Hawa dingin menyambut saya di Kintamani, Bangli.
Perlu dua jam perjalanan dari Kota Denpasar ke sini. Kintamani yang selalu diselimuti kabut, terletak di ketinggian kurang lebih 900 sampai 1.500 meter dari permukaan laut (mdpl).
Perjalanan ke Kintamani melintasi jalanan menanjak dengan pemandangan Gunung Batur dan Danau Batur yang menawan. Tidak salah jika Kintamani merupakan salah satu objek wisata paling diminati wisatawan di Bali, dengan pemandangan alam dan matahari terbitnya.
Kali ini saya mengunjungi Desa Subaya di kecamatan ini. Saya akan ikut menyaksikan ritual adat upacara Sambah Ayunan. Salah satu upacara kuno yang dilaksanakan setiap satu tahun sekali.
Desa Subaya
Dari Kintamani menuju Desa Subaya, saya menempuh perjalanan setengah jam. Menyusuri jalanan kecil yang menurun dan berkelok. Pemandangan hutan pinus di sebelah kiri dan kanan jalan. Saya menerobos jalanan kecil yang basah oleh hawa dingin. Kabut turun disertai gerimis.
Kalau sedang beruntung kabut akan sejenak pergi, memberikan kita waktu untuk menyaksikan keindahan bukit Mendha, salah satu bukit mempesona di Desa Subaya. Hutan dan tanah pertanian terhampar luas di antara lembah dan perbukitan akan menyejukkan mata siapa saja yang memandang.
Mendekati perkampungan warga, saya menjumpai pemandangan Gunung Batur di sebelah selatan. Sebaliknya, di sebelah utara saya menjumpai pemandangan Kota Tejakula, Buleleng yang ditemani pemandangan laut Bali utara.
Meskipun akses jalan sudah mulai dibenahi oleh pemerintah dan desa ini sedang dipromosikan sebagai destinasi wisata budaya, tetapi keberadaan Desa Subaya masih terkesan terisolir. Letak desa tersebut berada sangat jauh dari pusat perekonomian dan pusat pendidikan.
Untuk menuju Kota Bangli saja, warga Desa Subaya harus menempuh 1,5 jam perjalanan.
Sebagian besar warga Desa Subaya bergerak di bidang agraris. Pekerjaan ini menitikberatkan pada sektor pertanian dan perkebunan dengan komoditi utama palawija. Hal ini didukung oleh letak geografis Desa Subaya yang lebih banyak perbukitan, iklim tropis, dan suhu yang berkisar rata-rata 23-26 derajat Celsius.
Tradisi Sambah Ayunan
Pukul enam sore saya tiba di Desa Subaya. Udara masih terasa dingin, tetapi kabut telah pergi dengan digantikan oleh gerimis. Di pinggir jalan, yang berdekatan dengan Pura Bale Agung warga sudah siap untuk melakukan Upacara Sambah Ayunan.
Para perempuan desa yang diwakili ibu-ibu membawa persembahan sodan (persembahan dari rangkaian bunga, daun, buah-buahan dan jajan Bali). Para lelaki bersiap-siap dengan sarana ritual berupa tombak dan keris.
Sambah Ayunan berkaitan dengan persembahan kepada Ratu Ayu Mas Subandar yang bersthana di Pura Pengubengan. Upacara ini dilakukan setiap satu tahun sekali, di mana pada perhitungan sasih dalam penanggalan sIstem kalender Bali biasanya jatuh pada Januari.
Menurut masyarakat Desa Subaya dilakukannya ritual ini secara rutin setiap tahun, dengan harapan agar masyarakat terhindar dari grubug, malapetaka atau bencana alam yang mengakibatkan terjadinya banyak kematian.
Langit mulai gelap dan upacara pun segera dimulai dengan iring-iringan warga menuju Pura Bale Agung, tempat di mana akan dilakukan upacara Sambah Ayunan. Selain para perempuan dengan persembahannya dan para lelaki desa dengan alat-alat ritual. Iring-iringan ini juga disertai dengan bebunyian musik gamelan. Warga yang tidak ikut serta dalam upacara secara beramai-ramai menyaksikan iring-iringan ini dari pinggir jalan.
