Senin kemarin, Pospera melaporkan I Wayan Gendo Suardana ke polisi.
Laporan dilakukan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Pos Perjuangan Rakyat (Pospera) yang menuduh Gendo menyebarkan informasi kebencian dan permusuhan.
Dalam laporan sesuai tanda bukti lapor Nomor TBL/584/VIII/2016/Bareskrim, Pospera menggunakan Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Pasal 16 UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Ras dan Etnis.
Laporan tersebut menyusul cuitan (tweet) Gendo melalui akun @gendovara pada 19 Juli 2016 yang berbunyi “Ah, muncul lagi akun2 bot asuhan pembina pos pemeras rakyat si napitufulus sok bela2 susi. Tunjukin muka jelekmu nyet.”
Berikut penjelasan resmi Pospera terkait pelaporan @gendovara ke Mabes Polri.
1. Kedatangan ke Mabes Polri dilakukan oleh Pospera bukan untuk mengadukan penghinaan tapi melaporkan ujaran kebencian SARA sesuai pasal 28 UU ITE dan pasal 16 UU no 40 tahun 2008.
2. Apa yang dilaporkan terkait beberapa kata yaitu:
- Merendahkan fisik dan martabat manusia: “gigi tidak rata”, “muka jelek”,
- Menjadikan Marga sebagai ejekan “napitufulus”
- Memanggil dengan kata yang menyamakan manusia dgn hewan “Nyet”
- Menghina dan Merendahkan martabat organisasi dengan kata “Pos Pemeras Rakyat”, dan beberapa kata lainnya.
3. Ucapan ucapan merendahkan kemanusiaan sudah ditulis berkali-kali oleh terlapor di Twitternya sejak Febuari 2016 hingga Juli 2016.
4. Upaya penyelesaian di luar jalur hukum sudah dilakukan dengan tiga kali bersurat ke Dewan Nasional Walhi sejak Juli 2016 dan meminta Dewan Nasional Walhi untuk mengklarifikasikan ujaran-ujaran tersebut dan mengambil langkah2 yang dianggap perlu. Pemilik akun @gendovara adalah satu dari lima anggota Dewan Nasional Walhi.
5. Hingga hari ini Adian Napitupulu tdk pernah menjawab apapun ucapan akun @gendovara baik di Twiiter maupun di sosmed lainnya. Karena masalah SARA bukan masalah Adian tetapi masalah semua umat manusia, maka dengan demikian masalah ini diambil alih oleh organisasi sebagai pelapor.
6. Pospera mengecam siapa pun yg mengkaitkan pelaporan tersebut dengan Reklamasi Teluk Benoa.
Bagi Pospera, tidak ada alasan apapun yang pantas bagi siapapun untuk menghina dan merendahkan martabat manusia, menghina Marga atau Suku, merendahkan martabat organisasi.
Siapapun yang menghina atau merendahkan martabat manusia karena fisik dan marganya, sesungguhnya tidak menghina atau merendahkan martabat orang itu tapi menghina Tuhan yang menciptakan orang dan marga atau suku itu.
Pada hari yang sama setelah pelaporan itu, Gendo sebagai pihak yang dilaporkan justru mendapat banyak dukungan. Besoknya, Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) langsung mengeluarkan pernyataan. Gendo adalah Koordinator ForBALI.
Menurut ForBALI, pelaporan terhadap Gendo adalah kriminalisasi pejuang tolak reklamasi.
Koordinator Tim Hukum ForBALI I Made Ariel Suardana mengatakan pelaporan terhadap Gendo oleh Pospera merupakan upaya untuk membungkam suara aktivis yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa. “Meskipun pihak Pospera mengaku laporan itu tidak terkait dengan gerakan tolak reklamasi, namun kita tidak bisa begitu saja menafikkan fakta bahwa para pelapor adalah termasuk bagian dari tim reklamasi Teluk Benoa,” kata Ariel.
