.
Namun, dengan keterbatasan waktu berkunjung karena perjalanan saya memang seperti perjalanan paket wisata, data yang saya himpun terkait dengan tradisi kawin culik di Dusun Sade belum mendalam serta detail. Bahkan saat akan meminta wawancara khusus kepada seorang tokoh adat atau pemandu lokal di sana, permintaan saya juga tidak terpenuhi.
Sekembali dari Dusun wisata Sade, yang menjadi pikiran saya adalah, realita yang saya jumpai di lapangan masih adanya pernikahan dini di kalangan remaja. Hal tersebut “didukung” oleh tradisi kawin culik. Selanjutnya alasan ekonomi menjadi kambing hitam lanjutan dari fenomena yang ditetapkan sebagai sebuah tradisi.
Lantas, jika dicermati si pemandu lokal, Awan menyatakan jika model desa wisata yang dikembangkan di Dusun Sade sejak 30 tahun terakhir, tapi kenapa masih ada pernikahan dini karena motif ekonomi, selain tradisi. Pertanyaan selanjutnya seberapa perkembangan pariwisata memberikan dampak bagi masyarakat lokal? Apakah mereka masih menjadi obyek dari pariwisata dan tangan-tangan tak terlihat (pemilik modal) sebagai subyeknya? [b]
Comments 1