Sejarah bukan semata kisah, namun juga warisan nilai-nilai.
Sebagaimana prasasti yang ditemukan di banyak tempat di Bali atau di daerah lain di nusantara ini, sebagian terbaca dan tak sedikit pula yang pupus terhapus menjadi teka-teki, mengundang pertanyaan dan keingintahuan.
Demikian juga Prabu Udayana, silsilah berikut kebesaran dan keagungannya tak sepenuhnya terungkap, akan tetapi jejak arkeologis juga tinggalan historisnya terbukti kini telah turut mewarnai keberadaan masyarakat Bali.
Perupa I Ketut Budiana (66) berupaya mengurai kisah dan sejarah Prabu Udayana dalam kanvas yang membentang sepanjang 83,39 m x 1,4 m. Karya monumentalnya ini dipamerkan di Bentara Budaya Bali pada 15 hingga 24 April 2016.
Eksibisi yang merujuk tajuk “Prabu Udayana: Wiracarita Dalam Rupa” ini merupakan kerja sama Universitas Udayana dengan Bentara Budaya Bali.
Melalui goresan garis dan komposisi warna terpilih yang penuh perenungan, seniman peraih berbagai penghargaan internasional ini menorehkan figur sekaligus tutur di seputar Prabu Udayana yang bertakhta sekitar 989 – 1011 M.
Berpermaisuri Sri Gunapriya Dharmmapatni atau dikenal sebagai Mahendradatta, Prabu Udayana adalah turunan Sri Kesari Warmadewa yang merupakan wamsakara dinasti tersebut.
Pembukaan pameran berlangsung Jumat lalu dimaknai dengan persembahan tari Prabu Udayana dan Hymne Universitas Udayana, serta pemutaran dokumenter tentang sosok perupa I Ketut Budiana.
Inspirasi untuk menghadirkan pameran lukisan Prabu Udayana ini, menurut Rektor Universitas Udayana Ketut Suastika, bermula dari hasil riset tentang Prabu Udayana yang dilakukan oleh Pusat Kajian Bali Universitas Udayana.
“Semoga hadirnya karya ini dapat turut menginspirasi generasi penerus untuk mempertahanan dan membangun budaya dan memahami bagian dari sejarah perjalanan bangsa ini,“ ungkap Suastika.
Dipilihnya perupa Ketut Budiana tentu melalui pertimbangan yang mendalam. Perupa kelahiran Padang Tegal, Ubud ini, dikenal mengolah ikon-ikon yang hidup dalam masyarakat Bali menjadi wujud rupa yang mempribadi, kreasi modern yang penuh kekuatan ekspresi simbolis kosmis, melampaui kebakuan bentuk lukisan Bali tradisional.
I Ketut Budiana menawarkan sebuah upaya transformasi, diterjemahkan dalam wujud garis dan warna, memanfaatkan bukan hanya ikonografi Bali yang direvisi, tetapi suatu inovasi bersifat tematik, teknis, sekaligus stilistik.
Pada sebagian karyanya, kita dapat meresapi suatu capaian yang bersifat asimilasi, mengandaikan adanya pertemuan berbagai kultural, menghasilkan sesuatu yang baru dengan unsur dasar yang dianggap telah luluh.
Di sisi lain, sebagian karyanya membuahkan nilai-nilai baru yang akulturatif, dengan unsur-unsur yang dapat dilacak ke asal muasalnya. Buah ciptanya meraih orisinalitas, tetap berakar pada nilai-nilai filosofi Bali yang hakiki, mengekspresikan bagian diri Ketut Budiana yang komunal dan juga sisi lain dirinya yang individual.
“Eksibisi ini tidak semata sebuah upaya memuliakan masa lalu, melainkan mencerminkan pula kekinian sekaligus pengharapan akan masa depan Bali yang lebih baik,“ kata Juwitta K. Lasut, staf budaya dan penata acara BBB.
