Hati-hatilah jika berniat berinvestasi di Bali selatan.
Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) agar Gubernur Bali mencabut Surat Keputusan (SK) Gubernur Bali tentang izin pemanfaatan Tahura Ngurah Rai seluas 122,22 ha ke PT. Tirta Rahmat Bahari (TRB).
Tahura ini adalah hamparan hutan bakau yang sebelumnya dikelola pemerintah sebagai obyek wisata. Pemerintah Jepang melalui JICA merintis usaha pelestarian mangrove dengan membuat Tahura dan program pembibitan.
Salah satu dalil putusan yang membatalkan izin tersebut adalah surat Gubernur Bali pada 27 Desember 201 tentang penghentian sementara penerbitan persetujuan prinsip untuk bidang jasa usaha akomodasi (berbintang dan hotel melati) di Bali selatan (Denpasar, Badung, dan Gianyar).
“Terbitnya SK izin untuk PT TRB juga inkosistensi aturan sehingga tidak ada kepastian hukum. Pemerintah kurang cermat dan berhati-hati sehingga cacat hukum,” kata Hakim ketua Asmoro Budi Santoso. Putusan ini dibacakan bergantian dengan hakim lain yakni Mursalin Nadjib dan I Dewa Gede Puja.
“Mengabulkan gugatan penggugat dan menyatakaan batal SK Gubernur tentang izin pemanfaatan Tahura Ngurah Rai seluas 122,22 ha ke PT TRB. Memerintahkan tergugat mencabut surat izin tersebut,” lanjut Asmoro.
Dalam putusannya, disbeutkan sesuai site plan, sarana prasarana itu adalah akomodasi yang dihubungkan dengan SK Moratorium bertentangan dengan kebijakan Gubernur sendiri.
Tergugat yakni Gubernur Bali dan PT TRB sebelumnya menyebut rencana akomodasi di area blok pemanfaatan. Hasil pengecekan lapangan majelis hakim ke lokasi menyebutkan masuk dalam blok perlindungan.
Seorang saksi ahli dari pihak tergugat, Suratman menyebut gazebo berada di blok pemanfaatan. Arah Selatan berada di lautan bebas dan dekat jalan tol di atas perairan. Setelah pengecekan, dengan mencocokan peta zoonasi tahun 2007, terbukti pembangunan 75 penginapan di blok perlindungan dan bertentangan dengan aturan konservasi.
Terkait good governence, hakim menyatakan bertentangan dengan asas pemerintahan yang baik yakni keterbukaan informasi. Tergugat hanya melakukan ekspose dua kali saat pengajuan izin. Sesuai daftar hadir yang diundang hanya instansi terkait, dari masyarakat hanya Bendesa Adat Pemogan. Tidak ada warga Desa Kepaon yang masuk dalam area ini.
“Tidak ada sosialisasi sama sekali di masyarakat. Sehingga warga tidak tahu,” sebut hakim.
Karena itu tiga banjar yakni Sakah, Kajeng, dan Rangkan Sari mengadakan rapat. Dua banjar menolak izin, satu banjar abstain. “Terbukti kurang sosialisasi perencanaan pengelolaan Tahura sehingga menimbulkan gejolak,” lanjut hakim.
Selain itu, hakim memerintahkan tergugat menanggung biaya perkara sebesar Rp 1.787.000.
Ketut Ngastawa, kuasa hukum Gubernur Bali usai persidangan mengatakan akan banding ke PTUN Surabaya. Hakim menyebut proses pengajuan banding maksimal 14 hari setelah putusan.
“Kita tunggu proses hukum dulu sampai inchract, sebaiknya (TRB) tidak usah beroperasi dulu karena ada risiko,” kata Ngastawa. Menurutnya ini masih menjadi objek sengketa. “Pemerintah yakni Gubernur harus mengikuti proses hukum karena kita negara hukum,” tambah pria ini.
Putu Indrawan, salah seorang kuasa hukum Walhi menyebut pemberian izin melanggar peraturan yang pemerintah buat sendiri. Proses pembuktian cukup melelahkan karena ada 45 bukti yang diajukan Walhi untuk memperlihatkan ada cacat hukum dalam proses pemberian izin. Termasuk diubahnya peta zoonasi Tahura.
I Wayan Suardana aka Gendo, Dewan Daerah Walhi Bali yang juga masuk dalam tim kuasa hukum menyatakan kemenangan ini jangan dianggap Walhi mengalahkan gubernur. Menurutnya ini adalah control public. “Bukan bagian KO gubernur,” katanya meminta media tak mempolitisi.
Ini gugatan lingkungan pertama kali menggunakan hak legal standing atas izin investasi di Bali. Menurut Gendo adalah preseden hukum yang baik.” Kalau ada kebijakan dari pejabat Negara yang dianggap keliru masyarakat punya keberanian melakukan hak hukumnya,” sebutnya.
Gubernur dalam memberikan izin diminta berhati-hati dan konsisten dengan kebijakan. “Yang paling penting penerbitan izin mulai sekarang harus melibatkan masyarakat dari awal karena disebut hakim melanggar keterbukaan informasi, jangan sembunyi. Libatkan partisipasi masyarakat,” kata Gendo. [b]