Dia datang terlambat ketika aku datang tepat waktu.
Kami berjanji di UPNORMAL Renon pukul 09.00 pagi. Ketika kutelpon pada pukul 09.30, katanya, dia baru meluncur. Entah dari mana dengan cara apa. Aku mengurut dada, bukan karena apa. Aku juga pernah berlaku yang sama kepadanya. Terlambat 38 menit di tempat yang sama. Impaslah.
Dia teman kerjaku. Namanya Komang. Lelaki yang lebih muda 15 tahun dari umurku. Lalu dia datang dan kami tancap gas ke Klungkung ke arah Banjarangkan sana. Hari ini dengan misi mulia, menuntaskan permasalahan air minum yang tak tuntas tuntas juga. Ada mesin pompa yang tak berfungsi mengangkat air untuk didistribusikan. Orang-orang yang mau menuntaskan hal itu adalah orang yang sama juga. Kami-kami juga.
Tepat terlambat 15 menit dari janji, kami sampai juga. Basa-basi khas, sebab sudah ada satu pihak di sana lengkap dengan seragam rapi dan topi safety pihak PLN.
“Sudah lama, Bli?” tanya kami yang dijawab baru sebentar.
Waktu berlalu, tiga pihak dari empat pihak sudah hadir di sini. Kami menjadi pihak yang datang kedua sebagai orang yang memfasilitasi. Ada juga pihak desa selaku yang punya jaringan air minum. Namun, pihak paling penting belum datang, mereka tukang pompa. Tak ada loe tak selesai, seperti tagline rokok sempurna hijau tua.
Lalu kita menunggu. Waktu tidak. Dia tetap berjalan.tak pernah kembali. Sejam, dua jam, telepon lagi, gak diangkat, pesan WhatsApp penuh dituliskan, menelpon teman tukang pompa dan diangkat, lalu rada ngancem, di oke kan, temanya janji menyampaikan, akhirnya tulisan di WhatsApp. “Prepare… persiapan berangkat”
Hellowww Kadek ferguso!!!! 3 jam menunggu masih prepare persiapan . Temanku ini sudah sedikit belingsatan, aku tak merasa nyaman dengan dua pihak lagi, yang sama-sama perannya.
Akhirnya kita putuskan untuk mengisi waktu menunggu. Mereka melanjutkan kerja ke desa lain, kami melanjutkan waktu ngopi-ngopi di depan balai banjar.
Eits. Ternyata ada tukang tipat cantok. Jadilah kami ngopi dengan tipat cantok dan es teh sedang (sebab tidak manis tapi pake gula, Dadong penjualnya). Kegiatan ini sangat berhasil membuat kita betah dan tak jengkel menunggu. Tapi waktu terus berlalu.
Tadi siang di dekat warung Upnormal Renon, aku bayangkan pekerjaan ini hanya memakan waktu 4 jam paling lama berikut bolak baliknya. Mungkin temanku lebih ekstrem, dia membayangkan pekerjaan ini selesai 2 jam sudah ada di Denpasar lagi. Tapi tanpa solusi.
Ini pukul 1 siang tepat nya, saat makan siang notice WA dari yang ditunggu tunggu muncul. “Komang, kami sudah di lokasi, menuju ke sungai”. Temanku bergegas semangat dan aku melambat setelah dua piring kecil tipat tandas tak bersisa. Kekenyangan.
Walau kami bertemu, tak sempat meluapkan kesal dan sumpah-serapah yang direncanakan dalam pikiran sebab mereka langsung bergegas menyiapkan peralatan. Bergegas turun ke arah tangga ditebing, cepat dan ligat. Sumpah-serapah yang ku rencanakan hanya berdiam di kepala. Serapah itu harusnya berbunyi, “Bangke”.
