Sore itu matahari yang sudah condong ke barat menyilaukan mata saya.
Di salah satu sudut Veranda Café, saya dan dua orang teman mengobrol sembari menunggu kedatangan rombongan Sanggar Anak Tangguh. Kami yang kompak mengenakan dress code merah akhirnya duduk membelakangi matahari karena sudah tidak kuat menahan silau.
Tepat saat saya menyantap potongan garlic bread terakhir, sebuah bis berwarna putih dengan ukuran besar, berhenti di depan kafé. Bis itulah yang mengantarkan Anak Tangguh dari Guwang, Sukawati menuju Denpasar.
Satu per satu mereka turun. Seketika suasana jadi ramai karena mereka tak sendiri. Para orang tua juga mendampingi. Bahkan guru sekolahnya pun tak ketinggalan memboyong istri dan anaknya yang masih balita untuk ikut menyaksikan pertunjukan live dubbing film Be the Reds besutan sutradara asal Korea, Kim Yoongi, dalam acara pembukaan Minikino Film Week 4, 6 Oktober lalu.
“Di sini ya tempat pentasnya?”
“Wiiih, di sini ya? Di sini ya?”
“Di mana yang lain?”
Begitu pertanyaan yang meluncur ketika mereka menghampiri kami di dalam kafé. Melihat raut yang sangat antusias itu, kami langsung mengarahkan agar mereka menuju venue acara di Danes Art Veranda.
Para panitia yang tersebar di sekeliling terlihat sibuk memastikan apakah semua sudah siap atau belum. Malam itu kami duduk di deretan bangku depan. Mengikuti arahan dari Jong, kami mengambil posisi masing-masing. Sesekali mereka bertanya juga.
“Jam berapa kita tampil?”
“Masih lama ya?”
“Kita tampil setelah acara apa?”
Rupanya mereka sudah tidak sabar.
MFW4 sendiri telah diawali dengan beberapa pre-event, seperti Youth Jury Camp 2018, yang mengundang remaja berusia 13-17 tahun dari berbagai kota di Indonesia untuk menjalani pelatihan intensif selama 3 hari. Mereka terpilih untuk menonton dan menilai program-program internasional kategori anak dan remaja, lalu menentukan nominasi sebagai peraih penghargaan International Youth Jury Award 2018.
Selain itu ada pula Begadang Filmmaking Competition 2018 juga kembali diadakan. Kompetisi berskala nasional ini menantang peserta memproduksi sebuah film pendek dalam waktu hanya 34 jam.
Pada malam pembukaan, MFW4 juga memutarkan beberapa film yang mewakili masing-masing program di dalamnya. Beberapa filmmaker juga tampak hadir malam itu. Termasuk Kim Yoongi, sutradara film Be the Reds yang ditemani produsernya.
Layar lebar kembali padam. Beberapa film pendek yang mengantarkan pada acara puncak, telah usai. Itu tandanya giliran kami tiba. Kami kembali memastikan semua perlengkapan sudah siap tanpa ada yang kurang. Sambil memastikan pula anak-anak mengingat dialog masing-masing. Beberapa kali saya dan teman-teman membisikkan kata-kata penyemangat untuk mereka. Rasanya seperti akan menghadapi sidang. Nervous.
Bersama Teater Kalangan, proses ini dilakukan kira-kira satu atau hampir dua bulan. Devy Gita sebagai Pimpinan Produksi, menjadi jembatan koordinasi antara Minikino dan Kalangan. Sementara saya, Jong, dan Desi, fokus untuk melatih anak-anak yang terlibat. Aguk dan Tress akan fokus di properti dan tambahan lainnya. Begitu rencananya.
Namun, dalam perjalanannnya, ternyata tidak semudah di bayangan. Jadwal kakak-kakak ini ternyata cukup padat, sehingga harus menambah personel agar bias saling menopang. Muncullah Dedek, Bebe, dan Jacko yang membantu menjadi mentor (meskipun kata ini terdengar agak kejam, tapi dipakai saja) bagi Anak Tangguh.
