Kuningan termasuk salah satu hari raya besar umat Hindu.
Ribuan tamiang dan pakolem tampak menghiasi rumah-rumah orang Bali tak terkecuali di Ubud, desa internasional yang sejuk di tengah Bali. Ada kisah lain hari itu.
Tak hanya perayaan Kuningan, tapi juga kisah tentang Ubud dan geliat pariwisata budaya yang tersirat dalam pagelaran The Ubud Royal Weekend di Museum Puri Lukisan, Ubud.
Acara ini dimotori Puri Ubud bersama Philip Kotler Center for ASEAN Marketing (PCKAM), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Museum Puri Lukisan dan Museum Marketing 3.0. Banyak sesi dalam agenda pagelaran tersebut. Seluruh agenda bertujuan untuk memperkenalkan budaya Ubud dalam lingkup yang lebih luas.
Dalam sesi The Royal Story akhir Mei lalu, tiga penerus Puri Ubud yaitu Tjokorda Gde Putra Sukawati (Tjok Putra), Tjokorda Gde Oka Artha Sukawati (Tjok Ace) dan Tjokorda Gde Raka Sukawati (Tjok Raka) menceritakan kisah Ubud secara gamblang. Pada era kekinian, Ubud terkenal sebagai salah satu daya tarik wisata.
Namun, sebenarnya perkembangan pariwisata Ubud melewati proses panjang.
Tjok Putra mengawali sesi The Royal Story. Menurutnya, Ubud adalah sebuah estafet yang menjadi suatu kebanggaan sekaligus beban. Saat ini Ubud dikenal sebagai salah satu destinasi wisata. Namun, sebenarnya Ubud mulai terkenal pada tahun 1927.
“Tjokorda Gede Agung Sukawati, ayah kami yang mendapatkan mandat melanjutkan kerajaan setelah kakek dan nenek meninggal. Saat itu, ayah saya masih berusia 8 tahun,” kata Tjok Putra.
Dalam suasana hangat, Tjok Putra kembali bercerita mengenai ayahnya yang sempat putus sekolah saat usia 15 tahun. Saat itu situasi ekonomi sedang tidak baik. Rupanya situasi krisis itu juga melingkupi lingkungan puri.
Ubud adalah sebuah estafet yang menjadi suatu kebanggaan sekaligus beban,” Tjok Putra.
Dengan keadaan itu, Tjokorda Gde Putra Sukawati tidak kurang akal. Ia pergi ke Denpasar dan tinggal di Puri Blaluan, Jalan Veteran. Karena tidak bisa melanjutkan sekolah, maka ia mengajak tamu-tamu yang menginap di Bali Hotel (sekarang Inna Bali Hotel) berwisata ke Ubud.
“Sejak ayah kami mengajak tamu-tamu ke Ubud, pariwisata Ubud mulai terangkat. Banyak seniman asing yang berkunjung dan berkolaborasi dengan seniman Ubud, seperti Walter Spies, Antonio Blanco, Arie Smith, Rudolf Bonnet, dan lain sebagainya,” lanjut Tjok Putra.
Ubud pun berhasil mengembangkan pariwisata budaya seperti saat ini.
Para peserta The Ubud Royal Weekend antusias menyimak kisah di balik kemasyuran Ubud. Mereka datang dari berbagai perusahaan. Beberapa di antaranya turut memberikan komentar mengenai Ubud.
“Ubud sangat luar biasa, tidak ada duanya. Lebih dari sekedar tourism, but it has evolved a real result,” kata Suzy Hutomo, CEO The Body Shop Indonesia
Hutomo menambahkan pada saat Ubud Writers and Readers Festival, dalam satu sesi ada seorang peserta dari Amerika Serikat yang bercerita akan membantu pelaksanaan upacara di Kalimantan untuk pelestarian lingkungan.
Nico Barito, utusan Pemerintah Republik Seychelles untuk ASEAN juga memberikan testimoni lain tentang kesamaan Ubud dan Seychelles. Seychelles adalah sebuah pulau kecil termasuk dalam Benua Afrika. Seychelles tidak punya budaya karena hampir seluruhnya penduduk pendatang.
Dalam pengembangan pariwisata lebih mengandalkan alam. “Para orang tua membekali anak-anak di sana dengan pelajaran untuk menjaga alam. Sama halnya dengan anak-anak Ubud yang diajarkan untuk melestarikan budaya,” ujar Barito.
The Ubud Royal Weekend merupakan pagelaran seni dan budaya selama tiga hari berturut-turut. Salah satu Tri Founder Philip Kotler Center for ASEAN Marketing (PKCAM), Hermawan Kartajaya mengharapkan acara ini akan menjadi acara tahunan.
“Acara ini baru pertama kali diadakan di Ubud. Mengapa Ubud yang dipilih, ya karena Ubud adalah Bali 3.0 yang mengedepankan human spirit dalam promosi pariwisatanya,” katanya. [b]