Aku berbagi peran dengan lambat. Menempatkan posisi paling aman dan nyaman. Berada di atas tak ikut turun. Gagah memegang handy talky HT (layak securiti club’ siang). Aku telah menghitung, ini akan menjadi runyam. Menelpon pihak PLN dan pihak desa. Menelpon perbekel desa, mengabarkan bahwasanya akan dimulai pengamatan perbaikan pompa di sungai ini.
Aku sudah berkalkulasi, menghitung akan pulang jam 5 sore dari kedatangan kita jam 10 pagi. Tak mengapalah. Beres-beres sampai Denpasar nanti dan aku akan cus ke Gianyar lagi mengantar faceshield kepada si Ratna yang akan membagikan ke Puskesmas Puskesmas pembantu di Gianyar.
“Kuda satu kuda satu monitor… Ganti… ” HT kukeraskan.
“Ya monyet dua monitor.. Ganti.. Tolong hidupkan… Matikan…. Hidupkan lagi.. Tahan… Jepit… Tahan… No no no.. Matikan, eh, hidupkan.. Woi Kuda satu kuda satu monitor 86 ganti,” begitu saut-sautan dari bawah sungai sana. WhatsApp tak berguna di sini. “Monitor monyet dua.. Ganti”.
Lalu hujan turun dengan derasnya di sini. “Sudah hampir seminggu,” ujar perbekel. Sementara mereka masih di bawah sana, tanpa jas hujan. Saya berteduh dengan perbekel di kandang ternak ayam terdekat. Pegawai PLN berteduh di mobil. Hanya kami penghuninya bersama satu dua tikus. Mungkin ayamnya sudah dijual sebab harga sedang mahal.
Saat hujan kalkulasi waktuku berubah. Ini bakalan lama. Tugas antar faceshield akan mundur. Apa kata teman-temanku nanti yang sudah berjanji mengantarnya? Aku sudah iya kan. Tapi bagaimana juga dengan temanku yang sedang berada di bawah, yang kehujanan tanpa tempat berteduh mereka akan kuyup. Ah. Serba salah hati ini.
Astungkara, Yang Maha Kuasa selalu bersama kita yang berdoa. Solusi itu terlihat, kabar dari bawah pompa menyala baik. Kabar dari banjar mengabarkan air sudah mengalir. Masalah bisa dipecahkan dengan bekerja sama. Dengan keahlian dan porsi masing-masing serta riang mencari solusi daripada memperlebar jidat masalah. Sore ini kami buktikan. Kekuatan dari bekerja sama. Akhirnya saat hujan mulai reda, permasalahan itu selesai.
Tapi belum. Kita mesti menguji dengan waktu lagi, apakah solusi itu masih berfungsi dan bertahan. Lalu verifikasi, cek dan ricek. Oke sesuai. Maka timbul kepuasan dari kerja keras, kerja keringat dan kerja cerdas serta kerja hati. Sangkin senangnya temanku berteriak seperti penyiar TV yang sedang live Instagram.
Saatnya berpisah. Berterima kasih. Jabat tangan ala Covid 19. Dan tidak lupa menggedor pintu seoarang kepala dusun, membongkar dapurnya. Menyantap apa saja seperti rumah sendiri. Sate, telur balado bumbu bali, sambal goreng, sambal matah, ikan kont…eh kon..eh tongkol dan udang renyah.
Ternyata teman-teman kerjaku sudah ada di sana juga. Saat makan sudah jam 6 tepatnya. Sedikit bercengkrama dan saling menyalah-nyalahkan penuh drama. Tertawa tawa di tengah gaji yang tak kunjung mengisi rekening, tak ada bunyi SMS banking. Apa lagi yang lebih membahagiakan? Temanku yang kuyup hujan, basah bersisa sedikit kering di lengan bajunya dan sangat lelah naik turun sungai. Mengangkat peralatan dan tas sementara aku kering.
Tepat pada akhir makan, ada telepon masuk dari koordinator program Solidaritas Pangan Bali, gerakan yang kami berada di dalamnya. Menginisiasi dapur berbagi. Menyiapkan nasi bungkus dan mendistribusikanya.
