• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Friday, May 23, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Kabar Baru

Rawon Setan Bikin Kesetanan

Agung Pushandaka by Agung Pushandaka
18 November 2009
in Kabar Baru, Travel
0 0
3

Teks Agung Pushandaka, Foto Ilustrasi Internet

Jumat (13/11) lalu saya makan siang di daerah jalan Teuku Umar Denpasar. Di antara sekian banyak toko handphone dan toko elektronik lainnya di jalan itu, terselip sebuah tempat makan yang saya lihat dari luar bukanlah sekelas warung apalagi kaki lima. Lagipula, saya pernah mendengar nama restoran ini waktu saya berkunjung ke Surabaya walaupun belum pernah mengunjunginya. Namanya: Rawon Setan.

Apalagi kemudian di dinding restoran itu terpampang sejumlah foto selebritis nasional yang mungkin pernah berkunjung ke restoran itu. Tidak tahu restoran yang di Denpasar atau mungkin yang di Surabaya. Yang pasti, ada foto-foto itu. Artinya, restoran ini bukan restoran sembarangan.

Tapi, saya tidak akan membahas tentang makanannya yang menurut saya juga standar saja, tidak ada yang istimewa. Saya lebih ingin menyampaikan kekesalan saya sewaktu saya mau bayar makanan pesanan saya di kasir. Mbak kasir yang jauh dari cantik, berusaha menyapa saya ramah. Total harga makanan yang saya pesan adalah Rp 22.500.

Saya rogoh isi dompet. Sepertinya saya punya uang sejumlah Rp 23.000. Tapi setelah saya keluarkan selembar demi selembar, ternyata uang itu cuma Rp 22.000, kurang Rp 500 dari total harga yang harus saya bayar.

“Itu saja, biar pas,” ujar si mbak kasir menunjuk uang Rp 22.000 saya.

“Uang ini cuma Rp 22.000, kurang 500 lagi,” jawab saya.

Si mbak dengan entengnya berujar, “Ya ditambah 500 lagi, dong!”

Anak SD juga tahu, uang saya kurang Rp 500 lagi. Tapi karena saya tidak punya uang pas mau bagaimana lagi. Maka kemudian saya keluarkan selembar uang Rp 100.000. Si mbak kasir menerimanya dan mulai mencatat transaksi itu di mesin kasir. Setelah itu, dia memberikan sisa uang saya. Tapi cuma Rp 77.000.

“Yang 500 lagi mana?” tanya saya.

Sialnya, dengan enteng dia berkata, restoran mewah itu ndak punya recehan 500 untuk membayar sisa uang saya. Loh, kok dia seenak udelnya sendiri mau mengembalikan uang saya sejumlah uang yang dia punya? Maka saya pun cuma bisa berujar, “Ya cari dulu, dong!”

Entah memang si mbak itu bodoh atau tidak peduli dengan rasa nyaman yang harus diperoleh pengunjung, dia pun berteriak-teriak ke sesama karyawan di sana untuk menanyakan apakah di antara mereka ada yang punya uang koin Rp 500 yang saya minta. Ternyata nihil, tidak ada yang punya uang yang menjadi hak saya.

Maka kesimpulan saya kemudian adalah, dia ini sudah bodoh, juga tidak peduli dengan perasaan pengunjung restoran. Kalau memang niat melayani pengunjung, di jalan Teuku Umar terdapat ratusan tukang parkir yang mungkin mempunyai uang Rp 500. Tapi si mbak tadi cuma bisa tersenyum dan bilang, “Ndak ada mas uang 500-nya. Anggap saja saya berhutang 500?

Benar kan? Dia ini orang bodoh? Berhutang sama orang kok sombong? Trus, kalau dia boleh berhutang Rp 500, kenapa saya diminta menambah uang Rp 500 waktu saya menunjukkan uang Rp 22.000 di awal tadi? Semestinya, saya juga boleh donk membayar cuma Rp 22.000 dengan alasan saya tidak punya uang receh Rp 500??

“Ndak benar nih!” umpat saya kepadanya. Belum lagi, ndak ada sepatah kata maaf pun dari mulutnya.

