Meskipun lebih banyak untuk sementara dan hobi semata.
Hari mulai gelap ketika warga di Banjar Tegeh Sari, Desa Tonja, Kecamatan Denpasar Utara mulai menyiram aneka tanaman di perkebunan mereka pada akhir pekan lalu. Menggunakan gayung, tiga orang menyirami tomat, cabai, terong, dan lain-lain. Kebun seluas 10 are atau 100 meter persegi itu dulunya tanah kosong yang menjadi tempat pembuangan barang-barang bekas maupun sampah.
Sejak Maret 2020 lalu, warga banjar di kawasan pinggir Denpasar ini mengubah tanah telantar tersebut menjadi kebun sayur organik. Tanah kosong yang dulunya berisi tumpukan sampah, kini berisi deretan kebun berpagar genteng dengan kompos dan tanah di dalamnya. Di bagian tengah lahan terdapat semacam bola setinggi 1 meter dengan pot-pot sayur di bagian luarnya.
Tiga bulan berselang, kini warga sudah bisa memanen beberapa sayur, seperti sayur bayam merah dan bayam merah. “Minimal kita bisa sekarang tidak perlu membeli sayur untuk kebutuhan dapur sehari-hari,” kata Kelian Adat Tegeh Sari Putu Gede Himawan Saputra kepada BenarNews.
Sehari-hari Himawan bekerja sebagai akuntan hotel milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di daerah Tuban, Kabupaten Badung. Namun, sejak pandemi COVID-19 menghantam Bali, dia pun terdampak. Himawan kini masuk kerja setengah hari saja karena tetap harus mencatat keuangan di kantornya meski nyaris tidak ada tamu sama sekali.
“Karena transaksi kan tetap ada, seperti pengeluaran untuk operasional dan gaji meski tidak seperti biasanya,” lanjutnya.
Hanya bekerja setengah hari, kini Himawan mengaku lebih punya banyak waktu. Begitu pula teman-teman di banjarnya yang bekerja sebagai sopir, pengusaha sewa kamera, pemasaran, dan lain-lain.
Mereka pun berinisiatif untuk mengelola lahan telantar di banjarnya. Apalagi, mereka memang memiliki peraturan adat (perarem) bahwa tanah telantar yang tidak dikelola lebih dari dua tahun boleh dikelola banjar seizin pemiliknya.
“Daripada warga menganggur, tanah menganggur yang membuat kita jadi lebih stress. Kenapa kita tidak mengerjakan sesuatu yang mendatangkan manfaat saja di lahan yang nganggur,” katanya.
Meskipun tidak mendatangkan hasil sebagaimana bekerja di pariwisata, menurut Himawan, bertani kecil-kecilan di lahan perkotaan efektif untuk membantu warga ketika tidak memiliki pendapatan akibat pandemi COVID-19. “Kalau beras masih kita beli, tetapi minimal kita konsumsi sayur sehat ‘kan imun kita bisa meningkat,” lanjutnya.
Setelah berhasil di satu lokasi lahan kosong, kini pengurus Banjar Tegehsari sedang menyiapkan lahan serupa di tempat lain untuk anak-anak muda. “Ini hanya percontohan. Harapannya makin banyak warga berkebun agar bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari,” tambahnya.
Gara-gara Pandemi
Sebagaimana warga Banjar Tegehsari, sejumlah warga di Bali kini memang kembali ke dunia pertanian meskipun skala kecil. Jika Himawan dan teman-temannya kini hanya menggarap 10 are lahan di perkotaan, maka sebagian anak muda lain kini mengolah lahan-lahan milik mereka di desa.
I Kadek Didi Suprapta, termasuk di antaranya. Setelah usaha agen perjalanannya tidak punya tamu sama sekali, Didi kini kembali ke Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Bangli.
Kini, sarjana hukum alumni Universitas Udayana itu menggarap sekitar 50 are lahannya di pinggir Danau Batur bersama adik dan orangtuanya. Pria yang sehari-hari aktif di pemasaran digital itu pun aktif membuat aplikasi Lapak Sayur di Android untuk jual beli sayur dan buah dari Kintamani.
“Saya ingin menghubungkan petani di desa dengan konsumen lebih luas,” katanya.
