
Dulu terhenti karena erupsi Gunung Agung dan tragedi 1965.
Selesai bersembahyang menurut Hindu Bali, ratusan orang berbaris satu-satu masuk hutan bakau di sisi timur Desa Kedonganan pada Jumat, 8 Maret 2019 lalu. Sebagian bernyanyi lagu dalam bahasa Bali, “Mentul menceng, mentul menceng. Glendang glendong, glendang glendong…“
Hanya bertelanjang dada dengan kamen (sarung) diikat setinggi lutut, anak laki-laki mendahului. Anak-anak perempuan, sebagian besar masih anak-anak dan remaja, menyusul di belakang. Mereka menyusuri jalur air di tengah hutan bakau. Tinggi air tak lebih dari mata kaki.
Bagi warga desa di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, kawasan hutan bakau itu dianggap sakral atau tenget. Di sisi timur, ada Pura Prapat yang dianggap sebagai penjaga kawasan itu. Karena itu, warga tidak boleh melakukan perbuatan yang dianggap bisa mengotori ataupun berkata-kata kasar.
Di lokasi itu mula terdapat lumpur khas kecoklatan yang oleh warga disebut buug. Lumpur tersebut dianggap lebih bersih sehingga tidak membuat tubuh gatal.
Di sanalah satu per satu warga adat Desa Kedonganan itu masuk ke lumpur. Ada yang hanya masuk lumpur setinggi lutut. Namun, ada pula yang terjebak hingga pinggang. Toh, mereka seperti tidak pedulu.
Mereka mengambil lumpur kecoklatan untuk melumuri sekujur tubuh: punggung, perut, dada, leher, muka, bahkan rambut mereka.
Tak cukup melumuri tubuh dengan lumpur, sebagian juga saling melempar lumpur sekepal tangan mereka. Ada pula yang berbalas membasah wajah temannya dengan lumpur sama.
Toh, tidak ada permusuhan. Mereka saling tertawa sepanjang pelaksanaan ritual.
Sore itu, warga desa berjarak sekitar 2 km di selatan Bandara Internasional Ngurah Rai Bali itu melaksanakan ritual mebuug-mebuugan, mandi lumpur setelah Nyepi.
I Wayan Wiliana, termasuk salah satu dari warga Kedonganan yang mengikuti mebuug-mebuugan sore itu. Tak hanya melumuri sekujur tubuhnya dengan lumpur, dia juga mengambil pucuk dahan bakau lalu disematkan pada ikat kepala layaknya mahkota.
“Buat hiasan saja,” kata Wiliana.
Setelah mandi lumpur di pantai timur, tempat di mana hutan bakau berada, warga berjalan kaki menuju pantai di sisi barat desa. Masih dengan bertelanjang kaki, mereka melewati Jalan By Pass Ngurah Rai yang beraspal hitam.
Sepanjang jalan sebagian peserta “mengganggu” penonton atau warga lain yang tidak ikut ritual dengan cara mengoleskan lumpur itu pada wajah atau tangan.
Sekitar 3 km perjalanan itu berakhir di Pura Segara di Pantai Kedonganan. Tempat sembahyang umat Hindu ini berderetan dengan kafe-kafe yang menyajikan menu khas boga bahari (seafood). Di pantai inilah warga lalu mandi untuk membersihkan diri setelah mereka melakukan kegiatan lain, bermain tradisional dan berjoget tradisi.

Lama Mati
Mebuug-buugan adalah ritual kuno warga adat Kedonganan. Namun, warga baru menghidupkan lagi ritual ini sejak empat tahun lalu.
Kepala Desa (Bendesa) Adat Kedongan I Wayan Mertha mengatakan tradisi ini sebenarnya sudah berlangsung lama, tetapi terhenti lama. Selain karena letusan Gunung Agung pada 1963 juga akibat tragedi politik 1965. “Tonggak pemberhentian tradisi mebuug-buug karena peristiwa 1965. Saat itu banyak persoalan politik yang berpengaruh pada ritual ini,” kata Mertha.
Sejak empat tahun lalu, kata Mertha, warga berusaha menghidupkan kembali tradisi yang sempat mati itu. Salah satu alasannya, warga merasa ada yang kurang seusai mereka melaksanakan Nyepi.
I Wayan Sudarsana, warga setempat yang juga alumni S2 Seni Tari Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, menghidupkan kembali ritual tersebut sejak 2015. Melalui risetnya, Sudarsana menemukan bahwa warga dulunya memiliki tradisi mebuug-buug yang kemudian terhenti selama 40 tahun.
Pada 2015, warga memulai lagi ritual mebuug-buug itu.
Bendesa Adat Kedonganan Mertha mengatakan ada dua makna kegiatan mebuug-buug. Pertama, terkait dengan rasa syukur dan terima kasih pada Ibu Pertiwi atas semua anugerah, seperti kesuburan tanah. “Kami bersujud pada Ibu Pertiwi dan melumuri tubuh dengan lumpur sebagai ucapan terima kasih,” katanya.
