Sejumlah desa adat di Bali giat mengurangi sampah plastik yang kian tak terkendali.
Misalnya warga Banjar Penyabangan, Desa Kerta, Kecamatan Payangan, Gianyar, sekitar 10 kilometer dari pusat wisata Ubud. Mereka menyadari, sampah plastik menyulitkan dan membuat lahan pertanian rusak. Maka, warga setempat membuat aturan adat (awig-awig) yang melarang warga membuang sampah, terutama plastik, sembarangan.
Berdasarkan undang-undang Subak Amerta Nadi Bali bab II pasal 19, barang siapa yang membuang sampah plastik, kotoran ternak, kotoran manusia, maka dia akan dikenakan sanksi denda Rp 100.000.
Desa dengan jumlah penduduk lebih dari 5.500 jiwa ini membuat peraturan pelarangan sampah plastik di irigasi, got, dan saluran air lain di desa. Jika tertangkap tangan membuang sebuah plastik saja, Anda langsung bisa dibawa ke kantor desa dan membayar denda itu.
Warga juga menyalin awig-awig dalam Bahasa Bali ini ke Bahasa Indonesia agar mudah dipahami anak muda. “Agar peraturan ini bisa diwariskan terus,” ujar Sekretaris Desa Kerta I Made Darmaja.
Warga juga mempertegasnya dengan memasang sejumlah papan pengumuman di areal penting daerah konservasi lahan. Misalnya sawah, hutan desa, sumber air, dan saluran utama irigasi. Kawasan penting ini terlihat bersih dan rindang, seperti oase bagi warga.
Sebuah papan utama di dekat pura pemujaan Dewi Sri simbol kesuburan dipasang mencolok. Bertuliskan kewajiban warga sekitar memelihara lingkungan dari sampah, kotoran manusia, kotoran ternak, sampah plastik, dan lainnya. Termasuk hukuman yang dikenakan jika tepergok melanggarnya. Di bawah papan, ada keranjang sampah.
“Kami hidup dari bertani dan beternak. Dulu, sebelum peraturan ini ada, hasil tani kurang baik karena pasokan air kurang,” cerita Darmaja yang juga petani dan peternak ini. Setelah ditelusuri, ternyata masalahnya karena saluran irigasi kotor, air tersumbat sampah dan sulit mengairi sawah dengan merata.
Selain itu, banyak penyakit muncul. Seperti nyamuk dan bau menyengat. Kotoran hewan bercampur sampah terutama plastik nyangkut di selokan jalan atau sungai. “Semakin banyak jenis jajanan yang menggunakan plastik dan masuk desa. Sampah plastic jadi menumpuk,” tambah I Nyoman Suardana, salah satu petani yang juga pengurus banjar.
Dari kegundahan ini, warga rapat di banjar dan kemudian lahir peraturan tertulis soal pelarangan sampah khususnya plastik. Namun, peraturan ini hanya jelas mengatur pelarangan membuang di saluran air, bukan penggunaannya dalam keseharian.
Kebijakan soal penanggulangan sampah plastic ini juga dilakukan warga Desa Adat Purwayu, Kecamatan Abang, Karangasem, Bali. Sekitar dua jam berkendara dari Denpasar. Warga desa di atas bukit dekat Pura Sad Khayangan Lempuyang Luhur ini punya kebiasaan memilah sampah di rumah kemudian dikumpulkan saat rapat atau sangkepan.
Warga menyetor sampah plastik ke pengurus desa atau satu orang petugas pemulung yang ditunjuk. Untuk memudahkan pengumpulan, sampah harus dibawa warga saat rapat bersama.
sejumlah kepala keluarga di desa ini menampung sampah organik dan anorganik di dua tong sampah berbeda. Ada semacam kesepakatan tertulis untuk menampung sampah anorganik seperti plastik.
Berawal ketika terjadi tanah longsor di sekitar Pura Lempuyang Luhur. Salah satu penyebab tanah longsor adalah sebagian tanah di sekitar pura telah menjadi lahan penumpukan sampah termasuk plastic yang sulit terurai.
Bali menargetkan bebas sampah plastik pada tahun 2013. Setiap hari rata-rata produksi sampah 5.000 meter kubik. Sekitar 30 meter kubik dari jumlah itu merupakan sampah plastik. Karena terus dipusingkan dengan masalah sampah, pemerintah Bali membuat Perda tentang Sampah. Namun, secara teknis praktik pengumpulan sampah konvensional seperti menumpuk sampah di pinggir jalan sebelum diambil truk sampah pemerintah masih berlangsung hingga saat ini.
AA Sastrawan, Kepala Badan Lingkungan Hidup Bali mengatakan persoalan sampah plastik akan coba dikurangi dengan mendorong usaha daur ulang dan mengefektifkan bank sampah di perkotaan. Denpasar mempunyai dua bank sampah berlokasi di Kesiman, Denpasar Timur dan Sanur, Denpasar Barat. [b]
Versi Bahasa Inggris tulisan ini ada di The Jakarta Post.
Sejauh yang saya tahu mulai dari banjar Bunutan ke utara sampai Payangan daerahnya masih asri. Memang seyogyanya dipertahankan dan dicegah lebih dini timbulnya masalah sampah plastik. Apalagi jalur ini berada di tepi sungai Ayung yg nota bene adalah tempat atraksi wisata Rafting.
Alangkah baiknya awig-awig yang telah dibuat diikuti dengan pemberian sarana sarana pendukung. Misalnya membagikan kantong sampah kepada warga masing2 rumah tangga agar dapat dipisahkan antara sampah organik dan non organik(plastik).juga dipikirkan tempat penampungan yang sesuai agar tidak seperti di TPA sanggaran yang mana menimbulkan masalah baru yaitu polusi udara sepanjang jln by pass ngurah rai. Mungkin pemda gianyar bisa membantu membelikan unit mesin pemecah plastik yang nantinya sampah plastik mempunyai nilai ekonomi dan juga tempat pengolahan sampah organik dapat dijadikan pupuk yang mana dapat dikembalikan ke petani dengan subsidi pemerintah daerah.
Nyak asane nah @@@@@
Naaa …….. Ne (u)ba (i)ya ………..
Kalo desa pekraman di Bali memiliki visi seperti ini …… Ngomongin Bali Clean and Green jadi nyambung ….;)