Ketika kelompok tertentu mengalami opresi, maka urusan personal adalah urusan politis.
Jumat, 5 Juli 2019. Sebagai warga yang memiliki akses cepat terhadap media saya menerima kabar, Peninjauan Kembali (PK) Baiq Nuril telah ditolak Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) Baiq Nuril.
Baiq Nuril terpidana kasus pelanggaran Pasal 27 (1) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Warga Lombok itu dituduh menyebarkan rekaman percakapan bermuatan unsur pelecehan seksual.
Penolakan PK oleh MA artinya memperkuat putusan pidana di mana Ibu Nuril dijatuhkan pidana selama 6 bulan serta denda sebesar Rp 500 juta.
Saya tidak akan fokus membicarakan betapa karetnya pasal yang diganjar pada Baiq Nuril. Tentu saya mengamini jika pasal tersebut harus segera dicabut. Sebelum kasus Baiq Nuril naik ke permukaan pada akhir 2018 telah banyak masyarakat yang menjadi korban dari UU ITE.
Rumusan pasal 27 (1) UU ITE berbunyi “mendistribusikan, mentransmisikan dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Pasal tersebut sangat rentan untuk disalahterapkan.
Namun, kasus Baiq Nuril, staf honorer di SMAN 7 Mataram, juga memiliki narasi lain.
Masih lekat dalam ingatan saya, bagaimana suara perempuan dikecilkan bahkan dibungkam. Bagaimana mahluk terdepan untuk menyudutkan perempuan bukan hanya laki-laki patriarkis nan rapuh, melainkan justru sesama perempuan. Sistem patriarki yang menindas telah bekerja bahkan sejak kita sama-sama berada dalam kandungan.
Koleksi memori ini hadir baik melalui pengalaman-pengalaman pribadi saya sebagai seorang perempuan sekaligus pegiat hak asasi manusia (HAM). Pengalaman ketika menyuarakan fakta yang saya alami sendiri dengan berbagai spektrum kekerasan secara jujur maupun ketika membela perempuan-perempuan penyintas lainnya.
Saya tidak sedang mencurahkan isi hati, meski saya tahu ini akan menjadi menarik.
Menarik untuk dihujat ketimbang didengarkan. Sekali lagi, karena saya perempuan yang dalam semesta patriarki terbiasa dijadikan objek dibanding menjadi subjek. Sistem yang juga bertransformasi ke semesta digital.
Narasi mengenai kesetaraan gender (atau feminisme) yang memang beragam dan tidak pernah selesai. Namun, dalam aliran dan warna feminisme apapun, perempuan berjuang untuk menjadi subjek. Ibu Baiq Nuril adalah potret perempuan yang melawan. Merekam audio pelecehan seksual yang bukan pertama kali ia alami adalah bentuk perlawanan.
Ia tidak takut. Ia ingin memberi pelajaran bahwa relasi kuasa yang korup tidak sepantasnya terus-terusan dilakukan. Begitu pesan yang ingin ia sampaikan pada atasannya.
Menghadirkan Tumbal
Perempuan yang melawan, perempuan yang tidak patuh pada tata krama menurut masyarakat patriarkis memang kerap menorehkan sejarah. Namun, kita jarang mengupas sejarah yang bagaimana? Haruskah setiap perlawanan menghadirkan tumbal dibanding pembelajaran? Karena masyarakat kita yang tidak pernah ramah dan berempati pada perempuan yang melawan.
Sejak awal, kasus Ibu Nuril merupakan kekerasan seksual yang tidak patut untuk diadili. Demikian pula, sejak awal peradilan Indonesia gagal dalam melihat secara utuh dan materiil dari kasus ini.
Lawrance Friedman, lelaki yang memasuki kehidupan saya sejak 2009 berusaha menjelaskan penegakan hukum di masyarakat dengan sesederhana mungkin. Friedman mengajak saya membedah penegakan hukum melalui tiga pilar, yaitu substansi hukum, struktur hukum serta kultur hukum.
Substansi hukum ialah aturan atau kaidah hukum. Dalam kasus Ibu Baiq Nuril berupa UU ITE. Produk hukum yang telah menjadi rahasia umum memuat begitu banyak pasal karet dengan semangat punitif atau penghukuman. Namun, struktur hukum atau aparat penegak hukum di mana di dalamnya terdapat kepolisian, kejaksaan, pengadilan jarang untuk dibedah. Bukanlah kertas-kertas berisi aturan hukum yang rigid.