Tidak dipungkiri pula, bagi saya pribadi ini adalah sebuah tantangan. Selain harus menyocokkan jadwal, tentu juga karena menghadapi anak-anak, benar-benar perlu pendekatan khusus. Saya sempat hampir putus asa ketika beberapa kali jadwal latihan, tetapi mereka sama sekali tidak datang. Atau ketika kami terlambat beberapa menit karena macet, mereka sudah membubarkan diri tak mau menunggu. Bahkan ketika harusnya latihan dengan serius, mereka masih asyik bermain dan ribut.
Ah, rasanya ingin menghilang seketika. Apalagi saat itu mengetahui bahwa sang sutradara dan produser film akan hadir di MFW4. Rasanya semakin tidak karuan.
Melihat tim yang tidak menyerah, berusaha menyesuaikan dengan situasi dan menyadari bahwa mereka masih anak-anak pun, membuat saya memaklumi sikap dan keinginan mereka untuk bermain. Jadi, memang kakaknyalah yang harus mengalah dan menurunkan egonya untuk selalu dituruti. Bias jadi pula saat itu saya yang tidak menikmati momen, sehingga muncul perasaan berlebihan. Akhirnya setelah damai dengan diri sendiri, saya tidak jadi putus asa dan menyesuaikan kembali agar menemukan ritme.
Tapi syukurnya, anak-anak ini luar biasa. Mereka mampu membawa suasana di dalam film menjadi hidup dengan dubbing mereka. Usia antara mereka dengan tokoh yang ada di film itu kami perkirakan sepantaran, apalagi masing-masingnya memiliki karakteristik khas yang dibawa pula ke dunia live dubbing itu.
Dengan menggunakan bahasa Bali dan Indonesia, cerita ini menjadi sangat dekat dengan audiens (terutama yang memakai atau mengerti kedua bahasa tersebut), sebab celetukan-celetukan khas Bali dan Guwang pun termasuk di dalamnya. Jadi benar-benar terasa seperti sedang melihat sekelompok anak banjar sedang bermain di lapangan bola.
Terlepas dari itu, film Be the Reds sendiri memang film yang menarik. Tak hanya memperlihatkan bahwa pertandingan sepak bola adalah sebuah momen perayaan dan keriangan, tetapi juga nilai-nilai dalam keluarga yang diselipkan dengan halus.
“Saya sangat bahagia. Saya tidak menyangka akan ada yang merespon filmnya dalam format live dubbing seperti itu,” jelas Kim Yoongi dalam bahasa Inggris yang terbata-bata.
Selepas 26 menit pertunjukan itu, saya benar-benar merasa bersyukur dan banyak belajar. Bersyukur telah menjadi bagian dari proses yang membutuhkan perjuangan, belajar untuk tidak memaksakan sesuatu, dan dari proses ini juga saya kembali diingatkan bahwa untuk bekerjasama dengan siapa pun, proses saling mengenal itu sangat penting. Jangan sampai terkalahkan oleh ego masing-masing.
Beberapa waktu selepas pertunjukan, tiba-tiba muncul sebuah grup WhatsApp bernama “Anak-Anak Kangen”, yang ternyata dibuat oleh Pagar, salah satu pemeran live dubbing. Anggotanya adalah seluruh pemeran dan para mentor. Ternyata ada janji yang saat itu belum kami tepati: membagikan es krim pada mereka. Janji ini muncul semasa latihan, sebagai “sogokan” agar prosesnya bisa lebih lancar.
Akhirnya janji ini ditepati 13 November 2018 di Kulidan Kitchen & Space yang kembali menjadi titik temu. Meski tidak bisa hadir dengan lengkap, kami harap bisa mengobati kangen mereka.
Sampai jumpa lagi ya, Dik.. [b]