Puluhan perupa gabungan dari Sanggar Dewata Indonesia menggelar pameran bertajuk super MinimArt di Sika Gallery. Pameran dibuka pada 5 Oktober lalu di Campuhan Ubud.
Baru memasuki ruang pamer, deretan wadah kerupuk disulap seolah menjadi aquarium etalase yang memberi ruang 2 setrika yang kali ini bertugas menjadi stempel haram dan halal.
Di sebelahnya lagi saya bisa lihat konsistensi seorang Made Bayak yang senang bermain dengan plastik sarat pesan respon atas perilaku konsumerisme yang semakin menggila.
Bergeser lagi semakin ke dalam, sebuah pemandangan tak biasa ketika ada sebuah kulkas berisi arak dengan aneka rasa yang dijual dalam galeri. Arak sirup sirep sayurensis yang digagas Gede Sayur ini menurut sang empunya hanya mencoba membawa kearifan lokal atas arak yang sudah menjadi signature yang lumayan dikenal khas dari Bali.
Di pojok ruangan, algojo tato dari jogja merespon ruang pamer dengan menjadikan spot ini menjadi workshop tato. Goresan, ukiran yang lebih condong ke etnik, ukiran dan patra dengan wawasan spiritual Bali ia kombinasikan menjadi kalpataru, patra yang membentuk pohon berakar dengan simbol-simbol spiritual Bali yang dituangkan di atas kanvas.
Layaknya sebuah photo booth, tempat berpotret narsis dengan background sawah Not For Sale dipajang untuk dapat berinteraksi dengan penikmat pameran. Lalu potongan kardus bekas mewakili tipografi yang nampak menyentil terbaca “Jangan buang sampah di S[e]ni”. Di bawahnya terpajang sketsa-sketsa nyentrik warna-warni dan hitam putih serta instalasi gantungan kunci dalam sangkar burung dan ranting pohon dengann quote “yang dijual orang”.
Penangkapan pendek saya dunia komoditas seperti burung yang dijual, hanya diperhatikan keindahannya sebagai pajangan dan bunyi-bunyian tapi mengindahkan stress dan terpenjaranya mahluk hidup tersebut.
Dan di sudut-sudut lain yang jelas tak kalah menarik, seniman-seniman ini memunculkan karakternya dalam merespon tema super minimart dengan lukis, instalasi, sket manual, kaos, tatto dan suguhan arak, menghadirkan karya seni yang terjangkau atas penikmatnya.
Banyak barang-barang sederhana, bahkan sampah sekalipun tersulap menjadi barang seni dengan nilai tinggi berkat sentuhan seniman-seniman ini. Lumayan memberi refresh atas kejenuhan karya karya yang biasa dipamerkan di galeri besar yang banyak memakai material-material pilihan, eksklusif dan juga harganya yang relatif tak terjangkau.
Para perupa ini sudah bisa membuktikan bahwa kreatifitas berkarya tak boleh berpaku pada keterbatasan dana atau materi, penting juga menciptakan seni yang terjangkau baik bagi si perupa dan juga untuk penikmatnya.
Minim Art, Mini Mart. [b]