Pengamat seni rupa, I Wayan Seriyoga Parta, menjelaskan bahwa alur cerita dalam lukisan ini meliputi tahapan kehidupan: Kelahiran Udayana; masa pendidikan di Pesraman Goa-goa;pergi ke Jawa Timur bertemu calon Istri Mahendradatta; kembali ke Bali dan dinobatkan sebagai Raja; menjalankan pemerintahan; Menjalankan Wana Prasta dan Biksuka–Moksah.
Karya monumental Ketut Budiana ini mengungkapkan pula filsafat empat tahap kehidupan (catur asrama) berikut empat tujuan hidup yang saling bertautan (catur purusa arta, yakni: dharma, artha, kama, moksa). Tahap pertama adalah brahmacari – masa muda, tahap pencarian ilmu pengetahuan; tahap kedua adalah grhasta (berumahtangga), di mana kama dan artha menyatu; tahap ketiga adalah wanaprasta, yakni sewaktu dharma diutamakan; tahap keempat adalah biksuka, lepas bebasnya dari semua ikatan duniawi menuju moksa.
Putu Fajar Arcana, kurator Bentara Budaya yang juga alumnus Universitas Udayana mengatakan pameran ini telah melahirkan momentum baru, di mana nama Udayana dikukuhkan kembali sebagai peletak dasar-dasar organisasi besar bernama negara.
Tokoh ini dianggap berjasa setelah melahirkan raja-raja besar di Jawa dan Bali. Airlangga, putra Udayana bersama Mahendradatta, menjadi leluhur kelahiran kerajaan besar seperti Singosari dan kemudian Majapahit. Momentum besar berikutnya, ketika berdirinya Fakultas Sastra Udayana cabang Universitas Airlangga Surabaya tahun 1958 dan diresmikan oleh Presiden Soekarno.
“Seperti kita tahu fakultas ini menjadi cikal-bakal berdirinya Universitas Udayana,“ ujar Fajar.
Lebih lanjut, Putu Fajar Arcana menilai, lukisan Budiana akan menjadi momentum kontemporer, yang lahir sebagai mengejawantahan ulang terhadap kebesaran Udayana. Ia bahkan tidak lagi sekadar reka ulang terhadap sejarah, tetapi justru memaknai sejarah itu, sehingga memberi dimensi baru dalam cara kita memahami realitas hari ini.
I Ketut Budiana, lahir di Padang Tegal Ubud tahun 1950. Ia telah menggelar pameran tunggal sejak tahun 1999 di ARMA Museum, Ubud, Pameran Tunggal Kazaxi Gallery Melbourne, Australia (2000), Pameran Tunggal di Tokyo Station Gallery, Japan (2003). Tahun 2008, berpameran tunggal di Maruki Art Museum, Japan, tahun yang sama juga menggelar pameran tunggal Setagaya Art Museum, Japan.
Pameran bersama di antaranya; Pameran lukisan di Jerman (1980), mengikuti dan menjadi koordinator pameran di Fokuoka Jepang (1985), berpameran di Tropen Museum Amsterdam, Holand (1986), Pameran lukisan di U.S.A. (THE WORLD PRESIDEN ORGANITATION, WASHTNGTON DC, U.S.A.) (1992), berpameran di Sunjin Gallery Singapore (2005), mengikuti International painting Vestival di Ujjain Madyaprades India (2007).
Berbagai penghargaan yang ia terima, antara lain: Penghargaan dari Cormsh Colege Othe Arts tahun 1995, dari La Trobe University Melbourne, Australia tahun 2000, dari Arhus Kunsbygning, Denmark, tahun 2004, dan dari Peace Festival in Itabashi, Japan, tahun 2005.
Budiana juga memperoleh penghargaan Wijaya Kusuma Kab. Gianyar tahun 2005, Seni Dharma Kusuma Provinsi Bali tahun 2008, dari Institut Kesenian Jakarta – LPKJ tahun 1993, dari Yayasan Seni Rupa Jakarta tahun 1997 dan sederet penghargaan lainnya. [b]