Kami sama sekali tak ragu menominasikannya.
Ketika Kedutaan Amerika Serikat melalui akun media sosialnya membuat program penghargaan untuk Pahlawan Perempuan Lokal akhir Maret lalu, kami pun dengan senang hati mengirimkan profil Ni Putu Suriati, 48 tahun, ini sebagai salah satu kandidat.
Saya memang belum lama mengenalnya. Tapi, setelah mendengar cerita dan melihat perjuangannya sendiri, menurut saya, dia lebih dari pantas untuk menjadi Pahlawan Lokal ini.
Perkenalan dengan Bu Putu, panggilan akrabnya, baru awal Maret lalu. Ketika itu, saya dan teman-teman Sloka Institute mengadakan Kelas Jurnalisme Warga di Yayasan Senang Hati, Tampaksiring, Gianyar. Bu Putu pendiri yayasan pendamping para difabel atau peyandang kemampuan berbeda atau different ability ini.
Pelatihan rutin sejak 2010 ini kami adakan kali ini di komunitas difabel. Pesertanya selain dari difabel juga dari masyarakat umum. Tujuannya, selain untuk belajar dan berlatih jurnalisme warga, juga agar satu sama lain bisa lebih saling mengenal.
Yayasan Senang Hati berada di Tampaksiring, sekitar 1,5 jam perjalanan dari Denpasar ke arah utara. Tampaksiring biasanya dilewati orang yang menuju Kintamani dari Denpasar. Lokasi kantor Yayasan Senang Hati agak di pinggir desa sejuk ini.
Karma Buruk
Kantor Yayasan Senang Hati adalah bangunan bekas sekolah berbentuk U. Tiap kelas di sini diubah menjadi ruangan-ruangan seperti ruang pameran, ruang makan, tempat tidur, ruang kerja, dan lain-lain. Di halamannya ada juga tempat latihan angkat berat bagi para difabel.
Di ruang makan yang diubah jadi kelas, kami mengadakan pelatihan selama dua hari tersebut. Sambil pelatihan, para peserta yang nondifabel mengenal difabel lebih dekat. Begitu pula yang saya lakukan, belajar mengenal Bu Putu lebih dekat meski hanya dua hari.
Bu Putu mendirikan yayasan pendamping untuk difabel ini pada 5 Mei 2003 silam.
Melalui yayasan nirlaba ini, Putu memberikan dukungan untuk para difabel. Misalnya lewat pelatihan keterampilan, pendampingan psikologis, serta pembuatan kebijakan yang mendukung difabel. “Kami ingin mengajak agar sesama penyandang cacat bisa saling mendukung dan belajar,” katanya.
Dia bercerita. Sebelum mendirikan yayasan untuk mendukung kelompok difabel. Dia sering merasa tak diterima oleh lingkungannya. Apalagi, bagi sebagian orang Bali, difabel atau orang cacat juga dianggap sebagai karma buruk akibat perbuatan leluhur mereka di masa lalu.
Sejak berumur dua tahun, Bu Putu kena polio. Setelah itu kedua kakinya lumpuh. Karena tak ada orang yang bisa mengantarkan ke sekolah, dia pun tak pernah mengenyam pendidikan formal, SD sekalipun.
Toh, tak berarti Bu Putu tidak belajar. Dari pamannya, dia belajar menulis, membaca, dan melukis. Bu Putu aktif melukis yang menjadi kegiatannya sehari-hari. Dari dunia lukis ini, Bu Putu bergaul dengan sesama pelukis dan difabel.
Dari seringnya bertemu dengan sesama difabel itu, Bu Putu kemudian berinisiatif mendirikan yayasan pendamping difabel. Dengan bantuan beberapa warga lokal dan warga asing, Putu pun mendirikan yayasan ini. Kantor yayasan ini pun menjadi semacam rumah bagi para difabel di Bali dan bahkan dari luar pulau.