Sebagai orang yang berpendidikan, saya memilih tidak memperpanjang masalah ini. Bermasalah di restoran seperti itu akan menurunkan derajat saya sebagai pengunjung yang seharusnya dihormati. Saya pun memilih pergi meskipun si mbak itu menawarkan selembar uang Rp 1000 untuk menyenangkan hati saya. Saya menolaknya dan melangkah pergi dengan uang kembalian sebesar Rp 77.000.

Saya cuma bisa mengumpat dalam hati, “Saya minta uang 500 saya, bukan 1000. Saya ndak mau dibebani hutang Rp. 500 dari restoran semacam ini. Dasar setan!!”

Hehe! Menyesal banget saya datang ke sana..[b]

Tulisan diambil dari blog Agung Pushandaka. Foto dari sini.

Tags: Kulinerwisata kuliner denpasar
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
Agung Pushandaka

Agung Pushandaka

Agung Pushandaka dibesarkan dengan banyak adat, budaya, agama, bahkan tingkat sosial dan ekonomi. Ini serius! Agung tumbuh di tengah-tengah budaya Bali dan Jawa dari kedua orang tuanya. "Saya berbuat didasari oleh banyak ajaran agama. Makanya, saya ndak pernah fanatik dengan satu ajaran agama saja. Sayangnya, saya harus memilih satu agama untuk dicantumkan di KTP," tulis Agung di blognya. Alumni SMA 4 Denpasar ini lahir dan besar di Bali sebelum kemudian kuliah S1 dan menyelesaikan S2 Hukum Internasional Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta di kota gudeg. Di kota ini pula dia menemukan calon istri yang membuatnya sering bolak-balik Bali-Yogya sampai saat ini.

Related Posts

Es Kopi Susu Khayal, Favorit Para Generasi Milenial

Es Kopi Susu Khayal, Favorit Para Generasi Milenial

21 May 2019
Inilah Dia, Sepuluh Perempuan Legenda Kuliner Bali

Inilah Dia, Sepuluh Perempuan Legenda Kuliner Bali

22 April 2019
Pengalaman Susah Senang Menjadi Vegetarian

Pengalaman Susah Senang Menjadi Vegetarian

7 September 2018
Menyajikan Menu Lokal untuk Lidah Internasional

Menyajikan Menu Lokal untuk Lidah Internasional

2 May 2018
L-Good Lembongan, Memuaskan Pelanggan Meraih Penghargaan

L-Good Lembongan, Memuaskan Pelanggan Meraih Penghargaan

29 April 2018
Menunuggu Sajian Para Chef Terbaik Asia

Menunuggu Sajian Para Chef Terbaik Asia

25 March 2018
Next Post
Pameran Pendidikan Seks Remaja

Pameran Pendidikan Seks Remaja

Comments 3

  1. agung eka says:
    15 years ago

    wah, wah, kasusnya bagus, tapi apakah ini bahasanya orang berpendidikan (penulis sendiri yang menyebutkan)? dengan menyebut orang lain bodoh berulang kali dan menyebut diri dengan berpendidikan. saya cuma mau merenungi? apakah benar demikian seharusnya bertutur sebagai orang berpendidikan?

    Reply
    • pushandaka says:
      15 years ago

      Terima kasih untuk komentar dan kritiknya, mas. Akan jadi bahan renungan juga buat saya.

      Walaupun saya blum bisa janji, ndak akan mengatai orang lain bodoh kalau saya diperlakukan seperti itu di depan banyak orang. Hehe!

      Terima kasih. Salam kenal..

      Reply
  2. wayan says:
    15 years ago

    yah…ini semua buat pelajaran kita kadang ke egoisan kita lah bisa mengatakan hal ini.terimakasih

    Reply

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

Percepatan Pemanfaatan PLTS Atap

Percepatan Pemanfaatan PLTS Atap

23 May 2025
Mendorong Tata Krama Berwisata di Bali

Mendorong Tata Krama Berwisata di Bali

22 May 2025
Ruang Publik jadi Kanvas Terbuka di Tangi Street Art Festival

Ruang Publik jadi Kanvas Terbuka di Tangi Street Art Festival

21 May 2025
Menghidupkan Jaje Sengait, Melestarikan Pohon Aren Pedawa

Menghidupkan Jaje Sengait, Melestarikan Pohon Aren Pedawa

21 May 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia