Lima menit menjelang tampil, Dadang Pranoto menyampaikan ide spontan.
“Nanti Mas ngomong tentang Bali Tolak Reklamasi ya. Terus aku nyanyi lagu Bali Tolak Reklamasi. Kita lanjut menyanyi bareng,” katanya. Ide mendadak. Tapi, boleh juga.
Selasa malam kemarin, kami bertemu lagi di Point Ephemere. Bar dan kafe di kawasan Paris Utara ini menjadi tempat pameran video dan foto kampanye If Not Us Then Who?. Tujuan kampanye global ini mendukung perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan hutan di kawasan mereka.
Sebagai musisi dan aktivis, Dadang terlibat dalam kampanye ini. Tidak hanya menjadi gitaris di band grunge Navicula dan vokalis band folk Dialog Dini Hari (DDH), Dadang memang sering terlibat dalam aksi-aksi sosial ataupun lingkungan.
Kali ini, Dadang terlibat pula dalam kampanye If Not Us Then Who?. Hal yang membawanya terbang ke Paris untuk pertama kali. Penampilan di Point Ephemere kemarin yang ketiga kali. Sebelumnya, Dadang sudah tampil solo pada 5 dan 6 Desember 2015.
Saya bertemu Dadang di Paris 6 Desember lalu. Namun, baru kemarin bisa lihat dia tampil. Malam itu, Point Ephemere penuh pengunjung. Tempat ini memang menjadi salah satu tempat kumpul asyik di kawasan Paris Nord. Lokasinya persis di samping sungai kecil Saint Martin.
Namun, pengunjung yang ikut menonton Dadang hanya sekitar 30 orang. Toh, tetap saja terasa aura akrabnya. Maklum, sebagian besar penonton memang kalangan pegiat masyarakat adat yang ikut hadir dalam Konferensi Parapihak terkait Perubahan Iklim (COP) 21 di Paris.
Wakil masyarakat adat yang hadir kemarin termasuk dari Dayak, Indonesia dan suku Amazon, Brazil. Keduanya bercerita tentang perjuangan masing-masing dalam melawan investasi yang didukung pemerintah maupun para preman. Keduanya masih berjuang. Belum berhasil mengusir investasi dari kawasan adat mereka.
Namun, mereka setidaknya membuktikan bahwa masyarakat adat punya kekuatan untuk melawan apa yang mereka anggap akan merusak wilayah mereka.
Cerita dua pejuang masyarakat adat itu menginspirasi Dadang untuk turut serta mengampanyekan perjuangan menolak reklamasi di Bali. Saya jadi korban, ditodong bercerita tentang gerakan ini, seperti halnya dua masyarakat adat dari Kalimantan dan Amazon.
Maka, dengan agak grogi, saya pun maju. Bercerita dalam bahasa Inggris ala kadarnya tentang perjuangan warga Bali menolak reklamasi. Tentang tidak adilnya pembangunan pariwisata di Bali, tentang rencana pembangunan pulau-pulau baru di wilayah konservasi yang justru akan mengancam masa depan Bali.
Sambutannya lumayan. Setidaknya pada tepuk tangan ketika saya jelaskan bahwa perjuangan yang sudah tiga tahun berjalan ini bisa menghentikan laju sementara rencana investasi tersebut.
Setelah itu, kami pun bernyanyi lagu kebangsaan Bali Tolak Reklamasi. Para pengunjung ikut serta menyanyi pada refrain, “Sayang Bali, tolak reklamasi..”
Lagu Bali Tolak Reklamasi menjadi pembuka dari lima lagu Dadang lainnya di Point Ephemere Selasa malam itu. Tentu saja, Dadang juga menyanyikan lagu yang sekarang menjadi anthem gerakan If Not Us Then Who? dengan judul sama seperti gerakan mereka.
Dalam sebuah spontanitas pula, Dadang kemudian berkolaborasi dengan warga adat dari Amazon, Brazil dan musisi dari Ekuador. Meskipun hanya eksperimen, kolaborasi mereka mendapat sambutan meriah dari penonton.
Bersikap
Keikutsertaan Dadang yang juga aktivis dalam kampanye perlindungan hutan selama COP21 berawal dari ajakan Handcrafted Films, Indonesia Nature Film Society (INFIS) dan AMAN. INFIS adalah komunitas pembuat film yang fokus pada isu-isu lingkungan dan masyarakat adat.
Nanang Sujana, pendiri sekaligus pembuat film utama INFIS, menceritakan perjumpaan pertamanya dengan Dadang ketika mereka terlibat dalam proyek bersama dalam tur band Navicula di Kalimantan pada 2012. Ketika itu, band Navicula yang memang peduli terhadap isu-isu lingkungan mengadakan tur bersama Greenpeace mengampanyekan perlindungan harimau dan hutan.
Ketika Nanang kemudian terlibat dalam proyek global If Not Us Then Who? yang lebih fokus pada kampanye perlindungan masyarakat adat, dia mengajak Dadang lagi. “Kami butuh figur musisi yang tidak hanya bernyanyi tapi juga bersikap. Menurut kami, Dadang sesuai dengan pilihan tersebut,” katanya.
Dadang pun kemudian terlibat dalam proyek global If Not Us Then Who? yang untuk mengampanyekan cerita-cerita tentang masyarakat adat terutama dalam melindungi hutan. Dadang berkunjung ke beberapa komunitas masyarakat adat di Indonesia termasuk di Toraja, Sulawesi Selatan. Dari kunjungan tersebut, lahirlah lagu karya If Not Us Then Who? yang menjadi semacam lagu kebangsaan gerakan ini.
“Karena saya percaya bahwa jika masyarakat adat terlindungi, maka hutan pasti terselamatkan,” ujar Dadang.
Di Indonesia, kampanye If Not Us Then Who? sendiri melibatkan berbagai komunitas masyarakat adat terutama AMAN. Bersama AMAN, mereka telah merekam dan membagi cerita warga adat dari Pandumaan Sipituhuta, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara; Desa Setulang, Kecamatan Malinau Selatan Hilir, Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara; Sungai Utik, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat; Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat; Kepulauan Aru, Maluku; dan Tobelo Dalam, Halmahera, Maluku Utara.
Bersama cerita masyarakat adat dari Peru, Nikaragua, Kongo, dan negara-negara lain di Amerika Selatan maupun Asia Pasifik, visualisasi tentang perjuangan masyarakat adat tersebut ditampilkan di Point Ephemere hingga 11 Desember 2015 nanti.
Tujuan utama kampanye ini, menurut Nanang, untuk menyampaikan kepada para pihak yang terlibat di COP21 bahwa masyarakat adat harus dilibatkan dalam pengelolaan hutan. “Kalau mau menyelamatkan hutan dunia, warga adat harus diajak terlibat. Sebab merekalah yang selama ini telah melindungi hutan-hutan di Bumi, termasuk Indonesia,” Nanang menambahkan. [b]