Teks Astarini Ditha, Foto Ilustrasi Agung Witara
Garuda tak akan ditemukan tanpa adanya pengarsipan buku.
Buku, seperti kata adagium itu diibaratkan sebagai jendela dunia. Iklan pemerintah yang dibintangi Dedi Mizwar itu tampaknya sudah tak pernah nongol lagi di layar kaca.
Karena belakangan ini keberadaan dokumentasi buku dicermati cukup ramai di ruang publik maka mari kita sedikit menoleh pada satu fragmen sejarah peradaban nusantara di beberapa abad silam.
Kenapa terlempar jauh ke sejarah. Ini terilhami dari pernyataan Taufik Rahzen di acara Minggu Malam Bersama Slamet Rahardjo yang disiarkan TVRI Minggu awal April lalu. Dialog yang dihadiri beberapa tokoh; Arwendo Atmowiloto, Hardi, Wina Erwina dan Fadli Zon itu cukup bernas.
Taufik Rahzen seorang kolektor buku yang bermukim di Jawa Barat. Ada sekitar 120 ribu buku yang ia miliki. Dalam dialog itu, ia mengenalkan “gerakannya” yang dinamai I:Boekoe. Kegiatan ini sudah berjalan selama sepuluh tahun. Konsepnya adalah buku untuk semua. Dimana buku-buku terbitan langka, selain disimpan juga diproduksi kembali.
Yang kemudian menarik, adalah ketika ia menuturkan bahwa sejarah penulisan “buku” besar-besaran ini telah dimulai sejak 1000 tahun lalu. Darmawangsa Teguh, seorang Raja Kediri ketika itu meminta untuk membuat tim. Tim ini ditugaskan untuk menerjemahkan seluruh teks-teks dalam bahasa Sanskrit ke dalam bahasa Jawa Kuno yang sekarang menjadi bahasa Bali Kuno.
Proyek-proyek itu di antaranya menerjemahkan jilid Mahabharata, epos Bharata Yudha juga Ramayana. Ketika proyek itu selesai lantas dibacakan secara kolektif dalam rentang waktu 14 Oktober – 12 November 966. Tanggal 14 Oktober itu dianggap sebagai hari buku pertama yang telah dimulai lebih dari seribu tahun.
Periode itu berlangsung kurang lebih sebulan. Dari masa-masa itulah muncul karya-karya utama. Seperti Arjuna Wiwaha, kekawin yang memuat cerita kehidupan Arjuna simbolisasi penghormatan kepada Raja Kediri Airlangga. Garuda Muka, yang kemudian menjadi lambang Garuda Pancasila. Sutasoma yang melahirkan semboyan pluralisme Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Kekawin Desa Wrnana (Negara Kertagama) yang memuat catatan perjalanan; memaparkan keragaman desa-desa di nusantara.
Seluruhnya dicatat, diperiksa dan diabadikan dalam buku. Di setiap era kepimpinan suatu raja ada yang dikenal dengan Tradisi Pengawi. Ketika para pembesar kerajaan, raja mulai dekat dengan para juru kawi, mirip pengarang. Juru kawi inilah yang menuliskan kisah, fakta, kejadian, dsb menjadi karya-karya sastra yang “indah”; bernas, cerdas dan berisi pesan-pesan tertentu.
Proses kreatif seorang juru kawi ini dikenal sebagai Kalangu istilah bahasa Kawi yang berarti mengagumi “keindahan”. Bagi mereka orang-orang yang mencintai “keindahan” ini disebutlah Kalangwan.
Pemimpin dulu, seperti yang diceritakan novelis Bali Cok Sawitri, merasa betapa pentingnya menasehati diri dengan karya sastra, yang mendasari sikap seorang raja. Tradisi itu hidup berabad-abad; dari era kejayaan dan keruntuhan kerajaan-kerajaan besar di Nusantara.
Keterangan ini, seperti menanyakan rasa komunal responsibilitas kita sebagai pewaris. Ini baru kasus PDS HB Jassin yang mencuat ke media. Sedangkan dalam dialog itu juga disoroti seniman hardi, bahwa beberapa perpustakaan di Indonesia sudah dalam kondisi tragis. Perpustakaan Yayasan Budaya di Sul-sel, beberapa manuskrip lontarnya sudah dibawa ke Belanda. Perpustakaan Bung Hatta yang didirikan tahun 1953 di Jogjakarta tahun 2006 kemarin sudah tutup. 40 ribu buku kabarnya dititipkan di perpustakaan UGM dalam keadaan terikat.
Tak salah bila Taufik Rahzen mengatakan perpustakaan kita sedang terbakar. Dokumentasi pustaka; buku ini baginya tidak saja sebagai sumber informasi semata. Di sana terekam memori kolektif, ingatan bersama. Seperti dicontohkan, Sumpah pemuda tahun 1928 yang memuat adanya keterikatan bahasa; yang menyusun bangsa. Juga di tahun 1930 Pledoi Soekarno di hadapan para hakim kolonial berjudul Indonesia Menggugat, merekam memori kolektif perihal apa yang terjadi dengan bangsa Indonesia.
Buku tidak hanya memberi informasi. Juga merekam memori kolektif ketika hal-hal itu mulai dituliskan. Maka ketika kehilangan kemampuan itu, seluruh himpunan pengetahuan itu akan hilang. Tantangan lain, negara-negara macam Belanda dan Australia tengah bergerilya mengumpulkan manuskrip dan buku-buku langka di Nusantara. Sekali lagi ini adalah soal pilihan yang harus dicermati sebuah bangsa. Terlebih pemerintah punya kewajiban konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tulisan ini hanya menyampaikan gagasan Taufik Rahzen dan sedikit bantuan keterangan dari Cok Sawitri, salah satu penerima Anugerah Darmawangsa Teguh Oktober 2010. [b]