Oleh Anton Muhajir
Upaya untuk menegakkan hak asasi manusia (HAM) di Bali masih menghadapi banyak masalah. Selain kurangnya konsolidasi di antara sesama lembaga penegak HAM juga karena makin banyaknya naiknya kekuasaan berbasis milisi. Demikian dikatakan Nyoman Sri Widhiyanti, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Bali pada diskusi akhir tahun Konsolidasi Masyarakat Sipil dalam Gerakan Pembelaan HAM di Bali akhir pekan lalu di Denpasar.
Diskusi tersebut dihadiri sekitar 30 orang dari berbagai kelompok peduli HAM di Bali antara lain buruh, aktivis LSM, mahasiswa, jurnalis, seniman, dan korban pelanggaran HAM di Bali.
Menurut Aik, panggilan akrab Widhiyanti, kelompok penegak HAM di Bali masih menghadapi persoalan internal yang bersifat klasik. Misalnya kurangnya kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM), kurangnya data base kasus pelanggaran HAM di Bali karena tidak ada riset yang serius mengenai masalah ini, terbatasnya jaringan sesama aktivis HAM, dan minimnya pendanaan dalam usaha perlindungan HAM di Bali.
“Akibatnya advokasi yang kita lakukan juga belum maksimal. Capaian-capaian yang kita targetkan belum berhasil dengan baik,” kata mantan Direktur Walhi Bali ini.
Aik menambahkan, selain masalah-masalah internal tersebut, penegakan HAM di Bali juga menghadapi masalah eksternal. Antara lain adalah menguatnya kekuasaan yang menggunakan milisi sebagai basisnya. “Munculnya preman-preman yang masuk dalam ranah politik lokal memunculkan kembali potensi-potensi pelanggaran HAM di Bali,” kata Aik.
Sebagai daerah pariwisata, pelanggaran HAM di Bali dalam skala ringan pun bisa terjadi akibat masifnya arus modal ke Bali. “Kita bisa lihat dengan maraknya penggusuran oleh pemilik modal atas nama pembangunan pariwisata,” ujar Aik.
Parahnya, lanjut Aik, kekerasan oleh modal itu malah didukung oleh negara, yang melakukan pembiaran terhadap terjadinya pelanggaran HAM, maupun oleh kalangan intelektual. “Karena banyak juga intelektual kita yang menjadi bagian dari agenda neoliberal,” tuding Aik.
Pendapat Aik didukung Made Sudiantara, korban penggusuran di Banjar Selasih, Desa Puhu, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar Gianyar. Menurut Made sejak kasus itu muncul pada tahun 1992 sampai saat ini tidak ada perubahan berarti pada perkembangan kasus itu. “Padahal saya sebagai korban sudah membantu untuk mendapatkan bukti-bukti adanya pelanggaran HAM dalam kasus tersebut,” kata Made.
Kasus di Selasih mencuat ketika ada rencana pembangunan lapangan golf seluas 200 hektar di Gianyar. Menurut Made warga setempat tidak mendapat ganti rugi yang layak tapi malah dipaksa untuk menjual tanahnya secara halus.
“Banyak pejabat yang terlibat dalam pelanggaran tersebut namun sampai hari ini tidak satu pun yang diseret ke pengadilan,” kata Made.
“PBHI, LBH, maupun lembaga advokasi HAM lain pun tidak beraji untuk melaporkan pejabat atau melakukan class action. Seharusnya itu dilakukan. Kalau itu berhasil, maka LSM akan mendapat pengakuan di mata publik,” tambahnya.
Menyikapi tudingan tersebut Aik mengatakan bahwa dalam advokasi korban pembangunan kadang-kadang masyarakat juga tidak sepenuhnya bekerja sama dengan LSM. Pada awalnya masyarakat turut menolak. “Namun, ternyata di belakang kemudian ada juga yang diam-diam setuju dengan proyek tersebut,” kata Aik.
Menurut Aik, kasus Selasih sendiri merupakan salah satu kasus yang pernah ditangani PBHI Bali. Selain kasus tanah tersebut, PBHI juga pernah menangani kasus pelanggaran HAM ringan seperti penangkapan seniman ketika menyanyi lagu yang dianggap melecehkan polisi, beberapa kasus penangkapan aktivis Papua maupun korban lumpur Lapindo pada tahun lalu, serta beberapa kasus sengketa adat.
Kasus-kasus tersebut, kata Aik, melengkapi kasus-kasus pelanggaran HAM lama di Bali seperti pembantaian anggota maupun simpatisa PKI pada 1965, reklamasi pantai Serangan, Kasus Bali Pecatu Graha, dan dan konflik tanah di Sumberklampok Buleleng. “Semua itu jadi PR pemerintah sekarang untuk menyelesaikannya,” kata Aik. [b]