Banyak bencana alam yang sangat aneh dan tergolong baru di dunia saat ini.
Akibatnya, manusia tidak mampu beradaptasi dengan cepat. Keselamatan manusia pun terancam. Gelombang panas hingga 49º C di India dan Pakistan telah menewaskan lebih dari 2.000 orang.
Bencana yang sama terjadi di Irak. Mereka harus menyatakan hari libur nasional selama 4 hari. Begitu juga nasib negara tetangganya yaitu Iran dengan suhu mencapai 74º C.
Tidak hanya itu, Myanmar juga sedang mengalami bencana banjir terbesar sepanjang sejarahnya. Para ahli berpendapat bahwa perubahan iklim adalah salah satu faktor utama penyebab bencana alam ini.
Perubahan iklim pada dasarnya merupakan peristiwa alam alami. Namun, akibat perbuatan manusia melepaskan sejumlah besar gas rumah kaca, salah satunya karbondioksida ke atmosfer, maka terjadi kenaikan rata-rata temperatur bumi yang tidak wajar atau Global Warming.
Gas rumah kaca secara alami penting untuk kehidupan di Bumi. Tanpa mereka, kita tidak dapat hidup karena Bumi akan menjadi terlalu dingin. Namun, jumlah mereka yang terlalu banyak dan peningkatan temperatur global membuat iklim menjadi tidak stabil. Kesehatan ekosistem global berada dalam bahaya hingga dapat mempengaruhi kepunahan yang akan terjadi lebih cepat.
Menurut Catherin Thomassan, Executive Director of Physicians for Social Responsibility, perubahan iklim adalah masalah utama dalam kesehatan global di abad 21 ini. Berbagai bencana akibat perubahan iklim tersebut menimbulkan kerentanan sosial, di antaranya ancaman kelaparan.
Bahaya kelaparan saat ini mengancam 800 juta penduduk dunia. Dari jumlah itu, 170 juta orang berusia di bawah lima tahun. Artinya, kini banyak kasus gizi buruk yang merusak harapan bagi generasi mendatang.
Internal Displacement Monitoring Center of Norwegian Refugee Council melaporkan lebih dari 19,3 juta orang di 100 negara terpaksa mengungsi pada tahun 2014 karena bencana alam, seperti banjir, badai dan gempa bumi. Badan Pengungsi Norwegia Internal Displacement Monitoring Center melaporkan rata-rata 22,5 juta orang mengungsi akibat bencana terkait iklim atau cuaca setiap tahun sejak tahun 2008.
Dari jumlah itu, 87 persen terdapat di Asia, yang merupakan tempat tinggal bagi 60 persen penduduk dunia. Termasuk Indonesia yang 78 persen bencana dipengaruhi oleh perubahan iklim.
Dody Sukadri, Penasihat Pembangunan Rendah Karbon Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) mengatakan, sekitar 75 hingga 80 persen dari total bencana di Indonesia, terjadi akibat dari efek perubahan iklim. Dampaknya ada dua, yaitu dampak langsung berupa banjir, kekeringan, longsor, dan kenaikan muka air laut. Sementara dampak tidak langsung misalnya kerusakan infrastruktur, produktivitas menurun, dan peningkatan penyakit.
Perubahan iklim telah terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia, antara lain DKI, Pantura Pulau Jawa (Tegal, Pekalongan, Semarang), sebagian wilayah Jawa Timur, dan Nusa Tenggara. Deputi Bidang Klimatologi BMKG Widodo Sulistyo mengatakan hingga September mendatang, sebagian wilayah Indonesia diperkirakan akan dilanda kekeringan berkepanjangan.
Ketidakpastian alam menjadi semakin tinggi berpotensi mengancam keamanan pangan Indonesia yang sebagai negara agraris.
