Oleh Anton Muhajir
Studi oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) pada 2005-2008 menunjukkan bahwa kualitas DPR buruk dalam menghasilkan produk legislasi terkait dengan hak asasi manusia (HAM). Sebagian besar Undang-undang yang dihasilkan DPR lebih bersifat transaksional.
Direktur Elsam Agung Putri Astrid Karika menyampaikan hal itu dalam Diskusi Dinamika Politik dalam Perspektif HAM yang diadakan Aliansi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) se-Bali (Alase) di Denpasar, Jumat (20/2). Diskusi setengah hari ini dihadiri sekitar 100 orang dari kalangan aktivis LSM, calon anggota legislatif (Caleg), dan masyarakat umum.
Menurut Agung Putri ada tiga fungsi yang harus dilaksanakan oleh DPR yaitu fungsi legislasi, fungsi pengawasan pemerintah, dan fungsi anggaran. Berdasarkan studi terhadap fungsi legislasi, terlihat bahwa kualitas DPR terhadap pembuatan legislasi sangat tidak memperhatikan masalah HAM. “Lebih dari 50 persen produk legislasi yang dibuat DPR tidak sesuai dengan HAM,” kata perempuan alumnsi S2 di Belanda ini.
Berdasarkan studi Elsam, selama 2005-2008 DPR menghasilkan 129 Undang-undang (UU). Sebagian besar UU tersebut, sekitar 36 persen, adalah tentang pemekaran wilayah. UU lain, apalagi terkait dengan HAM, sangat minim. DPR sendiri membuat rencana produk legislasi sebanyak 284 UU. Namun hanya 39 UU yang sesuai dengan rencana tersebut.
Studi tersebut juga memperlihatkan bahwa dari 129 UU produk, hanya 34 UU yang terkait HAM. Itu pun hanya 18 produk legislasi yang sesuai dengan perspektif HAM dan sisanya tidak sesuai dengan HAM. “Ini hal ini yang memprihatinkan,” ujar Putri.
UU yang sesuai dengan perspektif HAM, lanjut Putri, lebih banyak berupa ratifikasi terkait dengan perlindungan HAM. “Sebagian besar UU yang dibuat bukanlah penjabaran dari HAM yang sudah diatur konstitusi tapi malah sebaliknya, bertabrakan,” katanya.
Menurut Putri hasil studi Elsam itu menunjukkan bahwa ada persoalan serius mengenai pemahaman dan penerapan HAM dalam proses pembuatan legislasi. “Isu HAM hanya terkelompok dalam subjek tertentu, bukan mendasari masalah lain,” katanya.
UU yang sejalan lebih banyak bersifat ratifikasi. Tidak misalnya mengilhami isu pelayanan publik dan lain-lain. Mereka belum bisa mengintegrasikan HAM dalam legislasi. Hal ini, menurut Putri, terjadi akibat masih rendahnya pemahaman anggota DPR terhadap persoalan HAM.
“Minimnya kualitas pemahaman ini akibat tingginya politik transaksional,” ujar Putri. Selain itu juga karena DPR sendiri belum punya indikator untuk menilai apakah UU itu memilki kandungan HAM atau tidak sehingga ada ketimpangan antara rencana dan penerapan.
Menurut Putri, puncak dari lahirnya produk legislasi yang tidak sesuai dengan perspektif HAM adalah dengan disahkannya UU Pornografi. UU ini menjadi puncak dari UU lain yang selama ini sudah jadi keprihatinan publik seperti UU Sumber Daya Air, UU Penanaman Modal, dan lain-lain.
Akibat buruknya produk legislasi ini maka banyak masyarakat yang melakukan judicial review terhadap UU itu. Selama ini judicial review ini menghabiskan biaya sangat besar. “Maka proses legislasi kita masih sangat boros,” katanya.
Buruknya kualitas DPR dari perspektif HAM juga bisa dilihat dari fungsi mereka dalam hal pengawasan pemerintah. Fungsi ini biasanya diwujudkan dalam interpelasi dan hak angket. Selama lima tahun DPR hanya mengeluarkan sembilan hak angket antara lain untuk kasus impor beras dan kenaikan BBM. Dari 9 pengajuan hak angkat tersebut, lima hak angket yang punya perspektif HAM. “Itu pun tidak ada ujungnya. Gagal di tengah jalan sehingga tidak ada hasil,” tambah Putri.
Dalam kasus-kasus sangat besar seperti busung lapar dan krisis ekonomi, DPR tidak penah mengeluarkan fungsi pengawasan. Padahal hal-hal tersebut sangat penting dalam perspektif HAM. “Secara substansi DPR belum melakukan perubahan sama sekali,” ujarnya.
“Inilah hasil dari DPR selama lima tahun ini. Ini bisa merepresentasikan kinerja DPR selama ini bahwa mereka belum bekerja dengan penuh terhadap persoalan HAM,” lanjut Putri..
Untuk menaikkan kualitas anggota DPR terkait dengan isu HAM, Putri menyarankan agar pada Pemilu ke depan, masyarakat menjadikan HAM sebagai pertimbangan untuk memilih caleg. “Ini untuk meminimalkan terjadinya politik transaksional sehingga agar kasus-kasus pelanggaran HAM tidak lagi diperdagangkan anta-fraksi,” ujarnya.
Dalam diskusi yang sama, Ketua Komite Nasional (Komnas) HAM Ifdhal Kasim juga mengatakan bahwa sebagian besar anggota DPR yang sekarang agak alergi dengan kasus pelanggaran HAM. “Makanya tidak banyak yang selesai seperti kasus 65, Talang Sari, dan Tanjung Priok. DPR sering menjadi hambatan bagi penyelesaian kasus pelanggaran HAM,” katanya.
Ifdhal juga menyoroti masih adanya pembatasan dalam aturan Pemilu. “Salah satunya adalah bahwa orang yang pernah mendapatkan hukum tidak layak dipilih padahal seharusnya kalau sudah selesai dihukum ya boleh dipilih,” katanya.
Selain persoalan hak dipilih, Ifdhal juga menyoroti kebijakan afirmasi dalam Pemilu 2009. Menurutnya kebijakan afirmasi seharusnya diterapkan pada caleg perempuan. Kebijakan afirmasi merupakan bentuk yang dilakukan negara untuk mempercepat partisipasi politik suatu kelompok. “Kita tahu bahwa partisipasi perempuan sangat kecil karena itu afirmasi terhadap perempuan itu justified,” tambahnya.
Ifdhal menyarankan agar aktor-aktor yang ikut Pemilu perlu dilihat dalam perspektif penegakan HAM ke depan. “Kalau tidak cermat memilih, kita akan kehilangan kesempatan memperbaiki situasi,” ujarnya. [b]
itu sih cerita lama……………orang di atas mau kerja kalo ada extranya kalo nil mana mau …mrk kayak kucing di kasih menolak tp kalo di tinggal berkedip lansung embat……