Maka sesungguhnya bukan hil mustahal dari setiap aparat penegak hukum yang terlibat dalam sistem penegakan hukum terhadap kasus yang dialami Ibu Baiq Nuril untuk melihat ke dalam, melihat konteks materiil bersama-sama. Satjipto Rahardjo, seseorang yang sering saya selami pemikirannya menyebutnya sebagai hukum progresif. Sudah barang tentu, progresivitas hukum berkaitan erat dengan progresivitas dari manusia-manusia yang terlibat dalam upaya penegakannya.
Di mana atau kemanakah aparat penegak hukum progresif itu? Ketika bimbingan-bimbingan teknis yang mereka ikuti dengan tema tertentu seperti seputar perlindungan anak berhadapan dengan hukum, perlindungan perempuan dalam rantai human trafficking hanya digunakan sebagai prasyarat kenaikan jabatan lewat sertifikat-sertifikat yang mereka kumpulkan.
Perspektif menjadi penting untuk dimiliki, setidaknya mulai ditumbuhkan.
Dari kasus Ibu Baiq Nuril dan mungkin kasus-kasus lain yang belum banyak naik ke permukaan, kita patut sadari bahwa perspektif menjadi penting. Keberpihakan terhadap nilai justru sesuatu yang dibutuhkan untuk dimiliki oleh aparat penegak hukum dalam setiap tahapan. Karena, bukankah itu yang menjadikan profesi profesi hukum tidak dapat digantikan begitu saja oleh mesin-mesin?
Anda berhadapan dengan manusia. Bukan tengah membuat produk jadi serupa pakaian untuk dikenakan.
Pada 2017, MARI didorong oleh kumpulan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. PERMA ini memuat pada pemeriksaan perkara dan menelusuri fakta persidangan, Hakim diminta untuk mempertimbangkan kesetaraan gender serta prinsip non-diskriminasi.
Namun, sekali lagi, kesempatan untuk memperbaiki kegagalan pada tingkat banding, disia-siakan oleh aparat penegak hukum dengan julukan “Yang Mulia”.
Pilar berikutnya adalah kultur atau budaya hukum. Berdasarkan pengamatan saya, bagian ini kerap terlupakan dalam berbagai pembahasan kasus yang menjadi tragedi penegakan hukum, termasuk kasus Ibu Baiq Nuril. Padahal dalam sistem, bagian ini adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan substansi serta struktur hukum.
Budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapan manusia terhadapnya. Suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.
Selama ini budaya hukum selalu dikaitkan erat dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat mengubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Di bangku kuliah Ilmu Hukum pun saya diajarkan bila tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
Namun, perjalanan beberapa tahun terakhir, menyadarkan saya jika jarang sekali ada pemikiran yang berani menantang bahwa aparat penegak hukum hingga wakil rakyat pembentuk produk hukum juga bagian dari masyarakat yang memiliki budayanya sendiri. Mereka bukan hanya bagian dari aparat, tapi mereka juga ‘”konsumen”.
Otomatis, budaya atau nilai yang telah tertanam pada mereka yang memiliki peranan atas substansi maupun struktur hukum akan berkorelasi dengan hukum yang mereka hidupkan. Baik dalam alam bawah sadar hingga ke alam sadar. Patriarki sebagai sistem yang menindas pun kerap disalah artikan sebagai suatu budaya.
Kita ada pada titik bukan saja harus menyelamatkan Ibu Baiq Nuril, melainkan juga diri kita sendiri, keluarga kita, kerabat kita sebagai penjaga opresi atas alam bawah sadar yang kita yakini. Anda bisa saja merasa sadar, tapi belum tentu itu yang terjadi pada suami Anda atau istri Anda bahkan kekasih Anda.
Mengulang pernyataan pertama saya di atas, ketika kelompok tertentu mengalami opresi, maka urusan personal adalah urusan politis. Seperti harapan publik saat ini, saya pun menuntut Joko Widodo, sebagai Presiden Indonesia untuk bukan saja memenuhi janjinya dengan memberi Amnesti tapi juga meminta maaf pada seorang perempuan bernama Baiq Nuril. [b]