Oleh Luh De Suriyani
Awal pekan ini, beberapa hari menjelang Hari Raya Galungan adalah berkah bagi puluhan tukang suun (buruh angkut) anak di Pasar Badung, Denpasar.
Sangat mudah menemukan tubuh-tubuh mungil sambil menjunjung keranjang besar di pikuk pasar tradisional terbesar di Bali ini. Wajah mereka tenggelam oleh tekanan keranjang berisi bahan belanjaan para pembeli yang menggunakan jasa mereka.
Selasa lalu tiga buruh anak terlihat istirahat di sisi pasar yang kosong. Sebelah mereka, empat pria dewasa tengah bermain catur.
Ketiga perempuan kecil yang kuat itu adalah Ni Luh Meli (8), Ni Komang Sari (12), dan Ni Kadek Merta (12). Mereka berasal dari desa yang sama, Dusun Pedahan, Desa Tianyar, Kabupaten Karangasem. Sekitar dua jam perjalanan dari Denpasar.
“Galungan, Kuningan, dan Nyepi ini adalah panen besar. Banyak teman dari desa yang baru datang meburuh (bekerja),” ujar Ni Kadek Merta, 12 tahun.
Semua tulang suun di pasar adalah perempuan. Bagi buruh-buruh anak dan yang dewasa, Galungan menjadi hari istimewa. Sementara sejumlah keluarga lain merayakan Galungan di kampung halaman, mereka malah berlomba datang ke Kota Denpasar.
“Tidak ada apa di desa kalau Galungan. Mending cari uang di kota,” sahut Sari.
Sejak awal pekan, ketika pasar mulai ramai karena persiapan hari raya, ketiganya sudah berada di pasar sejak jam 4 dini hari. Lalu, 10 jam kemudian mereka baru pulang. Namun, ini juga tergantung situasi. Jika pasar masih ramai, mereka akan bertahan.
“Saya sudah dapat Rp 14 ribu,” sahut si kecil Meli.. Tiga orang pembeli menggunakan jasanya, dan ia mengaku seorang wisatawan asing memberikannya upah paling besar yakni Rp 5000 plus sekotak kue.
Mereka tidak menetapkan tarif khusus untuk menjunjung barang belanjaan. Tak jarang, upah sekali jalan Rp 1000 atau Rp 2000 rupiah. Padahal, buruh-buruh kecil ini harus mengikuti pembeli kemana pun pergi sambil menjunjung barang belanjaannya. Saling seruduk dan saling himpit di lorong-lorong sempit pasar. Paling singkat waktunya 30 menit per orang.
“Pas Galungan, kalau sudah punya uang, bisa jalan-jalan ke lapangan,” ujar Sari tentang rencana rekreasinya pada Rabu ini.
Ninik Endangtias, salah seorang pengguna jasa buruh ini mengaku sedih karena sebagian besar anak-anak ini tidak sekolah. “Saya sebenarnya tidak tega memakai mereka sebagai buruh angkut. Tapi mereka kan butuh uang,” ujarnya.
Hal yang sama dikatakan Ni Nyoman Sulatri (25), ibu Meli, yang juga menjadi tukang suun sembilan tahun lalu. “Saya tidak memaksa anak. Dia sendiri mau ikut biar bisa mengumpulkan uang sendiri,” ujarnya.
Sulatri mengakui, kini puluhan buruh anak-anak dari desanya makin banyak yang tertarik datang ke Denpasar. “Anak-anak senang kalau dapat uang jajan sendiri. Orang tuanya tidak mungkin bisa memberikan,” katanya.
Sulatri dan Meli telah membulatkan tekad untuk merayakan Galungan sambil bekerja. “Sembahyang hanya sebentar, lalu bisa kerja lagi. Semoga saya bisa pulang nanti di Hari Kuningan saja,” tambah Sulatri. [b]
Versi Bahasa Inggris ada di http://www.thejakartapost.com/news/2009/03/18/porters-hunt-galungan-blessings.html