Sempadan pantai makin berkurang, nelayan makin sulit menambatkan perahu.
Abrasi menjadi ancaman zaman bagi desa ini. Padahal, mayoritas warga Desa Perancak adalah nelayan. Mereka tergantung pada lautan.
Pesisir pantai Perancak dengan pasir hitamnya menjadi tempat para nelayan menambatkan perahunya. Perahu-perahu nelayan kecil berjajar dengan hasil dominannya ikan lemuru. Sebuah gambaran masa lalu jika melihat kondisi saat ini.
Tanah di pinggir pantai sudah semakin menghilang akibat hantaman ombak. “Kondisi alam di Desa Perancak sudah berubah karena abrasi sekitar lebih dari 25 meter khususnya di Banjar Lemodang,” ujar Nengah Budi Asnawan, Kelian Dusun Banjar Lemodang, Desa Perancak.
Abrasi pantai yang semakin mengikis lahan warga membuat warga pasrah. Memilih untuk menjual tanah mereka daripada habis ditelan abrasi. Bahkan yang terjadi lahan tanpa tanah. Hanya bukti sertifikat saja.
Kedatangan investor ke Perancak sejak tahun 2000an memberikan sedikit harapan bagi warga. Harapan akan ada yang membeli tanah di pinggir pantai. Realitanya, sekitar 90 persen tanah di pesisir Pantai Perancak telah dimiliki investor. Vila-vila pun dibangun walau tidak banyak. Membuat geliat dan pengharapan akan sektor pariwisata akan berkembang di desa yang berbatasan dengan Samudera Hindia di sebelah selatan ini.
Abrasi pantai yang semakin mengikis lahan warga membuat warga pasrah. Mereka memilih menjual tanah daripada habis ditelan abrasi.
Saat ini sekitar 15 villa telah dibangun di wilayah desa Perancak. Abrasi yang perlahan mengancam tidak mengurungkan niat investor membeli tanah. Di Banjar Dangin Berawah terdapat 7 villa. Sekitar 80 persen pekerja vila adalah warga lokal Desa Perancak.
“Penduduk lokal kebanyakan memiliki tanah di wilayah dalam desa,” ucap I Nyoman Sudarma, Kelian Dusun Banjar Dangin Berawah.
Berkurang
Di sisi lain, warga beranggapan vila setidaknya bisa menyerap tenaga kerja dan pembuatan senderan. “Pembangunan senderan oleh investor yang membangun vila setidaknya membantu meminimalkan terjadinya abrasi. Di sisi lain, jika sebagian besar dikuasai oleh investor, maka kita akan seperti tamu di wilayah sendiri,” lanjut Sudarma.
“Dengan adanya vila, warga yang tamat SMP pun bisa diterima bekerja di vila. Tetapi ada latar belakangnya, misalnya tidak bisa melanjutkan sekolah atau orang tuanya. Peraturannya tidak begitu menjerat. Ada toleransi dari pemilik vila,” komentar Nyoman Westra, salah satu warga Perancak.
Bangunan vila mulai berjejeran seiring dengan geliat pariwisata di Desa Perancak. Begitu pula dengan pembuatan senderan di pinggir vila. Diiringi dengan dentuman ombak yang datang silih berganti mengikis pantai.
Jumlah nelayan pun semakin berkurang. Jukung nampak terparkir dan mungkin akan kehilangan tambatan. Sama halnya dengan musim ikan yang tidak menentu. Perancak sempat dicanangkan sebagai daerah pariwisata. Tapi di sisi lain nelayan dituntut agar tetap ada juga. “Di sini pariwisata agar bersinergi dengan nelayan dan menjadi barometer. Walaupun berkurang, nelayan harus tetap ada,“ ungkap Nengah Budi Asnawan.
“Walaupun berkurang, nelayan harus tetap ada,“ ungkap Nengah Budi Asnawan.
Selama ini penyenderan dilakukan oleh investor di sepanjang lahan yang mereka miliki. Lahan yang masih dimiliki warga lokal tidak semuanya disender. Sehingga ombak mengikis secara tidak merata. Lahan penambatan jukung nelayan pun menjadi permasalahan ke depan yang terlihat. Sejauh ini masyarakat masih bisa menambatkan jukungnya dilahan tertentu yang belum dibanguni vila.
Pengharapan terhadap gemerlap pariwisata nantinya memunculkan harapan agar masyarakat tidak terlena. Tentunya identitas Desa Perancak sebagai wilayah pesisir dengan mayoritas nelayan tidak terkikis. Terkikis seperti abrasi yang perlahan memakan daratan seiring zaman.
Pertanyaannya kemudian: bagaimana ketangguhan desa dalam menyambut riuh pariwisata di tengah banjir globalisasi saat ini? [b]