Bali termasuk salah satu provinsi di Indonesia dengan kasus HIV dan AIDS tertinggi.
Ada stigma bahwa Bali memiliki budaya seks bebas tinggi. Hal ini menjadikan Bali sebuah lahan peperangan antara upaya pemberantasan penularan HIV dan menyelamatkan generasi mudanya. Di era informasi dan telekomunikasi yang masif seperti saat ini, tetap saja upaya-upaya pemberantasan HIV tidak mutlak dapat dilakukan dengan mudah.
Kemudian sebagai sebuah sentra dan citra perekonomian industri kepariwasataan, Bali menjadi magnet untuk menarik pelbagai kalangan untuk berusaha atau sekadar mencoba-coba mencari penghidupan di Pulau Dewata. Mulai dari pekerjaan kasar seperti buruh tani, buruh bangunan, sopir, pengerajin seni hingga ke tenaga kerja profesional di bidang pariwisata ataupun membuka usaha sendiri di Bali sudah lazim kita temukan.
Migrasi tahunan antara Bali dan wilayah sekitarnya, membuat Bali banyak kebanjiran tenaga kerja dari luar. Katakan saja misalnya dari wilayah Jawa Timur tempat saya bertugas saat ini. Dan, tidak jarang mereka sendiri berpotensi sebagai karier ataupun calon korban penularan HIV dari dan ke Bali.
Bali dan Jawa Timur sama-sama memiliki jumlah kumulatif kasus AIDS di Indonesia bersama sejumlah provinsi lainnya, seperti Papua, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Riau dan Sumatera Barat (Laporan Menteri Kesehatan Triwulan III Tahun 2012). Ketika terjadi pertukaran atau mobilitas pekerja dari dua provinsi yang sama-sama memiliki kasus AIDS yang tinggi, maka proses penyebaran HIV – saya kira – akan menjadi lebih potensial sama rata ke kedua wilayah. Hal ini bisa terjadi jika keduanya memiliki faktor risiko pendukung penyebaran sama, misalnya seks bebas tidak terlindungi, penggunaan narkotika suntik (penasun), dan sebagainya.
Tak Pernah Sepi
Pun demikian stigma tetaplah stigma, Bali sebagai sebuah ikon nasional tetap saja menjadi sorotan mutlak. Selama saya bertugas di Banyuwangi, tidak pernah sepi dari kasus-kasus HIV dan AIDS. Untuk pasien dengan kecurigaan awal sebagai pengidap baru HIV dan AIDS, akan selalu ada pertanyaan, “Apakah pernah bekerja di Bali?“, atau mungkin pasangan hidup yang pernah bekerja di Bali. Terutama jika pengidap adalah orang dewasa.
Karena memang yang banyak terkena kasus HIV dan AIDS di dalamnya termasuk golongan pekerja non-profesional, ibu rumah tangga, buruh kasar, petani, nelayan, peternak ataupun wiraswasta yang notabene cukup sering melintas antar pulau. Namun, perlu diingatkan kembali bahwa infeksi HIV tidak memandang golongan kerja korbannya. Siapa pun bisa terinfeksi.
Beberapa bulan kemudian, saya mulai terbiasa mendengar pertanyaan-pertanyaan serupa dari petugas kesehatan. Karena bagaimana pun juga tampaknya tidak ada seorang pun ingin kecolongan kasus HIV baru, apalagi jika penderita pernah menjadi “tenaga kerja di Bali”.
Mengambil sisi positif dari semua ini, saya rasa masyarakat Bali dan seluruh instasi terkait memang sudah saatnya bangkit bersama-sama menanggulangi kasus dan penyebaran HIV dan AIDS di Bali. Bukan semata-mata masalah wacana saja. Dan mungkin suatu saat nanti stigma tersebut akan berubah menjadi paradigma Bali yang mampu mengendalikan kasus HIV dan AIDS dengan memuaskan. []
Saya rasa salah satu penanggulangan/pencegahan adalah sikap yg lebih terbuka tentang HIV/AIDS. Karena sekarang banyak yang masih awam dengan apa itu HIV/AIDS. Parahnya, mereka yang bekerja di pemerintahan juga masih banyak yg awam dan mungkin akan menyebarkan informasi yang salah tentang HIV/AIDS sehingga stigma terhadap korban akan semakin menjadi-jadi.
Itu artinya, kampanye semakin perlu ditingkatkan 🙂
ya tentu mbak, kalo pejabat2 saja masih awam apalgi rakyat biasa yg tdk pernah merasakan pendidikan, tentu dari pihak pemerintah yg berkait sangat diperlukan bantuannya untuk melakukan promosi/pendidikan kesehatan utk memberikan pengetahuan sejelas2nya tentang HIV/AIDS supaya dpt mengurangi atau malah menghilangkan stigma2 kpd ODHA, yg secara kita ketahui bhw pejabat2 pemerintah lbh dikenal dan besar kemungkinan akan didengar oleh masrakat itu sendiri…