Ayam betutu, tempe, rawon, pempek-pempek, rujak, es cendol…
Silakan tambahkan sendiri. Daftarnya akan sangat puanjaaang. Bukti bahwa Indonesia memiliki begitu banyak kekayaan kuliner khas. Semua memiliki ciri dan citarasa khas.
Namun, pertanyaannya, kenapa susah sekali menemukan menu-menu ala Nusantara itu restoran-restoran Indonesia?
Maafkan untuk pergaulan tata boga alias gastronomi saya yang memang kuper. Namun, berdasarkan pengalaman sendiri, menemukan menu-menu Indonesia di hotel atau restoran di negeri sendiri bukanlah pekerjaan mudah.
Apalagi jika sudah di luar negeri. Restoran khas Indonesia termasuk langka jika dibandingkan restoran khas negeri tetangga, Thailand atau Vietnam. Ada anggapan bahwa menu khas Indonesia memang kurang diminati lidah warga global.
Ah, apa anggapan itu benar? Pengalaman mengikuti Ubud Food Festival (UFF) 2018, sajian-sajian lokal ini sesungguhnya punya modal besar untuk bisa disajikan di meja makan internasional. Lidah-lidah mancanegara juga bisa berdecap menyantap nikmat menu-menu Nusantara ini.
Tumbuhan Liar
Koki muda asal Payangan, desa tetangga Ubud, I Putu Dodik Sumarjana, membuktikannya. Sejak 2017, Dodik menjadi kepala chef Nusantara by Locavore, di mana dia biasa menyajikan masakan otentik Indonesia yang mulai jarang ditemukan.
Dodik memanfaatkan tumbuh-tumbuhan liar sebagai bahan masakan, seperti cocor bebek, pegagan, dan lain-lain. “Selain itu, kami juga mengekspos resep lama yang sudah hilang,” ungkap Dodik.
Tumbuhan liar sejatinya memang bisa dikonsumsi. Dodik dan rekan-rekannya kerap menelusuri bahan unik ini dengan bertanya kepada para kakek. Dari sana, Dodik mulai meracik menu masa lalu dan menyajikannya dengan gaya masa kini.
Pada hari terakhir UFF 2018 bulan lalu, Dodik mengisi sesi Teater Kuliner untuk menyajikan menu bebek betutu dengan metode sekam dari tanah liat. Teknik memasak ini didapatkan dari kakek Dodik yang memanfaatkan tanah liat sebagai pengganti sekam. Bebek yang telah dibumbui dan dibungkus daun, lalu dibalut adonan tanah liat hingga mengeras.
“Tanah liat akan membuat daging bebek menjadi lebih empuk,” jelasnya.
Menurut Dodik kekayaan makanan Indonesia seharusnya mampu bersaing dengan kuliner dunia. Setidaknya begitulah pengalamannya menyajikan makanan Indonesia di berbagai negara. Ia merasa bangga karena ragam rasa dari komposisi masakan Indonesia mampu mengundang decak kagum.
Petty Elliott, chef penulis buku Jakarta Bites, berpendapat serupa. Dia pun terus mencari cara agar makanan Indonesia dapat dinikmati kapan saja dan di mana saja. Jadi, menurut Elliott, memasak sajian Indonesia tidak lagi harus memakan waktu lama dan rumit.
“Kita bisa membuat makanan Indonesia menjadi lebih modern. Rasa tetap sama. Tapi, teknik memasak dan penyajiannya berbeda,” tandas Petty.
Perempuan asal Manado ini memberi contoh olahan rawon yang dipadukan dengan steak tenderloin. Bentuknya steak, namun cita rasa Indonesia tetap ada dari siraman kuah rawon. Petty pun optimis dengan masa depan kuliner Indonesia yang semakin berkembang.
Chef Hans Christian yang menjadikan Kolak Kontemporer sebagai menu andalan melakukan hal serupa. Ini berawal dari kesukaannya pada olahan kolak dari mentornya, sehingga ia memilih untuk dipromosikannya di Amerika Serikat.
Baginya, untuk mengangkat menu lokal ke internasional, ada dua hal penting. Pasar yang spesifik dan presentasi menarik. Tiap pasar ada pendekatannya masing-masing. Kita juga harus fleksibel.