***
Bergerak dan Tumbuh
Kini dapur kami sudah dua puluh dan berada di seantero Bali. Kami bergerak lalu tumbuh, berkolaborasi dengan siapa saja yang sevisi. Berbagi dengan saudara di tengah Covid-19 ini. Semboyan kami memasak dengan gembira dan berbagi dengan ceria. Kami bukan lembaga dengan struktur semua bergerak dengan koordinasi yang rapi.
Dapur mempunyai inisiatif, memasak apa, dan memasak berapa. Tanpa memaksakan harus setara restoran bintang 5 atau menghindari rasa kaki 5.
Semua tumbuh dari personal-personal yang ada di dapur. Umumnya keluarga. Ada juga dapur personal jomblo yang selalu konsisten menyajikan 10 bungkus nasi hingga hari ini. Dapur Panjer II namanya. Konsisten menggunakan kertas kotak sebagai pembungkus nasinya. Ia anti plastik. Dia baru membuka warung di Panjer sebulan sebelum kasus positif Covid-19 pertama diumumkan. Dapurnya nyaris tak ada pembeli, lalu dia berbalik, menghidupkan kompornya dan mengusahakan keahliannya memasak untuk berbagi.
Ada lagi dapur Jimbaran, dia adalah teman Playstation seorang teman relawan Solidaritas Pangan. Dia bersemangat membuka dapur setelah warungnya di Kampial sana tutup. Dia memasak di depan kos di jalan menuju Universitas Udayana. Sering banjir jika hujan. Bli Putu namanya, dengan semangat berapi api adalah ahli bumbu Bali.
Ada dapur 7 Kuta. Keluarga Bu Eeng yang mengajukan diri menjadi dapur berbagi wilayah Kuta sebab melihat saudaranya di dapur Dalung Kwanji sana yang setiap hari memasak untuk berbagi.
Ada dapur 4 Dalung Kwanji, yang menunda membangun rumah sebab corona. Keluarga dengan 2 anak adalah pensiunan kerja perhotelan. Pak Nyoman namanya. Walau bapak di rumah joglo ini sedang dalam kondisi sakit, tak menyurutkan langkah berbagi. Kami pernah datang menjelaskan bagaimana dapur Solidaritas Pangan Bali. Lalu mereka sambut dengan tangan terbuka, memastikan mereka menjadi dapur baru Solidaritas Pangan Bali.
Dan ada dapur 2 Sesetan, Ceningan Sari. Dapur di mana jalan pembuka dan optimisme awal ada. Keluarga Pak Cristian Mandela yang asli Alor menikah dengan wanita Jawa timur Ibu Yohana, lalu mempunyai dua anak. Yang lelaki sedang S2 di Jogja tertahan pulang sebab Covid-19, sementara yg kecil bernama Treza. Sulit dieja dengan lidah gorengan ote-ote.
Treza ini sekarang menjadi koordinator dapur di Solidaritas Pangan Bali. Ia pernah jatuh sakit dan di rawat di RS Swasta di Sesetan sana. Sebabnya, dia terlalu lelah dan berhujan hujan ketika distribusi nasi.
“Kita mulai dari keluarga kita, tak usah menuntut siapa pun untuk ikut,” itu kalimat ibu Yohana awal dapur 2 ini berdiri. Sekarang semua ibu-ibu tetangga selalu membantu memasak. Mesti capek, mereka sangat bergembira.
Ada dapur Pemecutan Mba Rhinie dengan ciri nasi peyek yang di bungkus rapi. Dalam seminggu dia memasak 3 kali. Tak peduli hujan, ia tetap jalan. Prinsipnya hujan-hujan manusia lebih butuh makan.
Ada juga dapur yang diinisiasi mahasiswa-mahasiswa di Singaraja. Meski tak selalu bisa memasak rutin. Mereka memiliki semangat luar biasa. Mengerjakan dengan penuh hati dan keceriaan.