Dampak dari El Nino yaitu naiknya suhu permukaan air laut sehingga angin yang bertiup tidak membawa uap air menyebabkan sebagian wilayah Indonesia mengalami kekeringan. Fenomena El Nino yang telah mencapai level moderate ini telah menyerang sekitar 50 persen wilayah di Indonesia hingga membuat kota Bogor sebagai kota hujan tak luput dari kekeringan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sedikitnya 16 provinsi yang meliputi 102 kabupaten-kota dan 721 kecamatan di Indonesia mengalami kekeringan sejak Mei 2015. Kekeringan tersebut juga berdampak pada 300.000 hektar sawah. Diperkirakan 60.000 hektare atau 20 persennya mengalami gagal panen.
Dalam bidang kehutanan El Nino menyebabkan kebakaran hutan dan lahan gambut seluas 1.264,75 hektar di Riau. Menurut dinas kesehatan Provinsi Riau menyebabkan sedikitya 3.373 warga menderita penyakit akibat polusi asap kebakaran.
Selain gelombang El Nino, Indonesia mengalami bencana aneh yang sangat jarang terjadi dalam sejarah yaitu hujan es.
Medan pada akhir Juli lalu sekitar pukul 13.30 WIB mengalami hujan es selama sekitar 30 menit. Setelah itu giliran Aceh juga dilanda hujan es di dua desa di Kecamatan Kuta Cot Glie, Kabupaten Aceh Besar pada Minggu awal Agustus lalu.
Sebelumnya hujan es juga terjadi di Papua pada 3 sampai 5 Juli 2015. Hujan ini melanda 21 desa dan enam kecamatan dan tiga kabupaten. Suhu yang mencapai -2º C mengakibatkan 11 warga meninggal. Sedikitnya 20.160 keluarga mengalami kelaparan karena tanaman pertanian mengalami kekeringan dan pembusukan.
Tidak sedikit warga dikabarkan terkena diare karena memakan makanan pertanian yang terkena hujan es tersebut. Kondisi ini diperburuk karena cuaca yang tidak mendukung untuk menyalurkan bantuan makanan dan kebutuhan pokok lainnya lewat udara. Jika menggunakan jalur darat yaitu jalan kaki akan menempuh waktu 10 hari lamanya.
Cukup jelas bahwa perubahan iklim sangat mempengaruhi keselamatan umat manusia. Iklim seakan tidak pandang bulu. Di mana saja ia akan bertindak. Negara kaya menengah dan miskin sekalipun akan terkena dampaknya. Isu perubahan iklim bukan merupakan isu dalam sektor lingkungan saja melainkan isu semua sektor. Sangat diharapkan pemimpin dunia mengetahui bencana yang mengancam umat manusia.
Conference of the Parties (COP) adalah otoritas tertinggi dalam Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (UNFCC). COP adalah sebuah pertemuan dunia yang dapat menjadi wadah untuk melakukan perubahan besar dibidang lingkungan. Tujuan utama pembentukan konvensi perubahan iklim tersebut adalah mengurangi emisi gas rumah kaca untuk menjaga iklim dunia.
Pada tahun 2015 pertemuan ke-21 akan diadakan di kota Paris November mendatang. Melalui COP 21 Paris, semoga terwujudnya komitmen dunia menjadikan isu perubahan iklim adalah masalah utama yang harus diatasi demi keselamatan umat di dunia.
Jangan biarkan masyarakat Papua belajar dengan cara keras apa artinya keterlambatan terhadap penanganan masalah emisi bahan bakar fosil. Mungkin mereka akan menjadi lebih siap dan kuat untuk beradaptasi. Namun mereka akan terkejut jika melihat pertemuan rutin tahunan terus dilakukan tak lebih hanya sekadar seremonial yang tidak membuat hasil berarti bagi umat manusia.
Perubahan iklim terus berjalan dengan ganas karena mereka tak mampu mempertanggung jawabkan dosa yang membuat nyawa umat manusia terancam.
“Lakukan perubahan sejak dini karena bencana perubahan iklim bukan hal yang pantas untuk diwariskan.”