“Saya bukannya nggak mau bikin kolak otentik, tapi kadang ada orang yang belum pernah nyoba kolak, kita perbaharui saja sedikit agar bisa diterima. Yang membuat kolak ini kontemporer, dilihat dari bahan dan penyajiannya,” kata Christian.
Namun, Petty mengingatkan agar modifikasi itu tak melupakan bentuk klasik makanan Indonesia. Menurutnya, pengetahuan sejarah makanan Indonesia tetap menjadi bagian dari inspirasi kuliner Indonesia yang modern.
Pertunjukan ala Teater
Tak melulu tentang menu itu sendiri, proses memasak menu-menu Indonesia pun bisa disajikan layaknya sebuah atraksi. Sebuah pertunjukan. Sebuah teater. Beberapa program di UFF 2018, seperti Mr Wayan Balinese Cooking Class and Lunch, Kolak Pisang Kontemporer with Hans Christian, Battle of the Babi, serta Henry Alexie Bloem’s Balinese Sea Dancer bisa ditonton ala teater.
Memasak, sesungguhnya memang adegan-adegan yang menjadi sebuah cerita. Komponen dapur di dalamnya, sebagai properti yang mendukung adegan memasak. Sementara, chef adalah aktor sekaligus sutradara, sang pemegang kendali dalam pertunjukan.
Selama memasak, kita tak hanya disuguhi visual orang sedang memasak, tetapi juga mendengar bunyi-bunyian selama proses terjadi. Dalam sesi Mr Wayan Balinese Cooking Class and Lunch pada 13 April 2018, misalnya, bunyi yang menonjol adalah yang dihasilkan oleh Chef Oten Sujana beserta peserta kelas saat memotong bumbu.
Pisau ukuran besar khas Bali (blakas) beradu dengan talenan, dengan tempo memotong cukup tinggi, serta suara menghentak saat menumbuk bumbu di sebuah lesung, memberikan ambience berbeda. Begitu pula ketika bunyi saat chef sedang menggoreng, ketika bahan makanan bertemu dengan panasnya minyak, ataupun spatula bergesekan dengan penggorengan.
Tak jarang selama ini bunyi-bunyi tersebut kita abaikan, karena terlalu fokus dengan hasil akhir hidangan.
Mengamati bagaimana tubuh para chef melakukan pergerakan juga menarik. Di Battle of the Babi yang mengadu Chef Made Lugra vs Chef Made Sayoga, gestur mereka terlihat sangat dinamis berpacu dengan waktu. Tubuh-tubuh itu meruang sedemikian rupa, mengisi seluruh area memasak. Tetapi ada kalanya juga gerakan itu melambat ketika mereka harus mengisi detail-detail saat plating.
Menunggu Nenek
Menariknya, dalam pertunjukan memasak yang ditampilkan para chef, penonton dapat berinteraksi secara bebas. Feedback pun diberikan langsung oleh chef.
Hal ini juga sering terjadi dalam pertunjukan teater eksperimental yang tidak ingin berjarak dengan penontonnya. Di situ sangat terlihat antusiasme para penonton. Mereka bertanya, mencatat, memotret, dan menikmati prosesnya.
Kelancaran proses memasak itu juga tidak terlepas dari kerja sama tim. Jika chef sebagai pemegang kendali, tim bertindak sebagai penyokong untuk menjalankan proses dan menyediakan kebutuhannya.
Prosesnya serupa orang Bali saat menyiapkan upacara di pura. Para lelaki akan membuat lawar. Biasanya, mereka duduk berjejer di satu tempat. Lalu, peristiwa teater itu dimulai dengan memotong bebumbuan, daging, dan mencampurnya dengan adonan lawar.
Ada bunyi yang riuh diciptakan oleh bertemunya blakas dengan talenan yang bersumber tak hanya dari satu orang. Gestur orang Bali mengaduk lawar juga sangat khas, cenderung bertenaga, menjadi tontonan yang menarik.
Peristiwa ini unik untuk disajikan kepada konsumen tingkat internasional. Mereka tidak hanya disuguhi hidangan finalnya, sehingga proses memasak, tak hanya sekadar jadi proses di belakang layar, tetapi menarik pula untuk ditampilkan.