Adapun Gendo mengatakan, twit itu harus dilihat dari konteks lebih luas dalam gerakan tolak reklamasi. Pada saat itu, Gendo sedang mengkritik kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang membiarkan izin lokasi terhadap PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI).
Namun, kritik dengan tanda pagar #KecewaAmaSusi itu kemudian dijawab dengan akun-akun bot yang menggunakan tagar #BravoSusi.
Pernyataan Gendo dalam twit yang kemudian dipersoalkan tidaklah menyebut satu pun pihak ataupun etnis sebagaimana dituduhkan oleh Pospera. “Twit itu saya tujukan pada akun-akun bot. Tidak saya tujukan pada institusi ataupun perorangan. Saya tidak mengerti kenapa kemudian ada yang merasa tersinggung dengan twit no mention itu,” kata Gendo.
Ariel menambahkan, sebagai bagian dari aktivs 98, Gendo tidak punya niat untuk menjelek-jelekkan pihak tertentu termasuk Pospera. “Gendo tidak mungkin melakukan penghinaan. Pernyataan itu semata-mata hanya sebagai ekspresi menolak reklamasi tidak ada urusan dengan etnis apapun termasuk seperti yang dituduhkan,” katanya.
Wacana menyeret twit tersebut ke arah suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) sebagaimana dituduhkan Pospera, menurut Ariel, hanyalah pengalihan dari isu tolak reklamasi Teluk Benoa. ”Pelaporan ini adalah salah satu cara merusak barisan yang terus melakukan perlawanan tolak reklamasi. Isu SARA rawan digunakan sebagai metode untuk menaklukan gerakan tolak reklamasi,” Ariel menambahkan.
Terkait dengan proses hukum, Tim Hukum ForBALI mengatakan saat ini sudah ada 30 pengacara yang siap mendukung Gendo. Tim Hukum juga sudah mempersiapkan langkah-langkah pembelaan secara hukum. “Karena ini baru tahapan kriminalisasi awal, kami akan kawal. Kita akan uji, apakah kriminalisasi dalam kasus ini masih berlaku atau tidak. Kami mengundang advokat untuk sama-sama melakukan advokasi terhadap Gendo,” Ariel menambahkan.
Gendo menyatakan sudah siap dengan risiko yang harus dihadapi termasuk dalam perjuangan menolak reklamasi. “Saya dari awal menyadari bahwa berjuang banyak risikonya. Itu sisi yang berhimpitan. Mau diapain saja tidak soal. Yang bisa menghentikan saya ketika napas saya habis,” kata Gendo.
Terhadap kriminalisasi Gendo sendiri, berbagai pihak telah menyatakan dukungan pada Gendo. Pengguna Internet misalnya mulai memasang tagar dukungan terhadap Gendo, seperti #SayaAdalahGendo, #LawanKriminalisasiAktivisForBALI, dan #SayaTolakReklamasi. Tagar itu muncul di Twitter, Facebook, dan Instagram sejak kemarin malam.
Selain itu, para pengguna Internet juga memasang profil picture dengan tagar-tagar dukungan tersebut.
Tak hanya di dunia maya, dukungan terhadap Gendo juga datang dari basis-basis gerakan Tolak Reklamasi, terutama desa adat. Ketua LPM Kedonganan Ketut Raka Budana, misalnya mengatakan bahwa pelaporan terhadap Gendo justru semakin menguatkan gerakan Bali Tolak Reklamasi.
“Kami di ForBALI tidak mengenal adanya tokoh dan pimpinan. Maka perjuangan rakyat Bali ini ada puluhan ribu Gendo, Gendo, dan Gendo yang lain. Kami adalah Gendo. Gendo adalah kami.” kata Raka.
“Kami dalam barisan ForBALI akan semakin membakar semangat kami ketika salah satu dari kami dikriminalisasi,” tambahnya.
[Update 18/8]
Kecaman
Dukungan terhadap Gendo juga datang dari organisasi-organisasi lain.
