
Nama Mohamad Sanusi mendadak tenar saat ini.
Akhir Maret 2016 lalu, anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra itu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan tindakan yang paling dibenci masyarakat Indonesia, korupsi! Bukti biadabnya perilaku politisi negeri ini.
Pada 1 April 2016, sehari setelah KPK menangkap tangan M. Sanusi, Ketua Komisi IV yang membidangi pembangunan itu pun menjadi bunga berita di media cetak dan online. Bukan karena sebagai kandidat penantang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam pilgub DKI mendatang, tetapi sebagai calon pesakitan yang dijauhi oleh para koleganya.
Dari hasil pencarian nama Sanusi di mesin pencari google, bisa terbaca dengan vulgar kelakuan politisi negeri ini. Sanusi yang digadang-gadang akan menjadi calon Gubernur bersama Sandiaga Uno dari partai Gerindra langsung menjadi “anjing koreng” yang dijauhi semua orang.
Sesama Calon gubernur dari Partai Gerindra, Sandiaga Uno berujar baru mengenal sosok Sanusi setelah masuk Partai Gerindra. “Kami bukan rekan bisnis,” ucapnya.
Sementara itu koleganya, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyatakan, jika Sanusi terbukti melakukan tindakan korupsi seperti yang diduga dan disangkakan, Gerindra tak segan mencopot keanggotaannya.
Tidak ada yang mau terseret kasus korupsi di negeri ini meskipun tahu dan bahkan mungkin ikut merasakan cipratannya. Lebih baik menghindar, bila perlu ikut menghujat agar terlihat jauh dari cipratan uang korupsi.
Padahal layak diduga praktik yang dilakukan oleh M Sanusi adalah hal yang jamak terjadi di negeri ini.
Demi memuluskan usaha reklamasi di pantai utara Jakarta agar menjadi hal yang legal maka aturan perlu direkayasa. Di situlah pengusaha melakukan lobi kepada para pembuat keputusan dengan memberikan segepok rupiah.
Umumnya hal ini akan lebih mudah saat-saat menjelang ada hajatan politik seperti pilkada.
Membaca proses suap yang melibatkan M Sanusi, dalam kapasitasnya sebagai DPRD, dengan pengusaha pengembang besar di negeri ini untuk memuluskan proyek reklamasi di Pantai Utara Jakarta menjadi sebuah bisnis legal dan menguntungkan, membuat bayang-bayang yang sama muncul terhadap mulusnya perubahan aturan tentang Teluk Benoa di Bali. Dari level kabupaten, provinsi hingga pusat. Bagaimana wilayah konservasi bisa berganti menjadi wilayah pemanfaatan.
Rencana reklamasi Teluk Benoa di Bali saat ini patut diduga juga terjadi menyerupai kasus rencana reklamasi Pantai Utara Jakarta. Melibatkan sejumlah uang yang mengalir deras kepada para pembuat keputusan di Bali hingga Jakarta.
Rencana reklamasi Teluk Benoa bukan hanya tentang perubahan Peraturan Daerah (Perda), tetapi sudah sampai pada perubahan Peraturn Presiden (Perpres). Maka wajar ketika seoarang taipan, di balik perusahaan yang akan mereklamasi Teluk Benoa dengan lantang mengatakan sudah mengeluarkan uang Rp 1 T untuk rencana reklamasi Teluk Benoa.
Namun, tidak ada yang berani mengungkap aliran dana 1 T itu.
Bahkan serupa dengan nasib M Sanusi di atas, masyarakat adat di sekitar Teluk Benoa dan puluhan desa adat di sekitar lokasi, yang telah menyatakan penolakan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa dijauhi para politisi dan pejabat yang berwenang.
DPRD Badung secara kelembagaan bungkam. DPRD Provinsi Bali apalagi. Bahkan Gubernur Bali sebagai kepala daerah, alih-alih memperjuangkan aspirasi masyarakat adat yang berjumlah ribuan itu malah menantang debat di sebuah mimbar bebas di pinggiran lapangan bola.
Bedanya, M Sanusi dijauhi agar tidak ketahuan mendapatkan uang sementara masyarakat adat dijauhi karena tidak ada uangnya. Ini hanya asumsi saya yang kecewa dilecehkan sebagai masyarakat adat.
Beberapa kementerian juga sama saja buta mata terhadap realita penolakan yang begitu masif oleh masyarakat adat di Bali. Bahkan presiden pun memilih diam.
Saya masih ingat ketika baru terpilih sebagai pemenang pemilu, sekelompok anak muda Bali dari ForBali dengan berani menerobos Pasukan Pengamanan Presiden (Paspamres) untuk menyerahkan dokumen yang berisi sanggahan atas dokumen investor reklamasi teluk benoa kepada Presiden Jokowi di Hongkong Garden Restaurant di bilangan Sanur.
Tetapi harapan yang membuncah atas terpilihnya Jokowi untuk mencabut Perpres 51/2014 yang dikeluarkan oleh presiden sebelumnya sehingga rencana reklamasi teluk benoa bisa benar-benar dikatakan berhenti menjadi surut. Rakyat harus berjuang lewat parlemen jalanan menyuarakan teriakannya.
Dengan segala argumen sangat kuat untuk membatalkan rencana reklamasi Teluk Benoa baik dari dalil adat, agama dan sosial sepertinya saat ini bisa disimpan dulu. Selayaknyalah isu di balik begitu mulus dan lancarnya perubahan peraturan tentang kawasan teluk Benoa mulai berani diselidiki oleh pihak berwenang.
Telusurilah kembali keluhan sang Taipan di balik PT TWBI yang mengatakan 1 T sudah keluar untuk rencana reklamasi Teluk Benoa ini. Selidiki proses rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh DPRD dan Bupati Badung. Investigasi dengan berani peran DPRD Provinsi dan Gubernur Bali sehingga lahir rekomendasi ke pusat dan temukan aliran dana, kalau benar ada, hingga ke penanda tangan perpres 51/2014.
Semoga KPK dan kejaksaan punya nyali utuk menyelidiki dan melakukan tangkap tangan terhadap bau anyir 1 T di rencana reklamasi Teluk Benoa.