Oleh Luh De Suriyani
Tiga remaja berbaju lusuh tertunduk lesu di ruang Kantor Dinas Ketentraman dan Ketertiban (Tramtib) Kota Denpasar, Kamis (18/9) lalu. Mereka tengah diinterogasi petugas yang menangkapnya pada pagi hari itu.
Tiga remaja yang dianggap pengemis itu adalah Made Suarnata, Benny (18 tahun), Dayat (19 tahun). Suarnata tidak tahu persis umurnya berapa. ”Kalau saya sekolah mungkin kelas 6 SD,” ujarnya lirih. Artinya Suarnata sekitar 12 tahun.
Ia ditemukan saat mengemis dekat lampu lalu lintas di Jalan Imam Bonjol, Denpasar. Menurut peta operasi petugas Tramtib, daerah ini adalah salah satu target operasi, karena banyaknya pengemis dan anak jalanan. Daerah padat pengemis lainnya adalah Jalan Sudirman, Bypass Ngurah Rai, dan Cokroaminoto.
Sementara Benny dan Dayat mengelak disebut pengemis. “Saya hanya tidak bawa identitas diri, saya disini jualan aksesoris,” Benny menjawab pertanyaan petugas. Oleh petugas, ia diminta menelepon temannya di Bali yang mempunyai kartu tanda penduduk (KTP) Denpasar untuk menjamin mereka.
Berbeda dengan Suarnata. Bocah asal Dusun Muntigunung, Kabupaten Karangasem ini tidak bisa menyebut identitas orang tua, tempat tinggal, atau saudaranya di Denpasar. Ia memang mengaku mengemis bersama banyak teman lainnya dari Muntigunung.
”Ngapain di kampung. Tidak ada air, tidak ada makan. Makanya semua senang kesini,” ujarnya dalam Bahasa Bali.
Kepala Dinas Tramtib Kota Denpasar IBM Brahmaputra mengatakan sejak lima tahun terakhir, kebanyakan pengemis yang ditangkap memang berasal dari Dusun Muntigunung dan Pedahan di Karangasem. ”Kemarin (Rabu, 17/9) kami baru memulangkan 40 gepeng (pengemis) ke Karangasem. Payah sekali menangani gepeng karena mereka akan kembali lagi kesini” ujarnya.
Persoalan ini menurutnya menghabiskan banyak tenaga dan anggaran karena masalahnya terus berlarut-larut. Sejumlah gepeng yang ditangkap adalah orang yang sama.
Setiap hari, Dinas Tramtib Denpasar menangkap sekitar 10 orang pengemis di jalanan, sebagiannya adalah anak-anak. Jumlah itu melonjak menjadi 77 orang pada tengah September saja, saat bulan puasa ini.
Brahmaputra menenggarai, kelompok pengemis ini diorganisir oleh seseorang. ”Sampai sekarang kami belum berhasil mendapatkan pelaku pengorganisir itu. Belum ada yang mau buka mulut,” keluhnya. Pengorganisiran ini, kata Brahmaputra terlihat dari jadwal-jadwal operasi pengemis di tempat tertentu, misalnya saat bulan puasa kali ini mereka menyerbu sejumlah masjid di Denpasar.
Namun ia mengakui persoalan utamanya adalah ekonomi. ”Pedahan dan Muntigunung itu daerah yang miskin. Hal yang sama pernah terjadi pada warga Trunyan, Kintamani, Bangli. Karena saya dulu adalah camat Kintamani,” ungkap Brahmaputra.
Sekitar lima tahun lalu, warga Denpasar memang tak asing dengan pengemis asal Trunyan. Seiring perubahan cara penanganan, Trunyan kini tak lagi identik sebagai produsen pengemis.
Brahmaputra meminta Gubernur Bali memanggil bupati Karangasem dan walikota Denpasar untuk membuat program komprehensif mengentaskan pengemis. ”Kita harus bergerak simultan. Misalnya pengemis lansia dibina Dinas Kesejahteraan Sosial, yang usia produktif dilatih keterampilan oleh dinas tenaga kerja. Pengemis anak-anak diberi pendidikan,” paparnya.
Sayang, keinginannya ini mentok pada keterbatasan anggaran pemerintah daerah. Ia berharap segera ada solusi karena dengan sistem saat ini, yaitu menangkap pengemis, dibina lalu dipulangkan sangat tidak efektif dan berbiaya besar.
Hal ini diakui oleh Nyoman Ambara, Kepala Sub Dinas Satuan Polisi Pamong Praja Tramtib Denpasar, yang bertindak sebagai komandan satuan tugas di lapangan. ”Tidak ada perubaan perilaku dari gepeng-gepeng yang ditangkap. Padahal masih banyak potensi pelanggar ketertiban lain di Denpasar yang harus ditindak seperti pelanggar tata ruang, pedagang kaki lima, dan lainnya,” ujarnya.
Yang belum terpecahkan adalah kemiskinan struktural di Dusun Muntigunung ini. dikenal sebagai lumbung daerah miskin di Bali.
Dusun Muntigunung terletak di sebelah barat Kabupaten Karangasem, dengan luas sekitar 900 km2, dan jumlah penduduk 4.614 jiwa atau 1.188 KK. Sedangkan Dusun Pedahan luasnya 180 km2 dengan jumlah penduduk 902 jiwa atau 225 KK.
Menurut Data Pemerintah Kabupaten Karangasem, jumlah gepeng yang dipulangkan berdasarkan hasil razia kabupaten lain berjumlah 1.940 orang (2006),1.038 orang (2007), dan 452 orang (2008 s/d bulan April). Setengahnya dipulangkan dari Kota Denpasar.
Pada tahun ini, hingga September saja, Dinas Kesejahteraan Sosial dan Tramtib Denpasar memulangkan 141 gepeng ke Karangasem.
Informasi dalam situs resmi Pemerintah Kabupaten Karangasem, Karangasemkab.go.id mengatakan sejumlah kegiatan pemberdayaan masyarakat telah diberikapan pada warga dua dusun itu. Namun, belum berhasil karena belum optimalnya fungsi lembaga sosial yang dibentuk seperti pesraman (mirip pesantren) dan kesulitan mendata mereka.
”Siapa juga yang mau terus mengemis? Saya juga malu,” protes Made Suarnata, bocah yang tidak pernah sekolah ini. [b]
Inilah bukti, bahwa program yang sudah berjalan memang tidak efektif. Harusnya kalo memang keluar dana besar, keluarlah sekalian tp efektif.
Masa sih gak bisa nyetop gepeng, lha wong gak lebih dari 1000 orang koq…
kita tunggu aja setelah lebaran. apakah pengemis makin bertambah atau tidak.
Menangani Gepeng di Bali memang tidak gampang, dan ini perlu penanganan khusus dan sungguh-sungguh. Jadi dana yg dikeluarkan itu tidak sia-sia. selama ini penanganan gepeng sepertinya hanya bersifat pengusiran saja karena tidak mau daerahnya ditempati gepeng.