Chef pun memiliki kesempatan untuk mengedukasi penonton yang mayoritas orang asing itu tentang nilai-nilai lokal yang diangkat dengan menunjukkan secara nyata melalui peralatan tradisional yang dipakai, hingga bahan-bahan yang digunakan.
Chef Oten Sujana, misalnya, sengaja memakai peralatan tradisional dan memasak dengan tungku karena ingin mengenalkan unsur lokalitas Bali. Apalagi peserta yang ikut kelas memasak ini adalah orang-orang yang berasal dari luar. Mulai dari peralatan yang digunakan dan cara memasaknya.
“Saya ajak mereka merasakan pengalaman saya ketika dulu menunggu nenek memasak di kampung,” jelas Chef Oten seusai kelas memasak.
Tetap Dijaga
Menurut Chef Made Lugra yang berfokus pada masakan Bali, pembacaan dalam dunia bisnis kuliner sangat penting. Tak hanya terhadap pasar, tetapi juga pemilihan bahan makanan. Harus ada alasan kenapa bahan makanan “ini” dipakai. Sebelum ia membuat menu, kewajibannya adalah pergi ke pasar, melihat apa saja bahan yang bisa diolah dari petani.
“Konsep kami memang untuk mengembangkan potensi bahan makanan yang berasal dari petani, agar mereka juga sejahtera. Kalau bukan kita yang blow up bahan-bahan ini, siapa lagi?” jelas chef di Ubud’s Ayung Resort ini.
Makanan Bali terkenal disajikan tercampur dan tentu cita rasanya “nendang”. Itu karena masakan Bali identik dengan bumbu dan rempahnya. Menurut chef Henry Alexie, cita rasa semacam ini yang harus tetap dijaga.
“Kita harus mengedukasi konsumen yang kebanyakan orang luar. Tampilkan saja seperti aslinya, sehingga ketika orang mencoba, bisa dapat experience-nya. Jika kita ubah rasa itu sesuai keinginan tamu, itu bisnis aja namanya,” ujarnya.
Menyampaikan Cerita
Selain presentasi hidangan yang harus menarik, menurut Chef Oten dan Chef Henry, pegiat kuliner juga harus bekerja sama dengan pihak-pihak lain untuk mengangkat menu lokal ke meja makan internasional. Misalnya sekolah, perusahaan, hotel, pemerintah, atau media. Dengan demikian perjuangan mereka mereka lakukan selama ini tidak pincang.
Andre Dananjaya termasuk pihak lain yang terlibat dalam promosi menu-menu khas Nusantara itu. Bersama timnya, sutradara muda dari Bali itu membuat dokumenter bertajuk Nusa Rasa. Film ini merupakan bagian dari promosi makanan Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Selama kurang lebih 30 menit, dua seri Nusa Rasa tayang di hadapan publik UFF 2018. Kedua seri ini mengambil lokasi berbeda, Bali dan Palembang. Tim Nusa Rasa memilih lokasi ini karena ingin menunjukan akulturasi budaya Tionghoa di Indonesia dalam makanan.
“Kita sering melihat banyak foto makanan yang estetik di media sosial, tapi tidak ada pengetahuan tentang makanan itu. Nusa Rasa ingin menyampaikan cerita itu,” jelas Andre.
Ada alasan tersendiri kenapa Andre memilih Bali dan Palembang. Di Bali, mereka memakai pendekatan filosofi makanan. Ide memasak bukan hanya urusan perut, tapi juga persembahan.
Adapun di Palembang, ada upaya konservasi ikan belida oleh warga, karena Sungai Musi yang membelah kota di Sumater Selatan ini mulai tercemar. Ande ingin menunjukkan bahwa makanan tak sekadar mengisi perut tetapi juga terkait erat dengan pelestarian lingkungan.
Andre mengungkapkan makanan lebih dari sekadar kebutuhan pokok. Di balik setiap makanan, ada tradisi, kepercayaan, politik, folklor hingga mitos. Pengetahuan inilah yang perlu disebarluaskan melalui aneka kekayaan menu Nusantara. [b]
Artikel ini merupakan kolaborasi bersama Diah Dharmapatni dan Iin Valentine.