Sore hari keempat masa swakarantina, saya memutuskan untuk pergi ke klinik dokter praktik bersama di Jalan Ahmad Yani, Denpasar Utara. Adanya virus corona baru dan penyakit Covid-19 mengingatkan untuk terus menerus mencuci tangan, dan jemari tangan kiri saya justru begitu sensitif ketika terkena sabun. Tentu ini harus segera diobati sebab kini saya harus sering-sering cuci tangan.
Saya sempat mampir ke ATM di SPBU Ahmad Yani dan meminta seorang sopir Grab membantu menghidupkan mesin sepeda motor saya dengan starter kaki. Ia langsung berlalu tanpa sepatah kata setelah saya mengucapkan terima kasih. Ia kembali sibuk dengan ponselnya, mungkin memeriksa apakah ada pelanggan atau makanan yang perlu diantar. Saya ingat betul, bapak sopir tersebut tidak menggunakan masker.
Pergi ke klinik, saya menunggu lebih dari satu jam untuk diperiksa. Saya duduk di ruang tunggu yang tidak begitu besar, hanya berkapasitas dua belas orang saja. Saya melihat beberapa pasien yang telah berusia lanjut. Tak semuanya saya lihat menggunakan masker. Ada seorang bapak yang batuk di sebelah saya tanpa menutup mulutnya dengan siku. Saat itu, saya begitu bersyukur mengenakan masker untuk menutupi wajah saya.
Pemeriksaan selesai. Dokter menyatakan kulit tangan saya begitu tipis dan sensitif dengan deterjen dan sabun cuci berbahan kimia dengan konsentrasi tinggi. Saya disarankan untuk mencuci tangan dengan sabun bayi saja. Saya tukarkan resep darinya dengan setoples kecil salep dan sepuluh tablet obat. Hari sudah menggelap ketika saya menuju sepeda motor yang terparkir sambil merogoh saku celana, mencari sekeping koin seribu rupiah.
Saya serahkan koin tersebut kepada bapak petugas parkir. “Bapak kok ten nganggé masker? (Bapak kok tidak pakai masker?)” tanya saya padanya. Di luar urusan virus corona, klinik adalah tempat yang penuh dengan orang sakit. Tentu si bapak juga rawan untuk tertular karena selalu bersinggungan dengan orang yang keluar-masuk klinik.
“Masker mael sajan, gék. Sing nyidaang meli kéto-kéto. Men gék ada? (Masker mahal sekali, gek. Tidak sanggup belinya. Kalau gek ada masker?)” ujarnya sembari duduk di atas sepeda motor sebelah saya yang milik entah siapa. Saya kembalikan kunci sepeda motor saya ke posisi off. “Aduh, ampura pak, tiang ten wénten masker lebih niki (Maaf pak, saya tidak ada masker lebih nih),” saya buru-buru minta maaf, merasa bersalah menanyakan perkara masker kepadanya. Kami akhirnya mengobrol selama beberapa menit.
Betapa beruntungnya saya masih mampu mengenakan, lebih-lebih membeli masker yang sekarang sudah menjadi barang langka dan mahal. Saya sebenarnya tak tahu persis berapa harga masker saat ini, sebab ketika terakhir kali saya membeli, harganya masih sepuluh ribu rupiah untuk sebungkus berisi empat lembar. Akan tetapi, tidak semua orang mampu memiliki waktu luang dan juga uang lebih untuk sekadar membeli masker. Padahal, kini masker menjadi barang yang dianggap penting untuk dikenakan terutama ketika berada di luar rumah.
Tidak hanya soal masker, baik bapak penjaga parkir atau bapak sopir ojek daring, dua-duanya sama-sama masih harus bekerja di luar rumah. Ketika para pekerja kerah putih, termasuk saya sendiri, masih memiliki keleluasaan untuk tetap bekerja dari rumah, mereka tidak bisa mengikuti arus yang sama. Mereka masih bergantung kepada kehadiran langsung di lapangan untuk bisa disebut bekerja. Beberapa di antaranya malah membutuhkan kerumunan untuk mendapatkan rupiah yang lebih banyak. Beberapa juga diupah harian. Bayangkan jika mereka mengikuti arahan untuk berada di rumah, jangankan untuk membeli masker, bisa jadi mereka kesulitan untuk sekadar memenuhi kebutuhan harian.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pekerjaan di Indonesia masih didominasi sektor informal. Pada 2019, hanya 55,3 juta jiwa yang bekerja di sektor formal sementara terdapat 74 juta jiwa yang bekerja di sektor informal. Bapak penjaga parkir dan bapak sopir ojek daring yang saya temui adalah bagian dari 74 juta jiwa tersebut, bersama para pekerja lepas dan mereka yang mau tidak mau bekerja di sektor informal karena tidak memiliki pilihan lain yang lebih baik.
Kita tidak bisa semena-mena meminta semua orang untuk melakukan swakarantina karena tidak semua orang punya pilihan untuk melakukannya. Lagipula, siapa yang akan menjamin dapur mereka tetap mengepul jika tidak boleh berada di luar rumah? Saya sangsi negara bisa menjaminnya, walaupun sesungguhnya itu adalah kewajiban mereka. Mungkin hal yang bisa kita lakukan adalah membiarkan mereka bekerja sambil berharap kesehatan selalu melingkupi mereka.
“Né penting berdoa gén, bersyukur suba baanga sehat (Yang penting berdoa saja, bersyukur sudah diberikan kesehatan),” bapak penjaga parkir berseloroh kepada saya sambil tertawa. Saya ikut tersenyum. Betapa bagi sebagian orang, mempertanyakan keadaan, apalagi melawan, tidak pernah menjadi opsi. Pasalnya, ada hal-hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan; apakah uang mencukupi untuk makan besok, apakah anak-anak bisa minum susu. Maka doa pun menjadi cara terakhir yang bisa manusia lakukan setelah mengupayakan segala yang terbaik. Dan bagi saya itu bukanlah hal yang keliru. Justru kepasrahan seringkali bisa dianggap sebagai pengakuan atas ketidakberdayaan manusia atas hal-hal di luar kuasanya.
Bapak penjaga parkir, bapak sopir ojek daring, ibu penjual nasi jinggo langganan saya, dan banyak pekerja kerah biru lainnya tidak punya pilihan untuk bekerja dari rumah. Sungguh tidak bijak rasanya untuk tetap kukuh bepergian ketika kita memiliki pilihan yang tidak dimiliki banyak orang lain. Siapapun yang memiliki privilese tersebut, semoga kita bisa menggunakannya untuk mendesak adanya perubahan, terutama kepada negara yang kerap kali membuat kita geleng-geleng kepala. Menggalang donasi untuk penyediaan alat pelindung diri bagi mereka yang membutuhkan juga sedang gencar dilakukan oleh para seniman. Betapa warga akhirnya bahu membahu dalam menangani pandemi ini. Dengan begini, terlihat pula bagaimana negara sudah terlalu mengecewakan masyarakatnya.
“Nggih pak, dumogi setata kenak (Ya pak, semoga sehat selalu),” jawab saya pada bapak petugas parkir tersebut. Sepeda motor sudah saya hidupkan ketika ia mengatakan akan mencari dan mampir ke rumah orang tua saya di Sukasada, Buleleng. Dia mengaku masih bujangan. Sebisa mungkin saya tersenyum sopan lalu pamit. Terlepas dari apa yang ia janjikan di akhir percakapan, saya sungguh berharap ia senantiasa sehat walaupun tidak ada sehelai masker menutupi wajahnya.