Demikian bahasa orang-orang kini menyebutkan profesi jurnalis. Tidak salah, karena faktanya memang ada wartawan abal-abal yang hanya memeras dan mencari uang ke sana-sini. Medianya gak jelas, dan beritanya pun gak pernah ada. Mereka seperti Jelangkung, datang tidak diantar pulang tidak dijemput. Ada saja di setiap acara. Dan selalu muncul, bak lalat di sebuah makanan.
Oknum-oknum ini yang membuat citra jelek profesi jurnalis. Apalagi mereka cenderung memeras. Menodong orang dengan berita di sebuah portal. Mencari sisi buruk dan menyebarkan, bahkan tak jarang menciptakan hoax. Salahnya, semua bisa membuat portal berita. Dan kini belum ada regulasi yang jelas dan tegas tentang portal yang disebut media ini. Sehingga begitu punya online bisa melenggang bebas. Marwah jurnalistik sebagai pilar keempat hilang, hanya tinggal impian.
Sejatinya, profesi ini sangat penting untuk menjaga demokrasi. Wartawan atau jurnalis memberikan informasi penting, situasi genting kepada khalayak umum. Dimana terjadi bencana alam, dimana jalan macet, ada keributan. Dimana pemandangan indah. Tempat bersejarah. Situasi perang. Termasuk sekarang memberikan prestasi pejabat.
Bayangkan era orde baru, dimana media dipreteli oleh diktator pemimpin negara saat itu. Dikekang, diancam senapan laras panjang. Dibuat tidurnya tidak pernah nyenyak. Bertahun-tahun masyarakat tidak tahu, seperti apa kontribusi negara secara nyata dan transparan. Semuanya diagendakan, satu pintu hanya untuk penguasa. Apakah kalian mau seperti itu? lalu sekarang negara kita menanggung hutang yang tak habis hingga anak cucu kelak.
Era demokrasi memang luar biasa. Namun kemajuan zaman, dan kompleksitas kehidupan membuat media juga bertransformasi menjadi industri. Wartawan tidak lagi hanya mencari berita besar yang menarik, dan perlu diumumkan. Tetapi juga ditarget mencari dan membantu pemasukan perusahaan media. Dengan istilah advetorial atau iklan. Ini seperti pisau bermata dua. Tetapi tak lama, era digital menggerus membuat wartawan lapangan harus juga segera paham dengan alur media sosial dan internet. Untuk mencari cuan, cuan, dan cuan demi bertahannya perusahaan media khususnya di tengah terjangan pandemi akibat virus Covid-19.
Begitu banyak peran wartawan dan jurnalis di negeri ini. Karma baik karena menolong orang yang kesusahan makan, diberitakan lalu ada bantuan. Karma baik memberitakan orang hilang, seluruh negeri ikut mencari. Tapi nasib wartawan siapa yang peduli?
Masih banyak jurnalis yang hidupnya melarat. Bukan lagi pas-pasan. Gajinya di bawah UMR, kadang hanya cukup untuk beli bensin dan pulsa sebagai pendukung kerja. Wartawan adalah profesi yang menantang maut. Setiap hari di jalan raya, dan garda terdepan apabila ada bahaya. Tapi hidup mereka tidak dijamin siapapun. Banyak yang sudah meregang nyawa.
Nasib kontributor dan wartawan lepas, atau yang masih sistem kontrak. Hidup dengan gaji kecil, biaya tinggi, hutang dimana-mana. Gali lubang tutup lubang. Bertahan hanya karena passion dan cita-cita masa kecilnya ingin meliput demonstrasi. Tidak ada jaminan sosial kesehatan, apalagi ketenagakerjaan. Kalau sakit jatuh dari motor hanya bisa pinjam sama pinjam sini.
Lalu ada narsum yang memberikan uang bensin. Dia bingung. Karena di sisi lain idealisme tidak boleh dibeli. Tapi di sisi lain perutnya lapar. Bagaimana solusinya ini? Adakah jalan keluar. Banyak dari mereka yang bertahan dengan lapar. Ada yang mengambil tetapi tidak memeras.
Jika dikatakan profesi ini tidak suci lagi. Lalu profesi apa yang suci di dunia ini? Semua profesi dibayar. Periksa ke dokter kita bayar. Kuliah dengan dosen kita bayar. Berak dan kencing pun kita bayar. Bayangkan pejabat untuk naik jabatan pun, harus bayar mahar. Mereka yang digaji besar, tunjangan juga ada. Masih korupsi uang rakyat. Sayangnya lagi korupsi ini digunakan untuk hal foya-foya. Membayar harga diri wanita, atau hal hedonistik lainnya. Lalu profesi apa yang benar-benar suci di dunia ini?
Tapi kan, uang bensin itu hitunganna suap, org bayar ke dokter kan beda soal. Integritas masing2 sih mnurutku