Ada dapur kasih di jalan Nusa Indah. Dapur yang berbagi on the spot di samping Indomaret dan seberang Pom Bensin Nusa Indah. Tak butuh lama, nasi ini akan ludes dalam 30 menit. Masyarakat sana sudah familiar jadwal kerja berbagi. Ibu Maria kordinatornya. Dia pengusaha sebenarnya, enterpreneur pagar beton dan usaha-usaha lain.
Dapur Wok with Yung ini lain lagi. Dia menyediakan meja di samping rumahnya di sekitar pertigaan Jl Kerta Petasikan sana. Orang tidak malu mengambil. Hanya ada tulisan “Nasi Gratis, maksimal 2 bungkus 1 orang”. Jika habis, ia isi lagi. Tanpa penjagaan. Jika ambil 3 bungkus juga tak ada yang tahu.
Ada dapur Panjer 1, rumah sahabat kami Kojeng dan istrinya, Dian. Dapur ini kerap berbagi roti, sebab memiliki oven besar. Oven profesional. Walau tak setiap hari, ada saja hal lucu yang disampaikan teman kami ini.
Dapur nasi bungkus tetangga @NBT, gerakan berbagi nasi dari artis Indah Kalalo dan temannya. Awalnya untuk tetangga sekitar, kini sudah menjadi episentrum berbagi nasi di sekitar Badung. Ratusan bungkus mereka masak dan bagi setiap Senin, Rabu, dan Jumat. Depan rumahnya kini jadi macet, syukurlah sudah dibantu pecalang untuk kemudahan lalu-lintasnya.
Si misterius dapur Gianyar di Gang Texas, inisiatornya Ratna. Dapur yang cuma mau menghubungi satu dari kami melalui WA. Menyampaikan apa yang dia masak, kemana dia berbagi. Unik menunya, bubur moreng, bandrek jahe, sop ayam hangat, donat baby (baca bebi), jamu kunyit dan akhir-akhir ini nasi kuning.
Ada dapur Zoe and Zade yang selalu berbagi nasi enak. Ada juga dapur Tabanan yang pecah telor memasak dari beberapa aral melintang. Dan dapur Muda Jimbaran 2, mba Anisa yang pertama belum pede dengan masakan nya.
Dan tentunya dapur 1 Renon Mandalasari 8 D Gang Buntu. Dapur tempat nongkrong sebenarnya, tempat di mana awal rasa berbagi diasah sebagai rasa bersama.
Seperti bayi, dia lahir dan beranjak balita, anak-anak dan remaja, pemuda, berkeluarga, tua dan masuk surga. Tidak selalu mulus dalam tiap fasenya, namun saling mengisi, saling mengerti, menyemangati, menginspirasi dengan langkah gembira membuat gerakan ini masih berjalan.
Ini maraton, yang mempunyai titik akhir. Namun belum tampak garis finis. Kita akan berusaha ke sana. Bersama-sama. Sampai kapan? Tak tahu, hari ini kita masih berbagi. Ada orang orang baik di dunia ini, ada orang orang jahat di dunia ini. Namun, berbagi bukan masalah baik dan jahat, masalah kaya dan miskin. Berbagi merupakan semangat menanggapi situasi keadaan dan kemanusiaan.
**
Sesari Kecil
“Bang.. ada temanya Utai yang sedang kesusahan makan sudah dua hari. Bisa anter sembako, Bang?” tanya koordinator program melalui telepon dari seberang. Waktu sudah menjelang gelap, dan ceria kami belum berakhir. Aku ber boncengan dengan teman kerjaku yang jauh lebih muda. Lalu aku menanyakan, apakah dia mau singgah mengantar faceshield ke Gang Texas Gianyar dan mengantar sembako ke Batubulan. Berat menanyakan hal itu sebab mengetahui ia pasti lelah.
“Gas, Bang” katanya. Lalu kupastikan bertanya kembali, apakah dia sudah menghubungi istrinya di rumah akan telat pulang.
