• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Friday, November 7, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Kabar Baru

Telepon Umum yang Makin Merana

dathu by dathu
10 June 2010
in Kabar Baru, Teknologi
0 0
5

Teks Luh Putu Dhatu Hanny A, Foto Anton Muhajir

Semakin berkembangnya alat komunikasi membuat telepon umum semakin tidak berarti lagi di zaman sekarang ini.

Sejak dipatenkan pada 14 Februari 1876 oleh Alexander Graham Bell, telepon terus berkembang hingga sekarang. Perkembangan teknologi melahirkan penyempurnaan telepon itu sendiri. Berawal dari penerima telepon dan pemancar berbentuk sebuah piringan hitam tipis dipasang di depan electromagnet, telepon berkembang sampai menjadi telepon genggam seperti sekarang ini.

Di Indonesia, telepon umum merupakan salah satu fasilitas publik terkenal pada tahun 1980-an. Namun, karena persaingan operator untuk menyediakan sarana telekomunikasi yang jauh lebih baik, banyak sekali lahir telepon yang lebih canggih dengan desain dan harga terjangkau.

Kondisi telepon umum di Denpasar pun sama saja. Telepon umum sudah jarang ditemui di kota ini. Beberapa tempat yang masih terlihat ada telepon umum, salah satunya di depan SMPN 3 Denpsar.

Akhir pekan lalu, saya berangkat dengan enggan menyusuri keriuhan orang di atas truk pick up dengan pakaian olahraga. Umpatan pun mengalir saat ada beberapa muda-mudi menyalip saya dengan ugal-ugalan di jalan.

Keriuhan suara suporter sampai terdengar di daerah Pelawa, Denpasar. Saya tidak terlalu peduli dan terus mencari lokasi telepon umum itu. Kepala saya bergantian menoleh kanan, kiri, kanan, kiri, kanan. Sampailah saya di depan SMPN 3 Denpasar.

Telepon umum itu 25cm lebih tinggi dari tinggi badan saya yang tinginya hanya 158 cm. Telepon umum itu masih kokoh berdiri. Tapi, setelah diamati lebih lanjut ternyata gagang teleponnya tidak ada.

“JIAH…PARAH!” pekik saya pelan.

Saya kemudian mengambil sudut pandang (angel) yang baik untuk foto saya. Sesaat kemudian ada bapak menghampiri saya.

“Sing dadi ney anggo telepone. Nyen kal nagih, nelpun di wartel gen,” kata bapak itu dengan logat khas Buleleng yang sudah fasih sekali saya dengar. Artinya, telepon ini tidak bisa dipakai. Kalau mau menelepon pakai wartel saja.

“Sing, Pak. Tiang nak jadi moto teleponne gen,” jawab saya. Maksudnya, tidak, Pak. Saya hanya mau foto telepon ini saja.

“Moto?” tanyanya bingung

“Mekodakan, Pak,” jawab saya sambil terkikik tertahan. Dalam bahasa setempat mekodakan artinya mengambil foto.

“Ooo. Nah, nah,” jawabnya. Artinya, oh iya.

Otak saya berpikir keras tentang apa yang saya lakukan selanjutnya. Pandangan saya tertuju pada bensin motor yang menipis dan langsung merenung sejenak.
“Saya harus pergi ke tempat lain lagi atau lebih baik saya mewawancarai anak-anak itu,” sambil terus tertuju pada sekelompok anak yang sedang melakukan latihan baris-berbaris.

Saya parkir motor. Kemudian tanpa berpikir panjang, saya langsung menghampiri pembina mereka yang umurnya sepantaran dengan saya. Mata anak-anak yang ada di sana langsung terfokus pada saya yang saat itu memakai jaket semi leather berwarna hitam dan helm pink yang lumayan “eyecathing”.

“Halo. Kenalin. Aku Hanny,” sapa saya sambil mengulurkan tangan.

“Halo. Aku Eka,” sambil membalas tangan saya dengan jabatan gaya RnB-nya.

Kemudian saya menjelaskan panjang lebar tentang kedatangan saya di tengah acara mereka dan memohon izin ke Eka selaku pembina Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) untuk mewawancarai dua orang mengenai telepon umum di depan sekolah mereka.

Narasumber pertama bernama I Kadek Dwi Putra Diatmika. Pemuda kelahiran Gianyar, 2 Februari 1996 ini mengaku hanya pernah memakai telepon umum hanya sekali dalam hidupnya. Saat ditanya lebih lanjut dia menerangkan bahwa dia lebih suka memakai HP alias telepon seluler untuk menelepon karena lebih efisien.

“Kamu tahu tidak kapan terakhir kali kamu pakai telepon umum?”

“Waktu kelas 1 semester 2, Kak,” jawabnya

“Kamu tahu tidak kapan kira-kira telepon umum itu rusak?”

“Hah!”jawabnya panik sambil mencoba melirik keluar sambil menjijit. “Saya malah baru tahu sekarang, Kak,” jawabnya sambil cengengesan.

Saya mengganti ke pertanyaan selanjutnya. “Kamu mau tidak untuk tidak memakai HP jika sudah ada telepon umum di seluruh Kota Denpasar?”