Ragu-ragu
Bu Putu menceritakan salah satu peristiwa ketika ada seorang difabel dari Jember datang ke yayasan tersebut. Saat itu, Senang Hati belum menerima satu pun difabel dari luar Bali. Karena itu, ketika ada difabel dari luar Bali, dia ragu-ragu untuk menerima. Apalagi saat itu si anak tersebut datang malam hari.
Namun, setelah melihat anak difabel dan mendengar cerita bagaimana dia “terbuang” dari keluarga, Bu Putu luluh juga. “Mau disuruh kembali pulang juga tidak mungkin. Kami akhirnya menerima dia dan mendampinginya,” kata Putu.
Joni Wijatmoko, difabel dari Jember tersebut, kini masih tinggal di Senang Hati. Dia salah satu dari 20 difabel yang tinggal di Senang Hati. Joni, panggilan akrabnya, menjadi salah satu peserta dalam Kelas Jurnalisme Warga. “Saya senang di sini karena banyak teman dan bisa belajar,” kata Joni.
Dari 12 peserta Kelas Jurnalisme Warga angkatan XVI, Joni termasuk salah satu yang rajin bertanya.
Melalui Yayasan Senang Hati, Putu memberikan dukungan kepada orang-orang berbeda kemampuan seperti Joni. Ada empat kegiatan utama yayasan ini yaitu pengasramaan, pendidikan, pendampingan kesehatan, dan kemandirian ekonomi.
Kegiatan sehari-harinya beragam. Ada yang belajar melukis, membuat kerajinan, berlatih olahraga, belajar bahasa Inggris, komputer, dan lain-lain.
Tiap Minggu juga ada fisioterapi untuk para difabel tersebut.
Disini untuk pelatihan bahasa inggris dan computer. Banyak juga yang kerja di perusahaan. Tapi ada yang sulit, tidak memungkinkan kerja, ditampung disini. Dan dilatih untuk kerajiann agar mereka ada income.
Sejak sepuluh tahun lalu, sudah ada sekitar 280 difabel yang pernah tinggal di yayasan ini. “Jika sudah mandiri, mereka akan pergi dari sini,” kata Putu. Rata-rata, mereka yang sudah “lulus” dari Senang Hati tersebut karena merasa sudah mandiri atau sudah mendapatkan pekerjaan di tempat lain.
Tidak Tahu
Sepuluh tahun mendampingi difabel, Putu merasak banyak suka duka. Dari ceritanya sih sepertinya lebih banyak duka. 🙂
Saat ini, tidak ada donatur tetap bagi Senang Hati. Inilah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Putu. Salah satu yang dia ingat adalah ketika pada suatu hari dia kehabisan beras sama sekali. Dia sampai bingung mau dikasih apa para difabel di sana.
Untungnya malam itu ada tamu dari PMI. Setelah ngobrol-ngobrol, Putu bercerita tentang tidak adanya beras tersebut. Oleh PMI dia disarankan untuk meminta ke salah satu yayasan. “Malam itu juga saya ke yayasan tersebut untuk minta beras. Ternyata dia mendapatkan bantuan 300 kg. “Wah, saya benar-benar tak menyangka bisa mendapatkan bantuan tersebut,” ujarnya.
Salah satu yang membuat Putu prihatin juga adalah minimnya perhatian pemerintah. Karena itu, dalam satu kali talkshow di televisi lokal, dia bicara blak-blakan.
“Ibu tahu fungsi dan peran Dinas Sosial?” tanya penyiar.
“Saya tidak tahu apa di Gianyar itu ada Dinsos atau tidak,” jawabnya. “Besoknya, orang Dinsos langsung datang ke tempat saya. Hahaha…” Putu melanjutkan.
Setelah itulah, baru pihak Dinsos Gianyar mulai memberikan perhatian dan bantuan dari semula tidak pernah datang sama sekali.
Dengan segala perjuangan tersebut, Putu merasa senang karena bisa membantu sesama difabel. Mereka juga bisa saling mendukung agar mandiri. Toh, Putu masih prihatin. “Masih banyak difabel yang belum beruntung seperti kami,” katanya.