“Gas, Bang. Sudah,” jawabnya singkat.
Dengan gagah kami melaju di atas roda N-max keluaran tahun lalu. Berbincang di atas motor kadang suaranya terbawa angin.
Lalu kami sampai di Gianyar, bertanya ke Mbak Google di mana jalan Dalem Rai Gang Texas. Google terbukti benar.. “Anda sudah sampai, ngoyong ia jumah,” katanya. Google sampai tahu si Ratna di rumah.
Seorang perempuan baru keramas melepaskan handuk dari rambutnya. Kami mengenalkan diri, “Kami dari Solidaritas Pangan Bali, ingin menyumbangkan lagu dan memberi titipan Face Shield untuk dibagikan”.
Ia langsung tersentak, seperti bangun dari lamunan. Seolah SPB adalah kata sakti, lalu begitu saja, kami di sambut ramah. Ditawari bermacam-macam. Dari mulai makan, kopi, kripik, potong rambut dan nginap di bale-bale rumahnya. Yang benar hanya ditawari makan, lainya pemanis tulisan.
Kami menolak halus dengan bahasa halus. “Nggih, tiang wenten karya mangkin.” Kami pamit mengepalkan tangan kiri ke udara. (Ini benar terjadi, entah untuk apa).
Tinggal satu lagi tanggung jawab hari ini. Membeli dan mengantar sembako. Lalu kami cus dari Gianyar menuju ke Batubulan. Di sepanjang jalan kami banyak berbincang. Mengenai apa saja. Banyakan mengenai bantuan sembako. Pertanyaannya bagaimana kalau si yang kita rencanakan diberi sembako, ternyata bohong atau tidak tepat sasaran tapi menerimanya?
Di Solidaritas Pangan Bali, kita memiliki verifikasi internal. Pertama adalah orang yang memang mengontak via nomor dan pesan WA dan Facebook. Bahwa dia mengatakan dia membutuhkan sembako dengan narasi macem-macem. Kebanyakan narasi orang yang membutuhkan di pesan singkat, narasinya tak teratur struktur kata dan kalimatnya. Ini berdasarkan pengalaman.
Tidak sampai di situ, kadang kita verifikasi medsos-nya, profile-nya. Banyak yang berada di atas pesawat pribadi foto profile-nya tapi dengan aplikasi editing. Satu dua foto akan menunjukan mereka siapa di tengah Covid-19 ini.
Tingkat selanjutnya biasanya datang dari rekomendasi teman-teman, tentang temannya yang memang dalam kesulitan. Atau yang terakhir kita biasanya menjumpai on the spot yang akan kita salurkan sembako dari donatur-donatur. Seperti ke tempat orang mengungsi dan mba-mba penghuni wisma di Padang Galak sekitar. Begitu cara kerjanya.
Bagaimana jika salah? Anggap saja sebagai rezeki. Kita sebagai perantaranya, bahwa ia mendapat rejeki sebesar jumlah sembako. Itu masih batas adil.
“Bagaimana, Mang?” tanyaku pada temanku lagi. Memastikan dia menyerah untuk mengantar sembako dan tanggung jawab hari ini mundur esok. Toh masih bisa. Jam 20.30 sudah. Tak ada warung dan supermarket buka lebar di Batubulan. Semua beranjak tutup. Sembako belum dibeli. Kemana kita? ATM tutup, duit di tangan puput. Ada alasan logis besar membatalkan tanggung jawab dan menggesernya besok.
“Singgah ke warung Adi aja, Bang,” jawabnya penuh ide cemerlang. Kepalanya seperti mengeluarkan bintang-bintang. Adi teman kerja kami tinggal di Batubulan, di samping rumahnya ada warung kelontong yang sangat dikenalnya.