“Mau banget, Kak. Apalagi telepon umunya masih bagus dan bisa pake uang kembalian. Hehehe..” katanya sambil tertawa.

“Impian kamu tentang telepon umum masa depan apa, sih?”

“Saya sih pengennya biar telepon umumnya bagus, bisa dipake bener, trus enggak ada lagi yang ngerusaknya karena mahal, kan, Kak harganya satu biji.”

“Impian lainnya biar telepon umum bisa make uang kertas. Maklum aja, Kak. Saya jarang punya recehan,” jawabnya.

Saya beralih ke narasumber kedua, Wayan Fitri Gayatri. Fitri, sapaan anak tersebut, langsung menanyakan apa pertanyaan yang harus ia jawab.

“Kamu pernah pakai telepon umum di depan SMP-mu?”

“Sering banget, Kak. Biasanya saya pakai untuk telepon bapak buat jemput. Tinggal pake duit 200 perak, kemudian tinggal bilang, “Jemput, Pak.” langsung dah dijemput. Daripada pake HP, mahal!” jawabnya

“Kamu setuju tidak kalau di seluruh Denpasar ada telepon umumnya dan kamu tidak perlu membawa HP lagi?”

“Setuju banget, Kak. Tapi telepon umumnya harus bagus. Tidak seperti telepon umum di depan yang nggak ada gagang teleponnya. Jadi bingung kalau enggak punya duit “and” mau minta jemput”.

“Apa harapanmu untuk telepon umum di kota Denpasar nantinya?”

“Emm.. Saya sih pengennya biar semua telepon umumnya enggak dirusak lagi. Kan kasian, Kak.”

“Udah gitu maunya biar ada kotak telepon umumnya juga. Jadi enggak terbuka kayak di depan. Setiap orang yang masuk harus bayar dulu untuk buka pintunya. Misalnya pake uang 100 perak atau berapa gitu biar enggak seenaknya keluar masuk.”

“Sama lagi satu, Kak. Aku pengen banget telepon umum itu mirip sama yang di London. Pake kotak besar warna merah, jadi kan kalo kita foto-foto enak gitu. Hehehe..” jawabnya cengar-cengir

Selesai wawancara, saya berpamitan pada seluruh anggota ekstrakulikuler Paskibra sambil berpikir, “Bagaimana cara berkampanye agar telepon umum menjadi terkenal lagi seperti masa jayanya dulu?” [b]

Tags: BudayaDenpasarFasilitas PublikTeknologiTelepon
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
dathu

dathu

Related Posts

Ketimpangan Ruang dan Kelas di Pasar Badung

Ketimpangan Ruang dan Kelas di Pasar Badung

21 October 2025

Ancaman Kesehatan Pasca Banjir di Bali

8 October 2025
Mengelola Dana Darurat Banjir Bali: Antara Potensi dan Transparansi

Mengelola Dana Darurat Banjir Bali: Antara Potensi dan Transparansi

20 September 2025
Mendata Bencana Banjir dengan Crowdsourcing

Mendata Bencana Banjir dengan Crowdsourcing

17 September 2025
Sanggah Kemulan Bermakna Unik dari Susunan Bambu di Desa Pedawa

Sanggah Kemulan Bermakna Unik dari Susunan Bambu di Desa Pedawa

25 July 2025
Budaya Ngayah Makin Langah

Budaya Ngayah Makin Langah

13 June 2025
Next Post

Perjuangan Made Sudi si Penjual Canang

Comments 5

  1. Winarto says:
    15 years ago

    Sebagaimana bioskop di artikel sebelah, demikian juga dengan telepon umum

    Reply
  2. Cahya says:
    15 years ago

    Ah…, telepon umum itu cerita melankolis dan romantis dari masa anak-anak.

    Tapi kok di luar negeri masih tetap bertahan ya, sementara di Indonesia rasanya ndak terurus?

    Reply
  3. Eka Juni Artawan says:
    15 years ago

    Telpon umum koin,….telpon umum kartu,kini semua hanya tinggl kenangan.Di luar sana betapa pentingnya sebuah telpon umum,disaat jauh dari rantau dan rindu akan kampung halaman.Teknologi apalagi yang kira2 akan muncul untuk menyaingi lagi posisi telpon seluler.Yang jelas only god knows,why?!?

    Reply
  4. luhde says:
    15 years ago

    “Makodakan?” baiklah mari kita listing kosa kata lucu dari berbagai penjuru Bali…

    PARAH (baca: keren), dathu..

    Reply
  5. Yudha Surya says:
    15 years ago

    lucu bahasanya. “Makodakan?” what is meaning of maksud ?? ^^V

    Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

Ini Cerita Arsa, Remaja Rasa Anak-anak

Pengalaman Orang Tua dengan Anak Neurodiversitas

6 November 2025
BaleBio, Prototipe Arsitektur Regeneratif

BaleBio, Prototipe Arsitektur Regeneratif

6 November 2025
Pelatihan Olah Limbah Bambu di Bamboo Academy

Pelatihan Olah Limbah Bambu di Bamboo Academy

5 November 2025
[Matan Ai] Bali dan Pembusukan Pembangunan

In memoriam Timothy: Bunga yang Dirontokkan di Bumi

5 November 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia