Anggota Kelompok Suka Parisuka Yogyakarta akan menggelar pameran bersama.
Dua puluh anggota kelompok tersebut akan berpameran dengan tajuk “Atas Nama Benda”. Pameran ini dijadwalkan dibuka pada Jumat oleh budayawan Agung Rai di Bentara Budaya Bali.
Pameran yang digagas salah satunya oleh Romo Sindhunata ini merupakan kelanjutan kolabarasi serupa dari komunitas “Suka Parisuka”. Sebelumnya mereka sudah menggelar pameran di Bentara Budaya Yogyakarta pada 14 – 19 Mei 2013.
Menurut Romo Sindhu, pameran Suka Parisuka ini adalah sebentuk upaya membingkai kreativitas dalam solidaritas, menghidupkan iklim pergaulan yang guyub dan gayeng antar para seniman Yogya. Melalui tema ini pula, rohaniawan tersebut berharap, agar para seniman dapat berkarya sembari mengekspresikan kegembiraannya sepuas-puasnya dan sebebas-bebasnya.
Tema pameran kali ini pun terbilang menarik untuk dicermati. Pada perupa pesohor Yogyakarta memilih tema “Still life” atau melukis alam benda sebagai sebuah upaya interpretasi ulang atas konsep sebuah “objek” atau “benda”.
Pelaku pameran antara lain Kartika Affandi, Djoko Pekik, Putu Sutawijaya, Jumaldi Alfi, Nasirun, Hari Budiono, Ridi Winarno, Budi Ubrux, Ivan Sagito, Hadi Soesanto, Yuswantoro Adi, Melodia, Wayan Cahya, Bambang Pramudiyanto, Dyan Anggraini Hutomo, F. Sigit Santoso, Bambang Herras, Edi Sunaryo, Hermanu, dan Samuel Indratama.
Selain menyoal tema, menarik pula untuk merunut kembali pertautan yang terjalin selama ini antara dunia seni rupa Yogyakarta dan Bali. Ada dua perupa kelahiran Bali yang turut serta dalam pameran ini, yaitu Putu Sutawijaya dan Wayan Cahya.
Peristiwa ini secara khusus akan dibincangkan pula dalam satu sesi diskusi yang berlangsung pada Sabtu pukul 10.00 WITA di Bentara Budaya Bali. Sebagai pembicara dialog adalah seniman Yuswantoro Adi, Edi Sunaryo dan perupa lainnya.
Adapun menurut F. Sigit Santoso, tema alam benda ini bukanlah hanya memindahkan citra objek apa adanya secara artifisial pada bidang kanvas, tetapi sebuah upaya menghadirkan benda berdasarkan dari hasil kajian, interaksi, dan identifikasi ulang objek itu sendiri.
Dalam tulisannya ia menyebut, bahwa pameran yang berlangsung hingga 7 Februari 2015 mendatang, bertujuan menghadirkan “benda” berdasarkan hasil kajian, interaksi, dan identifikasi ulang atas objek itu sendiri.
“Semoga pameran dengan tema “still life” ini tidak berhenti pada keadaan yang bersifat still, namun diharapkan menjadi sesuatu yang life, selalu hidup, dan bergerak”, ungkap Sigit Santoso, seniman yang juga turut berpameran.
Pameran “Atas Nama Benda” ini bermula dari pemikiran, bahwa pada setiap benda seringkali ada tanda, dan dalam sebuah tanda selalu terdapat makna. Sebatang pipa rokok dalam lukisan pelukis Perancis, Renne Magrite, sepintas hanyalah sekadar benda biasa yang dapat ditemukan dalam kehidupan kita sehari-hari.
Namun ketika tersemat sebaris teks di bawah gambar dengan bunyi: leci n’est pas une pipe – yang artinya: ini bukan pipa – maka yang terjadi adalah multi interpretasi, penggugatan, penjungkirbalikan persepsi, bahkan menjadi kajian filsafat yang tak kunjung selesai untuk di bahas pada buku Michel Foucault.
Dalam kesenian, dikenal apa yang disebut dengan: simbol, metafor, analogi, kode, logo, ataupun tanda. Sesederhana apapun sebuah objek, apabila kita cermati lebih seksama selalu ada jejak yang tertinggal di sana, meskipun itu hanya rumput, daun, bunga, kursi, gelas, atau apapun yang tertemu dihadapan kita.
Sebuah apel dengan tanda gigitan pada permukaan kulitnya bagi kita hanyalah sebutir buah bekas dimakan orang lain, namun tidak bagi Steve Jobbs dengan produk Macintosh-nya. Sebab apel merupakan representasi dari pengetahuan, buah dari surga yang dimakan oleh Adam dan Hawa supaya mengetahui rahasia alam semesta.
Benda yang semula dianggap biasa, dengan kajian tertentu, alih fungsi, dan apropriasi, tiba-tiba berubah menjadi benda yang berbeda, bahkan tidak jarang bersinggungan dengan sesuatu yang bersifat sensitif dan politis. Apa jadinya apabila dua lembar kain beda warna – merah dan putih – di satukan dengan jahitan, kemudian digunakan lagi sebagai pembersih lantai?
Atau coba silangkan sebuah palu dengan sebilah sabit di atasnya, barangkali yang terlihat tidak lagi sekadar alat pukul bertindihan dengan pemotong rumput, namun stigma buram dan prasangka berlebihan pada salah satu ideologi terlarang di masa lalu? [b]