Ayunan Raksasa
Seperti namanya Sambah Ayunan upacara ini ditandai dengan ayunan raksasa setinggi lebih dari 15 meter yang terbuat dari bambu dan rotan. Meski ayunan ini sangat tinggi tapi semua bahan-bahannya dibuat secara alami tanpa menggunakan paku atau plastik.
Tempat duduk ayunan dibuat dari kayu Dadap Tis, kayu yang dianggap sebagai material suci. Tali utama ayunan menggunakan Rotan Titikan yang didapat di daerah sekitar Sungai Samuh. Kaki-kaki ayunan dibuat dari bambu sepanjang sekitar 20 meter dengan diameter kurang lebih 12 – 15 centi meter.
Lalu, pada puncak ayunan terdapat bangunan berbentuk segi empat yang merupakan sthana Ratu Ayu Subandar, sekaligus sebagai tempat menghaturkan persembahan upacara.
Dari bawah, bangunan ini dihubungkan menggunakan tangga yang terbuat dari bambu. Tata cara pembuatan Ayunan Sambah diajarkan secara turun temurun tanpa adanya petunjuk tertulis. Pengerjaan rata-rata membutuhkan waktu tiga sampai lima hari. Warga mengerjakan secara gotong royong dengan membagi diri sesuai dengan tugasnya masing-masing.
Hujan pun turun saat upacara berlangsung. Namun, hal itu tak menyurutkan niat dan usaha warga dalam melaksanakan upacara Sambah Ayunan. Para penari secara bergantian mempertunjukkan tariannya. Tarian sakral seperti tari Rejang Dewa, Baris Dadap, Baris Jojor, Presi dan Tombak tetap berlangsung di tengah deras hujan dan hawa dingin Desa Subaya.
Menjelang tengah malam, setelah berbagai tarian dipersembahkan para pemangku (pemimpin upacara) melakukan persembahan kepada Ratu Ayu Subandar dengan hasil-hasil bumi yang dibawa warga. Diawali dengan mempersembahkan beras pada ayunan dilanjutkan dengan menggantung padi, buah-buahan, palawija dan hasil pertanian lain pada tali ayunan.
Warga seolah-olah berlomba-lomba menghaturkan hasil panen mereka dengan menggantungnya pada ruas kiri dan kanan tali ayunan.
Sembari menunggu prosesi selanjutnya, persembahyangan bersama, para pemuda dan pemudi saling adu pantun. Bagi para lelaki mereka duduk di sisi kiri ayunan sedangkan para perempuan duduk di sisi kanan, secara begantian mereka menunjukkan kebolehan pantun dalam bahasa Bali.
“Gugut-gugut kesunane, meli bayak ke ulun tua. Bagus-bagus trunane, ngelah gaya care nak tua.” Demikian pantun yang dilantunkan oleh salah satu pemudi kepada para pemuda. Artinya “Ganteng-ganteng para teruna desa, tapi membawa gaya seperti orang tua.”
Permohonan Maaf
Setelah kegembiraan para pemuda dan pemudi adu pantun usai, mereka secara serentak bersiap-siap akan melakukan persembahyangan bersama.
Hujan masih membasahi tanah, kabut mengiringi malam melewati dini hari. Lantunan doa yang dipimpin pemangku semakin khusyuk bersama hawa dingin yang menyusup kulit.
Persembahyangan dimulai menjelang pagi hari. Semua menjadi hening. Hanya suara rintikan air jatuh dari langit, terdengar bersahutan mengiringi doa-doa yang dipanjatkan warga kepada Sang Pencipta. Dengan harapan segala upacara yang dihaturkan diterima dengan baik sekaligus permohonan maaf atas kekurangan selama upacara berlangsung.
Usai persembahyangan bersama, warga membawa sodan yang telah dihaturkan tadi kembali ke rumah masing-masing. Tidak sedikit warga yang masih tinggal di Pura Bale Agung menunggu Jero Kebayan menaiki ayunan secara simbolis upacara Sambah Ayunan telah usai, dan semua warga dapat dengan bebas menaiki ayunan.
Langit berangsur-angsur menjadi terang, sinar mentari menyambut dedauanan dan atap-atap rumah warga. Hujan pun telah usai. Masyarakat semakin banyak berdatangan ke Pura Bale Agung untuk ikut serta menaiki ayunan atau hanya sekadar menjadi penonton. Anak-anak dan para orang dewasa dengan antusias secara bergantian memainkan ayunan. [b]