Keresahan berkepanjangan masih menyelimuti perasaan jutaan masyarakat di Indonesia.
Entah sampai kapan pandemi COVID-19 terus menghantui aktivitas sehari-hari. Pemerintah menyatakan memiliki tiga skema dalam penanganan pandemi ini. Pertama, skema cepat yang harusnya pandemi ini berakhir pada Mei 2020. Kedua, skema sedang (moderat) di mana pandemi akan berakhir lebih kurang pada Juni – Juli 2020.
Skema terburuknya, pandemi ini dapat teratasi pada bulan September 2020. Tentu tak ada satu pun dari kita yang mengharapkan opsi terakhir ini.
Sudah dua bulan pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan physical distancing diikuti dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sesuai dengan PP No. 21 Tahun 2020 yang mengatur lebih rigid tentang kegiatan apa saja yang harus dibatasi selama penerapan masa PSBB. Selama dua bulan berlangsung, tentu banyak hal yang terjadi di tengah masyarakat. Kehilangan pekerjaan menjadi pemandangan yang amat sering terlihat di media setelah pandemi menguasai Indonesia. Istilah PHK dan dirumahkan menjadi momok menakutkan di masyarakat setelah COVID-19.
Banyaknya masyarakat kehilangan pekerjaan berdampak pada daya beli yang menurun. Hal ini merembet kepada kelesuan ekonomi luar biasa yang dirasakan oleh semua kalangan. Oleh karena itu, pemerintah mencanangkan program “Jaring Pengaman Sosial” untuk masyarakat yang terdampak (tentu sebagian besar masyarakat terdampak).
Namun, birokrasi yang ruet, ketidaksiapan pemerintah serta pekerjaan yang terhambat oleh pandemi menyebabkan penyaluran bantuan sangat lamban dirasakan oleh masyarakat kalangan paling bawah. Lambannya bantuan yang diterima oleh masyarakat sudah barang tentu mengancam keberlangsungan hidup masyarakat.
Berbicara dampak COVID-19, tentu Bali sebagai daerah pariwisata merasakan dampak luar biasa. Keseluruhan objek wisata ditutup guna memutus penyebaran rantai pandemi COVID-19 di Bali. Objek wisata ditutup, akses keluar masuk Bali dibatasi, secara otomatis pariwisata Bali selama masa pandemi menjadi mati suri.
Ekonomi masyarakat Bali menjadi kalang kabut. Masyarakat berbondong-bondong mendatangi bank untuk memperoleh keringanan dalam membayar setiap kreditnya hingga memutar otak agar uang di tabungan cukup memenuhi kebutuhan keluarga yang tak berkurang sedikit pun. Banyak pula warga Bali memutuskan untuk bercocok tanam di rumahnya agar mewujudkan ketahanan pangan. Setidaknya pangan di rumah mereka sendiri tercukupi.
Mulai dari pemerintah hingga perseorangan berbondong-bondong membagikan bibit gratis kepada warga yang memiliki minat dalam bercocok tanam. Hal ini menyadarkan kita pada satu hal, masyarakat Bali sesungguhnya kembali pada jati dirinya, menanam dan berbagi.
Gerakan Moral dan Sosial #WargaBantuWarga
Sejatinya manusia adalah makhluk sosial. Makhluk yang tak bisa hidup sendiri dan selalu bergantung pada makhluk lainnya untuk bertahan hidup. Pada masa pandemi seperti sekarang ini, hal itu semakin terlihat dengan begitu banyaknya dermawan memperlihatkan kepeduliannya membantu sesama. Membagikan sembako, memberikan pelatihan dan memberikan informasi menjadi bagian yang tak terlepaskan dari aktivitas berbagi di tengah pandemi.
Ratusan ribu paket sembako telah mengalir ke tangan masyarakat yang terdampak COVID-19. Jutaan masker sudah tersalurkan kepada seluruh masyarakat yang ada di Bali, serta berbagai pelatihan juga sudah diadakan untuk mempersiapkan masyarakat pasca pandemi mereda.
Tanpa menunggu komando dari pemerintah, tanpa melihat kondisi diri sendiri di tengah pandemi – aksi sosial marak dilakukan dengan menyasar masyarakt yang berada di pedalaman hingga pelosok daerah Bali. Tentu ini lebih berguna tinimbang menunggu bantuan sosial hingga BLT dari pemerintah yang entah kapan akan bisa disalurkan ke tangan masyarakat. Ketepatannya pun juga perlu dipertanyakan. Selain itu, mengandalkan bantuan pemerintah sama saja membiarkan sebagian besar saudara-saudara kita menahan lapar dan bersiap menunggu malaikat pencabut nyawa lewat dan melakukan tugasnya.
