Teks dan Foto Anton Muhajir
Warga asing pun berdarah-darah di perang pandan di Tenganan.
Luka di leher bagian belakang dan punggungnya tak membuat Maurizio Rosenberg Colorni gentar. Dia kembali masuk ke tengah kalangan di depan Bale Temu Tengah, Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Karangasem. Di tangan kanannya di memegang daun pandan. Di tangan kirinya perisai terbuat dari rotan.
Warga Italia yang tinggal di Sanur, Denpasar ini berdiri di tengah kalangan yang dikelilingi ratusan penonton ini. Seorang warga lokal maju menantang Maurizio. Dia juga membawa pandan dan perisai.
Keduanya lalu saling menyerang dengan daun pandan bergerigi tersebut. Memukul wajah dan menggeret punggung lawan. Penonton bersorak. Setelah sekitar satu menit mereka bertarung, keduanya berhenti dan berpelukan.
Perang Pandan di Desa Tenganan, pada Sabtu (26/6) lalu memang sebuah perayaan, bukan pertempuran kalah menang. I Nyoman Sadra, mantan kepala desa setempat mengatakan, perang pandan adalah ritual warga setempat untuk menghormati Dewa Indra, dewa perang dalam agama Hindu.
“Darah yang keluar menjadi bukti bakti kami pada leluhur,” kata Sadra yang juga anggota DPRD Karangasem ini.
Namun, tak hanya ritual bagi warga setempat, perang pandan juga menjadi tontonan bagi wisatawan, lokal ataupun mancanegara. Dua warga asing pun ikut bertarung pada perang pandan akhir pekan ini.
Mat Thame adalah warga asing lainnya yang ikut perang pandan Sabtu lalu selain Maurizio. Warga Australia yang sedang tinggal di Tenganan untuk proyek pemipaan air bersih ini maju empat kali ke dalam kalangan. Dia ikut bertempur layaknya warga lain dengan pandan dan perisai di tangannya. Pakaiannya sama, memakai kamen (sarung) dan udeng (ikat kepala), dan bertelanjang dada.
Usai bertarung, punggungnya juga mengeluarkan darah. “It’s not painful, but hot,” katanya tentang luka di punggungnya. Perang pandan tahun ini merupakan pengalaman pertama bagi Mat.
Menurut Mat, perang pandan merupakan salah satu upayanya untuk mendekatkan diri dengan warga setempat. Dia sudah tinggal selama sepuluh bulan di desa tersebut. Ketika tahu ada perang pandan, dia mengaku antusias untuk ikut. “I want to join the fight also,” ujarnya.
Selain untuk mendekatkan diri dengan warga setempat, menurut Mat, dia ikut perang pandan juga untuk menghormati budaya setempat. “They want to sacrifice to their ancestor. I honor it,” tambahnya.
Kalau Mat baru pertama kali ikut, maka Maurizio sudah ikut tiga kali sebelumnya. Perang kali ini adalah yang keempat bagi penulis yang sudah tujuh tahun tinggal di Bali ini. “I always enjoy it. I like it,” katanya singkat.
Menurut Maurizio, hal menarik di perang pandan adalah karena ritual ini bisa memadukan dua hal sekaligus: agressivity dan friendly. Di satu sisi, para peserta perang pandan saling serang layaknya bertarung dengan musuh. Namun, pada saat yang sama, mereka juga berbagi keceriaan. Sambil berperang, mereka tertawa-tawa.
Keceriaan itu pula yang mereka bagi setelah ritual perang pandan usai. Puluhan warga itu pindah dari Bale Tengah ke wantilan desa. Di sana semua orang yang ikut perang, termasuk Mat dan Maurizio, duduk untuk makan bersama (megibung). Usai perang, mereka kini saling berbagi keakraban. [b]
seumur hidup ga pernah liat perang pandan secara langsung… gmana kao balebengong bikin update acara kayak situs “eventful”. jadi turis mancanegara ato domestik bisa tau event di belahan gumi bali mana saja.. of course pembaca ikut jd kontributornya…