Bagi banyak orang, emas dan perak adalah simbol kemewahan.
Sejak ratusan tahun silam, emas dan perak sudah menjadi bagian dari symbol status sosial dan ekonomi orang Indonesia. Benda-benda kuno seperti patung, perhiasan, maupun sarana upacara yang terbuat dari emas atau perak adalah buktinya. Perhiasan tak hanya sebagai simbol status sosial dan kemewahan tapi juga media spiritual. Hingga saat ini, kedua bahan perhiasan tersebut, emas dan perak, masih menjadi simbol status kemewahan dan kemakmuran.
Meskipun tidak memiliki sumber daya perak dan emas, Bali merupakan salah satu pusat produsen perhiasan tersebut di Indonesia. Tangan-tangan berbakat dan bercita rasa seni tinggi melahirkan perhiasan-perhiasan eksotis dari pulau ini, terutama di Gianyar, kabupaten di timur Denpasar, ibu kota Provinsi Bali. Gianyar terkenal sebagai pusat karya seni, tak hanya dalam bentuk benda tapi juga pertunjukan seperti tari-tarian.
Persis di pintu masuk Kabupaten Gianyar setelah melewati perbatasan dengan Kota Denpasar, terdapat patung besar di kanan jalan. Patung tiga dewi dengan semacam narasi lewat figur manusia, babi, dan lain-lain itu menjadi sambutan dari UC Silver, perusahaan perhiasan lokal yang kini menjadi nama tersendiri di kalangan pecinta simbol kemakmuran dan kemewahan tersebut.
Tiap hari, ratusan turis dan pecinta perhiasan, terutama dari Eropa, Australia, dan Amerika datang melihat koleksi-koleksi UC Silver. Di tempat ini tak hanya ada galeri tapi juga kantor dan bengkel untuk membuat perhiasan-perhiasan tersebut. Pecinta perhiasan tak hanya bisa melihat atau membeli produk hasil kreasi UC Silver tapi juga tangan-tangan terampil yang membuat perhiasan itu.
Perusahaan perak ini berawal dari kerja keras empat bersaudara yaitu I Wayan Sutedja, I Made Dharmawan, I Nyoman Eriawan, dan I Ketut Sudiarsana. Empat bersaudara ini tinggal dan besar di Tampaksiring, Gianyar di tengah keluarga petani.
Hidup keras sebagai anak petani, seperti dikatakan Sutedja, menempa mereka menjadi orang-orang yang harus kreatif. Sutedja di usia muda, misalnya, pernah merantau ke Aceh dan Surabaya untuk bekerja. Namun, dia kemudian kembali ke Bali dan merintis usaha perak bersama saudara-saudaranya.
Mereka membagi tanggung jawab di antara mereka. Sutedja, yang paling tua, di bagian marketing. Anak kedua, Dharmawan, mengurus produksi. Anak ketiga, Eriawan yang juga sarjana teknik kimia di bagian pengembangan desain, sedangkan Sudiarsana di bagian keuangan.
Hingga saat ini, empat pilar ini pula yang membuat UC Silver berkembang dan menjadi salah satu pemain penting dalam bisnis perak di Bali.
Menurut Sutedja, empat bersaudara ini menggunakan empat pilar lain dalam menjalankan dan mengembangkan bisnis mereka. Empat pilar tersebut adalah ikut menjaga dan melestarikan kebudayaan yang diwariskan kepada mereka, sistem kekeluargaan yang bersifat menyatukan kebersamaan, keberanian dalam mengambil inisiatif, serta selalu berusaha memberikan kebahagiaan dan cinta kepada orang lain.
“Konsep kami satu untuk semua, semua untuk satu,” kata Sutedja ketika ditemui di kantornya.