Gerakan seperti ini haruslah selalu dipertahankan dalam kondisi apapun. Bukan untuk mencari prestise, bukan juga bermaksud pamer. Gerakan ini sangat penting untuk menunjukkan bahwa kemanusiaan selalu berada di atas kepentingan apapun. Pemerintah mestinya menyampaikan rasa terima kasihnya kepada gerakan sosial masyarakat yang begitu masif sehingga mampu menutupi berbagai kekurangan yang sedang ditanggulangi pemerintah. Juga mesti jadi bahan evaluasi kedepan, jangan sampai tetap tak berkembang dan tak belajar dari pengalaman.
Siapkan Mitigasi
Ratusan triliun kini coba dikonversikan menjadi paket sembako dan dibagi untuk menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat terdampak. Memberikan bantuan sembako dan uang tunai menjadi pilihan utama bagi pemerintah saat ini. Salah? Tentu tidak. Tapi, sampai kapan masyarakat harus berpangku tangan dan menggantungkan nasibnya kepada bantuan pemerintah yang tidak seberapa itu?
Entahlah, kita membutuhkan pemimpin yang visioner (dalam artian sesungguhnya). Sudah bukan rahasia umum bahwa Indonesia merupakan negeri rawan bencana, mulai dari gempa bumu, tsunami, banjir, tanah longsor, gunung meletus, dll. Masyarakat Indonesia setidaknya pernah merasakan salah satu di antara begitu banyaknya bencana yang pernah melanda.
Tak sedikit pula korban yang ditimbulkan akibat bencana itu. Apa yang harus disiapkan oleh pemerintah? Mitigasi Bencana. Tepat sekali.
Mitigasi bencana di Indonesia, tanpa kita bahas lebih jauh bisa kita katakan bahwa Indonesia belum memiliki mitigasi bencana yang mumpuni sebagai senjata dalam menghalau bencana. Ini terbukti dengan masih besarnya korban jiwa setiap adanya bencana alam atau non alam yang terjadi. Oleh karena itu, melalui pandemi ini setidaknya Tuhan mengirimkan pesan kepada pemerintah untuk menyediakan regulasi yang tepat, akurat dan efektif dalam proses penanggulangan bencana. Jangan hanya reaktif dalam menghadapi bencana.
Kenapa Mitigasi Bencana penting, apalagi untuk Bali? Sebagai daerah yang sangat mengandalkan industri pariwisata, sudah menjadi kewajiban mutlak bagi pemerintah menjamin keamanan dan kenyamanan bagi para pelancong baik dari luar maupun dalam negeri. Tanpa adanya keamanan dan kenyamanan, jangan harap Bali bertahan menjadi daerah pariwisata yang dicari-cari oleh wisatawan. Karena mengandalkan keramahan masyarakat Bali dalam dunia pariwisata tak cukup.
Selain bicara mitigasi bencana, penting juga pemerintah dalam menetapkan kebijakan strategis jangka panjang. Pemberian sembako dan BLT sejatinya bukanlah strategi yang salah, tapi bukan pula kebijakan strategis (atau bisa dikatakan strategi paling mudah) yang bisa diambil oleh pemerintah. Setelah pandemi mereda, siapa yang menjamin masyarakat mendapatkan kembali pekerjaannya? Mungkin hal tersebut belum terpikirkan oleh pemerintah. Meskipun Kartu Pra-Kerja menjadi salah satu kebijakan yang katanya membekali skill kepada masyarakat, tapi dengan mekanisme yang diterapkan sekarang saya pesimis program ini akan berjalan dengan baik bagi masyarakat.
Gerakan moral dan sosial masyarakat tentu menjadi hal tauladan yang harus kita pertahankan. Sebab dari sana kita masih bisa merasakan bahwa rasa empati nyata masih kita miliki. Berbagi juga merupakan aktualisasi manusia dalam menunjukkan sisi lainnya. Namun, di satu sisi pemerintah juga harus bisa menyediakan regulasi-regulasi yang tepat untuk penanganan kasus serupa. Karena bagaimana pun, pemerintah masih menjadi harapan bagi masyarakat. [b]