Maraknya warga berkebun di Bali saat ini memang terjadi setelah pandemi COVID-19 membuat pariwisata Bali terhenti. Sejak Maret 2020, begitu terjadi kematian pertama akibat COVID-19 di pulau ini, pariwisata pelan-pelan mati suri. Berbagai tempat wisata tutup. Penerbangan komersial internasional terhenti sama sekali.
Jumlah turis asing yang berkunjung selama Juni 2020 lalu, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali, hanya 32 orang. Bandingkan dengan Juni tahun lalu yang mencapai hampir 600 ribu turis asing. Apalagi Juni hingga Agustus memang musim ramai (peak season).
Ekonomi Bali pun memburuk. BPS Bali menyatakan ekonomi Bali pada triwulan II 2020 tercatat menyusut sebesar -7,22 persen, jika dibandingkan capaian triwulan I 2020. Jika dibandingkan capaian triwulan yang sama tahun sebelumnya, ekonomi Bali triwulan II-2020 mencatatkan angka pertumbuhan negatif lebih dalam, sebesar -10,98 persen.
Di sisi lain, jumlah kasus COVID-19 di Bali juga belum terkendali. Hingga Minggu (13/9) terdapat 7.226 kasus positif di Bali dengan 1.361 pasien dalam perawatan, 5.691 pasien sembuh, dan 174 pasien meninggal.
Hanya Sementara
Ketika ekonomi Bali belum terkendali meskipun pemerintah sudah membuka pariwisata, sebagian besar warga belum bisa kembali sepenuhnya ke pariwisata. Bertani di desa atau berkebun menjadi salah satu pelariannya.
Gede Sugiarta, pegiat Komunitas Kebun Berdaya, mengatakan, pandemi COVID-19 memang membuat warga Bali kembali ke pertanian baik di kota maupun desa. Gede sendiri lebih banyak membantu warga di perkotaan, termasuk di Banjar Tegehsari.
“Warga belajar ketika pasar ditutup untuk mencegah penularan COVID-19, ternyata sayuran susah dicari. Kalau toh ada, itu stok lama yang tidak lagi segar. Dari sana terus warga berinisiatif untuk menanam sendiri,” kata Sugiarta.
“Karena pandemi, orang akhirnya kembali menanam. Karena lebih sering di rumah, jadi kumpul-kumpul dengan menanam agar imun lebih meningkat,” lanjutnya. Saat ini, kata Gede, ada sekitar 35 rumah tangga yang menggalakkan berkebun di perkotaan (urban farming) di Banjar Tegehsari.
Menurut guru besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana Made Antara, maraknya anak muda atau warga perkotaan kembali ke pertanian bisa hanya sekadar tren sesaat jika tidak menghasilkan. Namun, jika hasilnya memang bisa menghidupi, bisa saja akan berkelanjutan.
Antara melihat sejauh ini anak-anak muda tersebut kembali ke pertanian hanya di sisi off farm, seperti penjualan dan pengolahan hasil pertanian, bukan di kebun atau sawah langsung (on farm). “Mereka tidak mau terjun langsung ke sawah atau kebun karena itu pekerjaan susah. Memerlukan ketangguhan fisik dan kemampua usaha tani. Kalau jualan kan lebih mudah karena hanya bermodal foto-foto cantik di media sosial,” katanya.
Di sisi lain, Antara menambahkan, belum ada dukungan serius dari pemerintah Bali terhadap usaha pertanian di tengah pandemi ini, termasuk kepada mereka yang kembali bertani. “Kalau kita lihat program Prakerja, pemerintah hanya mendukung pekerjaan-pekerjaan di perkotaan seperti bengkel dan industri, bukan pertanian,” lanjutnya.
Menurut Antara, pertanian di Bali juga belum bisa menjadi tumpuan hidup jika kondisi pariwisata Bali belum pulih. “Sebab, bagaimanapun juga, ekonomi Bali sangat tergantung pariwisata. Produk-produk pertanian Bali pun selama ini lebih banyak terserap ke pariwisata,” ujarnya. [b]
Semoga bisa cepat Pulih Pak! Bali Bangkit dan Jaya!