Minggu, 4 Maret 2018 lalu, menjadi hari yang tidak biasa bagi saya.
Ya, Minggu, bangun pagi. Jarang sekali terjadi. Pukul 07.10 WITA, saya sampai di area parkir timur Lapangan Niti Mandala Renon, Denpasar untuk mengikuti aksi Women’s March. Ini adalah aksi pertama yang saya ikuti setelah terakhir, sekitar tahun 2016 lalu ikut aksi Bali Tolak Reklamasi di Desa Kelan.
Namun, di tempat saya berdiri, tak ada tanda-tanda yang merujuk pada aksi tersebut. Saat itu saya jadi ragu. Bener ngga nih acaranya hari ini?
Masih berbekal sedikit rasa ngantuk, saya merogoh tas yang isinya amburadul untuk mengambil ponsel. Saya mau memastikan kembali pengumuman acaranya, apakah sudah berada di tempat dan waktu yang benar. Poster digital yang saya simpan di ponsel mengatakan bahwa titik kumpulnya memang benar, di area parkir timur Lapangan Renon. Jamnya pun benar (walaupun ngaret 10 menit).
Tak sampai 10 menit berjalan, saya lihat kerumunan orang dengan mengenakan pakaian bernuansa hijau toska dan ungu, sesuai dress code acara itu, sedang berkumpul. Di kerumunan itu, seseorang berpakaian nyentrik telah mencuri perhatian saya. Ia tampil sangat percaya diri dengan balutan kemeja ungu dengan kamen (kain) berwarna pink yang dililitkan khas lelaki Bali, lengkap dengan udeng (hiasan kepala) berwarna senada.
Tak ketinggalan, sepasang anting cantik menghiasi kedua telinganya. Membuat penampilannya sangat eye catching. Ia adalah Ayu Bagaoesoekawatie, salah satu koordinator lapangan aksi Women’s March Bali tersebut.
Sebelum aksi dimulai, Ayu menjelaskan tata tertib kepada para peserta. Menurut Ayu, ini adalah aksi yang tidak sembarangan. Ketertiban dan keamanan tetap harus dijaga, mengingat bahwa aksi itu berlangsung di ruang publik dengan aktivitas yang ramai.
Mereka sudah siap dengan membawa poster yang bertuliskan berbagai pernyataan sikap seputar isu gender, kekerasan, hingga penolakan terhadap RKUHP.
“Perempuan bersatu!”
“Tak bisa dikalahkan!”
“Perempuan Bergerak!”
“Tak bisa dihentikan!”
Begitulah seruan yel-yel yang dikomando oleh Ayu penanda aksi Women’s March telah dimulai. Para peserta menirukan yel-yel tersebut dengan penuh semangat sambil berjalan mengelilingi lapangan. Berbagai kalangan ikut ambil bagian menyuarakan pernyataan sikap. Perwakilan LBH APIK Bali, KISARA Bali, mahasiswa, pelajar, dan kalangan umum membaur dalam barisan.
Seperti yang tertulis di poster, aksi ini menyoroti isu seputar gender, bagaimana perempuaan, anak, dan kelompok rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan. Baik itu kekerasan fisik psikis, maupun verbal. Selain menyuarakan pernyataan sikap, ajakan untuk saling menghormati sesama manusia pun ikut disuarakan.
Aksi yang diikuti mayoritas oleh perempuan itu diadakan dalam rangka memperingati hari perempuan internasional yang jatuh pada tanggal 8 Maret. Women’s March sendiri berawal dari perlawanan kaum perempuan dan kelompok minoritas di Amerika Serikat terhadap Presiden Trump yang sering merendahkan hak-hak mereka.
“Tidak ada lagi suit-suitan di jalan! Tidak ada lagi panggilan sayang di jalanan! It’s not gentlemen! Kami cukup dihormati. Hormati sebagai manusia. Berikan ruang hidup yang sama seperti manusia yang lain!” teriak Ayu saat memimpin barisan aksi.
“Melawan penindasan teriak lawan!”
“Lawan!”
“Yang mau perubahan teriak lawan!”
“Lawan!”
“Perempuan bergerak, melawan penindasan, yang mau perubahan teriak lawan!”
“Lawan!”
Yel-yel terdengar dinyanyikan beberapa kali. Mencuri perhatian masyarakat yang tadinya sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang sekadar mendokumentasikan, bertanya-tanya itu aksi untuk apa, hingga ada beberapa yang memutuskan untuk ikut bergabung dalam aksi.
Selanjutnya, Eka Purni Astiti, perwakilan KISARA Bali, menegaskan bahwa isu kekerasan berbasis gender dan kriminalisasi upaya-upaya peningkatan kesehatan reproduksi dan juga seksual menjadi tantangan ke depannya. Data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan pada Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa pada tahun 2016, terdapat lebih dari 200.000 kasus kekerasan pada perempuan.
“Ini hanya menjadi sedikit bagian dari apa yang kami perjuangkan. Dengan berjalan kaki di aksi ini,” jelas Eka.
Menurut Eka, untuk dapat mencegah terjadinya kekerasan berbasis gender, anak-anak muda dan seluruh masyarakat harus mengetahui terlebih dahulu seperti apa jenis-jenis kekerasan berbasis gender. “Tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikis dan seksual,” lanjutnya.
Setelah mengelilingi lapangan sebanyak dua kali, aksi ini ditutup di Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja dengan pembacaan puisi dan orasi dari beberapa peserta aksi. [b]
Comments 1