Dia memaksa , setelah sebelumnya aku ogah-ogahan. Kami sampai, tanpa basa-basi dan hanya di sediakan Yakult 2 botol per orang. Kami sampaikan niat pasrah kami. Mohon Adi bisa mengutang di warung samping dengan perincian: 3 kg beras, 10 butir telur, 1 liter minyak, dan 5 bungkus mie instan.Item terakhir ini penuh perdebatan, apakah goreng atau kuah. Panjang jika diceritakan.
Kami mengutang Rp 72.000 ke warung tetangganya Adi. Lalu berangkat dengan riang gembira. Berjanji di depan Holand Bakery Batubulan. Kami menunggu agak lama. Lalu mengontak watsapps, tak aktif, lalu menelpon pulsa, yang dijawab bahwa ia sedang menuju ke lokasi kami.
Agak lama ia baru datang. Dia berbaju hitam celana jeans. Wajahnya tampak lemas, suaranya berat. Saya paham gejala-gejala seperti ini. Pernah saya alami masa kuliah dulu. Ciri utama, keringat mengalir di punggung dan dahi sebesar biji jagung. Napas berat. Obat sementara, air putih yang banyak. Kalau ada gula lebih bagus.
“Terima kasih, Mas” katanya saat temanku menyodorkan bungkusan sembako titipan itu.
“Saya sudah dua minggu tak bekerja,” katanya. Lalu aku cut, sebab terasa akan menjadi sedih. Bener. Aku hanya bilang terimakasih juga. Temanku juga tertegun. Kami pamit sembari meminta satu dua dokumentasi, yang entah kenapa canggung aku lakukan.
Saat motor N-Max berlalu, aku masih melihatnya berjalan di temaram lampu jalan. Tangan kanannya menenteng plastik sembako tadi. Sementara tangan kirinya menyilang ke tangan kanan nya membuat bentuk angka 4. Ia gontai matanya memandangi trotoar.
“Ada rasa kepuasan jika membantu orang ya, Bang,” kata temanku. Aku iya kan saja agar cepat. Lamunanku masih sama, mengingat persis cara mas yang tadi berlalu di jalan temaram itu. Tak hirau aku lagi apa kata temanku.
“Mana jalan ke Renon, Bang? “Kata temanku keras bercampur ludah, memekakkan telinga. “Kanan, kiri,” kataku. Dia masih saja tak hapal jalan cepat ke Renon, padahal kulit ari-arinya di kubur di Jalan Ahmad Yani Denpasar.
Masih dia bertanya, “Bagaimana bisa dapur dapur Solidaritas Pangan Bali memasak setiap har?” . Kujawab singkat, mereka memasak dengan gembira, berbagi dengan ceria. Mereka bergerak lalu tumbuh dari keinginan mereka sendiri. Lalu dia mangut manggut seolah paham.
“Bagaimana kalau aku kelebihan masak dan aku sumbangkan, ada batasannya?” katanya lagi. Cerewet sekali anak ini. “Ya. untuk tetangga sekitar” katanya lagi menjawab diri sendiri.Untunglah kami sampai. Pembicaraan stop sampai disana.
Oh ya. Saudara yang kami beri sembako tadi, bernama Ari. Dia bekerja di penjual martabak yang sudah tutup dua minggu lalu. Beberapa bulan lalu dia mempunyai motor bekas yang sudah dia jual. Membiayai hidup. Kini dia tak begitu pintar dan tau menghadapi situasi ini. Tapi dia cukup kuat menahan lapar berhari hari. Dia kos di Batubulan belakang Holland Bakery.
Dan, terima kasih untuk temanku yang mempunyai semangat ngotot sejak pagi, menuruni sungai, menaiki tebing, kehujanan lebat, tersesat mencari alamat, dan pulang larut. Semoga yang diinginkan terkabul. Sesari kecil. Dan Adi tempat menghutang sembako di warung sebelah. [b]
“Kita boleh berjaga jarak dalam covid 19,tapi kita tidak boleh berjarak dalam hal kemanusian”
salam solidaritas untuk kemanusiaan
Semangat Kawan kawan solidaritas pangan bali