Oleh Anton Muhajir
Dalam mitologi Yunani maupun Romawi, Narcissus disebut sebagai orang yang jatuh cinta pada bayangannya sendiri. Narcissus, dari mana idiom narsisme untuk orang yang memuja dirinya sendiri lahir, kemudian tenggelam dalam telaga di mana dia bercermin. Maka, hikayat tentang Narcissus adalah juga hikayat tentang tragisme, selain soal narsisme.
Budi Agung Kuswara menggambarkan narsisme dan tragisme itu dalam pameran berjudul I Self. Pameran digelar di Komaneka Gallery Ubud pada 20 Desember hingga 20 Januari nanti.
Kabul, panggilan akrab perupa yang masih studi di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini, lahir di Malang namun sejak bayi tumbuh besar di Bali, tepatnya di Sanur. Maka, air menjadi sesuatu yang sangat akrab baginya. Dian Ina, manajer Komaneka Gallery bercerita bagaimana Kabul sampai satu tahun ketinggalan kelas ketika SD hanya karena lebih asik bermain surfing daripada masuk sekolah.
Tak heran jika dari 15 karya, termasuk dua instalasi, hanya dua lukisan yang tanpa air. Sisanya semua lukisan mengandung unsur air. Lalu, Kabul memasukkan dirinya sendiri, atau sesuatu yang setidaknya dibuat mirip dengan dirinya, dalam lukisan-lukisan tersebut. Agak berlebihan memang. Hanya tiga karya yang tanpa kehadiran pelukisnya.
Maka layaklah pameran I.Self ini disebut sebagai tempat bagi Kabul untuk menunjukkan diri tak hanya sebagai pelukis tapi juga betapa posesifnya dia pada air.
Wicaksono Adi, kurator pameran, menyebut kehadiran air, baik berupa kolam renang, lautan, ataupun pantai, dalam lukisan Kabul tak hanya menjadi elemen latar belakang namun juga titik tolak untuk membangun keseluruhan susana bidang lukisan.
Ada benarnya. Kabul memang tak semata melukis air dan dirinya. Dia juga membangun sebuah fantasi pada karya-karyanya.
Lukisan berjudul Lupa Daratan (200 cm x 180 cm), akrilik di atas kanvas, memperlihatkan Kabul sedang asik terlentang bersantai di atas pelampung. Birunya air menjadi latar belakang bagi pelampung kuning, tubuh telanjang, dan celana berwarna merah. Kabul dengan tangan di belakang kepala dan kacamata hitam terlihat sangat menikmati situasi itu.
Lupa daratan bisa bermaka ganda, lupa pada tanah daratan atau terlena pada situasi tertentu karena saking asiknya. Di antara narsisme, Kabul masih memberikan ruang untuk daya kritis pada situasi terkini. Kabul seperti mengingatkan tentang banyaknya orang yang lupa daratan, terlena di atas kemapanan.
Pada karya Lupa Daratan, menurut Wicaksono, kita tidak hanya diajak untuk merasakan kenikmatan tidur di atas pelampung, tapi juga ingatan lain mengenai daratan (dan hutan) yang sudah rusak akibat keserakahan manusia. Lalu si manusia yang telah merusak daratan itu berleha-leha santai tanpa rasa bersalah. Ingatan mengenai kerserakahan yang mengakibatkan kehancuran alam itu muncul justru karena hal itu tidak digambarkan dalam kanvas melainkan pada makna referensial dari judul Lupa Daratan. “Sikap santai si manusia yang lupa daratan dan serakah itu merupakan aspek sarkasme dari karya ini,” tutur Wicaksono.
Kabul tak melulu kritis dan narsis dalam lukisan-lukisannya. Dia juga mengungkap tragisme. Misalnya lewat Gunungan tentang bagaimana figur, serupa Kabul, sedang di bawah gunung tinggi berusaha mendorongnya. Figur itu melakukan sesuatu yang sia-sia.
Namun cerita paling tragis adalah ketika Kabul melukis dirinya dalam Hujan. Dalam lukisan berukuran besar, 200 cm x 300 cm, itu Kabul sedang telungkup tanpa baju dengan pohon-pohon menghunjam pada tubuhnya. Lukisan ini tentang figur penulis yang merasa terus menghidupkan harapan pada sesuatu meski tubuhnya harus berdarah-darah karena harapan itu.
“Lukisan itu memang lahir dari pengalaman pribadinya,” kata Dian Ina. Pengalaman pribadi itu adalah sesuatu yang terkait dengan kehidupan pribadi Kabul yang agak tragis, bertepuk sebelah tangan.
Maka, darah, sebagaimana air, itu ternyata juga ada di sebagian besar lukisan Kabul. Darah itu datang dari luka yang belum kering. Pada karya Berendam dan Berteduh, Celebration, Faster, bahkan Lupa Daratan pun semua berisi darah.
Selain narsisme, Kabul rupanya terobsesi pula pada tragisme.