Southeast Asian Freedom of Expression Network (SAFENET) mengirim pernyataan dukungan sebagaimana di bawah ini:
Dalam setahun terakhir, SAFENET mencatat 11 aktivis dilaporkan ke polisi karena dituding melanggar pasal-pasal pidana di dalam UU ITE.
Yang terbaru adalah pelaporan Pos Perjuangan Rakyat (Pospera) terhadap Koordinator ForBALI I Wayan “Gendo” Suardana pada Senin, 15 Agustus 2016. Pospera melalui Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) telah melaporkan Gendo kepada polisi dengan laporan Nomor TBL/584/VIII/2016/Bareskrim.
DPP Pospera menuduh Gendo telah menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Pasal 16 UU Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Laporan tersebut menyusul cuitan (tweet) Gendo melalui akun @gendovara pada 19 Juli 2016 yang berbunyi “Ah, muncul lagi akun2 bot asuhan pembina pos pemeras rakyat si napitufulus sok bela2 susi. Tunjukin muka jelekmu nyet.” Perlu disampaikan bahwa cuitan tersebut harus dilihat dari konteks lebih luas dan tidak berdiri sendiri.
Pada saat itu, Gendo dalam kapasitasnya sebagai ketua ForBALI sedang mengkritik kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang membiarkan izin lokasi terhadap PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI). Namun, kritik dengan tanda pagar #KecewaAmaSusi itu kemudian dijawab dengan akun-akun bot yang menggunakan tagar #BravoSusi. Karenanya ia lalu mengekspresikan kekesalannya.
Ekspresi kekesalan tidak bisa dipidanakan maka oleh karenanya dalam kaitan tersebut upaya hukum Pospera terhadap Gendo tidak bisa tidak merupakan upaya untuk membungkam suara aktivis yang menolak rencana reklamasi Teluk Benoa, Bali.
Sama halnya dengan pelaporan POLRI, BNN, TNI dan Johnly Nahampun terhadap Koordinator KontraS Haris Azhar pada 2 dan 4 Agustus 2016. Pelaporan yang disebut telah membuat nama baik institusi tercemar itu juga merupakan upaya untuk membungkam suara aktivis yang memersoalkan mafia narkoba yang melibatkan aparat negara. Pasal 27 ayat 3 UU ITE dipakai untuk menjerat kesaksian Haris Azhar yang berdasar pengakuan terpidana mati Freddy Budiman. Upaya pemidanaan atas kesaksian tersebut jelas menghambat demokrasi.
Dua kasus ini merupakan secuil dari banyaknya aktivis yang telah dilaporkan ke polisi sejak UU ITE dilegalkan, padahal apa yang disampaikan bagian dari ekspresi mereka untuk memperjuangkan kebenaran. Hal ini bukan saja dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” tetapi juga oleh pasal 19 ICCPR (International Covenant On Civil Political Rights) yang telah diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Hak-Hak Sipil. Atas dasar itulah, SAFENET/Southeast Asia Freedom of Expression Network menyatakan:
1. Mendesak Pemerintah Indonesia dan Komisi 1 DPR RI agar mencabut pasal-pasal UU ITE yang kerap dipelintir untuk membungkam demokrasi seperti pasal 27 ayat 3, pasal 28 ayat 2 dan pasal 29 UU ITE.
2. Mendorong Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Indonesia untuk menolak pelaporan terhadap aktivis-aktivis yang dijerat dengan pasal-pasal UU ITE tersebut dan mendorong penyelesaian lewat mediasi sebagai alternatif pemidanaan.
3. Menyerukan pihak-pihak yang melaporkan aktivis-aktivis ini agar berhenti memelintir hukum terutama pasal-pasal UU ITE demi kepentingan sendiri yang jauh dari asas keadilan dan kebenaran.
4. Meminta perhatian Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Ekspresi David Kaye dan jaringan aktivis/organisasi pro kebebasan ekspresi di negara-negara di Asia Tenggara untuk bersolidaritas dan membantu mengawasi proses demokrasi di Indonesia yang semakin terjerat pasal-pasal UU ITE ini. [b]