Kedua, Mertha melanjutkan, untuk pembersihan secara skala (lahir) dan niskala (batin). “Selama satu tahun perjalanan pasti ada hal-hal kurang baik, baik kita sadari ataupun tidak. Jadi ini kami bersihkan keburukan. Hal-hal yang kurang baik kami bersihkan selama ritual mebuug-buug,” ujar Mertha.
Lumpur sendiri merupakan simbol dari hal buruk atau kotor. Warga kemudian melumur sekujur tubuhnya dengan lumpur sebagai pertanda hal-hal buruk yang mereka alami selama setahun itu. Setelah itu, mereka akan membersihkannya.
Pembersihan dilakukan di pantai barat Desa Kedonganan yang berada di antara Jimbaran dan Bandara Ngurah Rai ini. Di pantai berpasir putih, warga yang mengikuti mebuug-buug berkumpul berdasarkan nama banjar masing-masing.
Di sana mereka bermain seperti anak-anak. Ada megala-gala (semacam gobak sodor) dan ngibing. Turis, sebagian besar dari China, berbaur bersama warga melihat suka cita itu.
Usai bersuka cita dengan permainan dan jogetan, warga akan membersihkan diri di laut. Ratusan orang seperti berlomba-lomba masuk ke dalam air dan membersihkan lumpur mengering di tubuh dan pakaian mereka.
Akhir dariritual mebuug-buug adalah ketika warga bersembahyang di Pura Segara, Kedonganan. Pemangku akan memercikkan air suci (tirta). “Pembersihan di laut bertujuan untuk membersihkan secara fisik sedangkan upacara di Pura Segara dengan memercikkan tirta untuk menyucikan secara spiritual,” kata Mertha.
Bagi warga ritual mebuug-buug adalah kegembiraan sekaligus pembersihan. “Ini bagus sekali untuk membersihkan diri kami setelah Nyepi,” kata Ketut Sukarta, salah satu warga.

Simbol Harapan
Mebuug-buug merupakan salah satu ritual yang sudah lama mati, tetapi kemudian dihidupkan lagi oleh warga setempat. Ritual ini dilaksanakan sehari setelah Nyepi atau Ngembak Geni.
Dalam pandangan Dosen Filsafat Universitas Indonesia Luh Gede Saraswati Putri, mebuug-buugan termasuk ritual yang mendekatkan masyarakat pada alam, seperti juga ritual Bali pada umumnya. Apalagi ketika ritual itu dilaksanakan sebagai bagian dari rangkaian Nyepi, puasa 24 jam di Bali dengan tidak menyalakan lampu (amati geni), tidak bekerja (amati karya), tidak bersenang-senang (amati lelanguan), dan tidak bepergian (amati lelungan).
Menurut Saras Dewi, panggilan akrabnya, Nyepi menunjukkan bahwa Bali masih menjadi simbol harapan. Ada perubahan yang berorientasi lingkungan oleh warga secara luas dan sadar. Partisipasi publiknya besar.
“Nyepi itu menjadi oase di antara begitu banyak problem dan karut marutnya lingkungan,” ujar Saras Dewi.
Saras mengatakan seiring dengan masifnya pariwisata massal, Bali makin menghadapi masalah lingkungan di tiga wilayah utama: pedesaan, perkotaan, dan pesisir. Namun, akhir-akhir ini dia melihat ada kesadaran publik untuk merehabilitasi lingkungan.
“Saya keinginan untuk memperbaiki lingkungan itu puncaknya ada di Nyepi,” katanya.
Saras memberikan contoh pada munculnya revitalisasi ritual-ritual tua, seperti Sang Hyang Dedari di Karangasem dan mebuug-buug di Kedonganan, sebagai upaya menemukan kembali hubungan antara ritual dengan alam.
Sang Hyang Dedari merupakan tarian sakral yang digelar sejalan dengan kalender agraris petani di Desa Duda Utara, Karangasem. Adapun mebuug-buug dilakukan masyarakat dengan budaya pesisir.
“Ada upaya sporadis bahwa mereka mau melakukan sesuatu,” lanjutnya.
Tidak hanya melalui ritual-ritual kuno yang dihidupkan lagi, Saras melihat upaya memperbaiki lingkungan itu juga terlihat dalam kebijakan Wali Kota Denpasar yang melarang penggunaan plastik sekali pakai ataupun anak-anak muda yang tidak lagi menggunakan gabus ketika membuat ogoh-ogoh.
“Saya lihat ada upaya pembenahan meskipun tertatih-tatih. Ada harapan di masa depan,” ucapnya. [b]
Keterangan: versi lain tulisan ini terbit di Beritagar.
situs mahjong
KEREN! Tradisi yang sudah sepatutnya dilestarikan untuk warisan ank cucu kita. Suksma. Artikelnya menarik. Baru tau kalau adan tradisi mebuug buugan di kedonganan.