Tidak butuh waktu lama bagi DPRD Badung untuk memberikan rekomendasi terkait pembangunan BIP.
Rabu pekan lalu, DPRD Badung memberikan rekomendasi tersebut pada PT. Jimbaran Hijau terkait dengan pembangunan megaproyek Bali International Park (BIP). Dalam rekomendasinya, DPRD mengeluarkan izin pembangunan BIP.
Terbitnya rekomendasi tersebut menuai protes dari para aktivis lingkungan dan gerakan mahasiswa. Dua kelompok ini getol menyuarakan penolakan pembangunan megaproyek tersebut. Deputi Eksternal Walhi Bali, Komang Sastrawan memprotes keras terbitnya rekomendasi itu. Menurut Komang DPRD Badung mengabaikan keberadaan petani Dompa. DPRD Badung, lanjut Komang, hanya asyik merespon permohonan dari PT. Jimbaran Hijau lalu sibuk mengutak-atik draft rekomendasi yang mereka terbitkan.
Padahal, selama mereka bersidang, belasan petani Dompa yang berpotensi sebagai korban bila pembangunan BIP dilaksanakan meminta agar DPRD memperhatikan nasib mereka dan menunda penerbitan rekomendasi.
Faktanya, harapan itu berhadapan dengan tembok tebal. Terbukti dengan penerbitan rekomendasi untuk BIP maka petani hanya bisa menangis atas keluarnya rekomendasi itu. “Keadaan ini menandakan bahwa wakil rakyat tidak pernah peka melihat persolan dan tidak peka hatinya melihat penderitaan rakyat,” tandas Komang Sastrawan.
Senada dengan pernyataan tersebut, Sekjen Frontier Bali A. Haris mengganggap rekomendasi DPRD tersebut bersifat prematur. Menurut Haris, terbitnya rekomendasi atas pembangunan BIP oleh DPRD Badung terkesan dilakukan tanpa pertimbangan komprehensif. Padahal dengan dinamika yang panjang, sudah tersedia deretan fakta-fakta di hadapan mereka yang cukup untuk membuat DPRD Badung tidak menerbitkan rekomendasi.
Haris menambahkan, DPRD Badung malah mengabaikan fakta-fakta kebobrokan BIP. Padahal, di balik rencana pembangunan BIP terdapat banyak permasalahan mulai dari permasalahan sengketa agraria, permasalahan pajak terkait pengalihan hak guna bangunan (HGB) dari PT. Citratama Selaras kepada PT. Jimbaran Hijau.
I Wayan Gendo Suardana, Koordinator Forum Peduli Gumi Bali, menambahkan sejak lama kalangan aktivis telah sampaikan kepada pemerintah bila BIP dibangun maka akan banyak merugikan masyarakat dan pulau Bali di masa depan.
Ketua Dewan Daerah Walhi Bali tersebut menjelaskan secara rinci mengenai dampak negatif bila BIP jadi dibangun. Pertama, pembangunan BIP yang hanya untuk kepentingan penyelenggaraan APEC 2013. Proyek ini merupakan pemaksaan pemerintah pusat atas pembangunan Bali. Pertimbangan bersifat instan tersebut justru menyiratkan bahwa rencana pembangunan megaproyek hanya dibangun atas dasar kebutuhan sesaat tanpa menguhitung kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Dalam skala mikro, pembangunan BIP ini tidak memperhitungkan fakta bahwa masih terlalu banyak tempat di Bali kalau hanya hendak menggelar Konfrensi yang berkapasitas 10.000 orang tanpa harus menambah beban pembangunan di Bali.
Kedua, lanjut Gendo, terdapat sengketa agraria. Pembangunan BIP direncanakan di atas banyaknya permasalahan di areal yang akan dibangun. Mulai dari HGB atas tanah seluas 280 ha yang dikuasai PT. Citratama Selaras. Tanah ini diduga sebagai tanah telantar bila merujuk PP 11 tahun 2010 tentang penertiban tanah telantar. “Berdasarkan investigasi yang kami lalukan, ada dugaan kuat bahwa proses pembebasan tanah dilakukan dengan cara-cara tidak fair,” ujar Gendo.
Selain itu, menurutnya, terdapat fakta-fakta bahwa ada ratusan petani terancam kehilangan tanahnya dan rumahnya bila BIP dibangun. Para petani ini tergabung dalam Serikat Petani Dompa Jimbaran.
Di lain pihak, Gendo memaparkan kejanggalan proses pengalihan HGB dari PT. Citratama Selaras ke PT. Jimbaran Hijau terutama terkait dengan besaran Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dibayarkan PT. Jimbaran Hijau kepada negara. Coba bayangkan, tanah yang begitu strategis secara ekonomi hanya dihitung Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)-nya Rp 64.000 sampai dengan Rp 103.000 per meter persegi. Akibatnya, PT. Jimbaran Hijau hanya membayar BPHTB atas tanah seluas 176,3219 ha sebesar Rp 7.230.177.400.
“Kenapa DPRD Badung tidak mempertanyakan ini secara kelembagaan?” tanya Gendo.
Gendo menjelasakan bahwa argumentasi yang telah dipaparkan itulah yang menjadi kesimpulan bahwa DPRD Badung sangat tidak cermat dan hati-hati dengan rekomendasi yang diterbitkan. “DPRD Badung memperlihatkan kepada rakyat bahwa penerbitan rekomendasi BIP ini dibuat tanpa melakukan penelitian dan kajian yang kompehensif bahkan dapat dibilang tidak hati-hati.”
Gendo juga menggugat Ketua DPRD Badung yang dianggapnya tidak tepat janji untuk hati-hati memberikan rekomendasi kepada BIP.
Di salah satu acara hearing antara FPGB dengan pempinan DPRD Badung, Ketua DPRD Badung berjanji di hadapan FPGB akan memeriksa dengan hati-hati permohonan rekomendasi BIP. “Tapi, faktanya dia ternyata ceroboh. Untuk itu kami berharap DPRD Badung mengkaji ulang rekomendasinya dan memohon kepada Bupati Badung agar tidak memberikan izin kepada BIP,” ujarnya. [b]