Pojok Jalan
Pemilik UC Silver memulai usaha ini sejak 1989. Berawal dari bengkel kecil di rumah kontrakan di Denpasar, empat bersaudara ini lalu membuka toko kecil di pojok jalan di Ubud yang menjadi asal usul namanya, Ubud Corner Silver atau UC Silver. Setelah sempat jatuh bangun, terutama ketika terjadi bom Bali pada tahun 2002 dan 2005, UC Silver terus berkembang maju.
Sejak tahun 2005, mereka membuka galeri dan bengkel di Batubulan, Gianyar, di lahan seluas kira-kira 5.000 meter persegi. Galeri mereka tersebar tak hanya di Bali tapi juga di Bangkok dan China. Produk mereka terjual hingga Singapura, Australia, China, Amerika Serikat, dan Eropa. China adalah negara dengan tujuan penjualan terbanyak.
Produk mereka terdiri dari 70 persen perak dan 30 persen emas. Secara umum, produk-produk UC Silver berupa benda perhiasan seperti anting-anting, kalung, gelang, dan semacamnya serta benda-benda dekorasi dengan bentuk antara lain naga, sendok, garpu, patung, dan lain-lain. Eriawan yang juga memiliki passion di bidang seni dan desain membuat produk-produk tersebut dalam aneka bentuk yang eksotis.
Pada awal berdirinya, desain-desain UC Silver terinspirasi dari perhiasan, ukiran, upakara, dan pernik-pernik lain yang ada di pura. Mereka juga terinspirasi dari perhiasan-perhiasan nenek moyang. “Nenek moyang kita memiliki karya-karya luar biasa yang bisa kita tiru dan adaptasi bentuknya. Kita harus melestarikan itu,” ujar Sutedja.
Kini, desain-desain perhiasan UC Silver lahir dari alam. Bentuk anting, sebagai contoh, bisa saja terinspirasi dari lembut lekuk padi yang merunduk. Atau desain gelang yang serupa kokohnya pohon bamboo. Atau mata kalung biru yang lahir dari tenangnya samudera. “Desain-desain kami lahir dari alam,” kata Sutedja yang hingga saat ini masih menjadi Marketing Manager UC Silver.
Tak hanya eksotis, desain-desain perhiasan tersebut juga ada yang terinspirasi dari motif anyaman, gotik, hingga tata surya.
Desain-desain eksotis tersebut dibuat oleh sekitar 300 karyawan yang bekerja di bengkel mereka. Pembeli tak hanya bisa melihat bagaimana hasil akhir benda-benda perhiasan dan aksesoris tersebut tapi juga bagaimana pembuatannya. Tiap orang bebas berkunjung dan melihat proses tersebut.
Galeri mereka di Batubulan, dengan patung-patung tentang mitologi Bali di depannya, menjadi tempat memamerkan produk-produk tersebut. Ada misalnya cincin, kalung, gelang, dasi, mahkota, dan lain-lain. Produk-produk tersebut dijual dengan harga beragam dari puluhan ribu sampai ratusan juta per satuan. Cincin perak misalnya ada yang kisaran Rp 50.000. Namun, ada kalung berhias mutiara yang harganya sampai Rp 110 juta!
Jatuh Cinta
Eksotisme perhiasan UC Silver, menurut Shop Manager Purnama, merupakan hasil kerja keras Eriawan sarjana teknik kimia yang justru jatuh cinta pada desain dan seni. UC Silver menggunakan bahan-bahan perak dengan kualitas di atas standar, 93-96 persen, dari standar internasional 92,5 persen. Desain-desain UC Silver juga unik, seperti slogan mereka I’m Unique. Eksotisme produk-produk UC Silver juga disimbolkan melalui ikon kebanggan mereka, capung.
Kenapa capung? “Karena ini serangga eksotis dan mengandung filosofis,” ujar Sutedja. Dia kemudian menceritakan bagaimana capung menjadi sahabat bagi empat bersaudara ini sejak kecil. Mereka biasa bermain di sawah untuk berburu dan bermain dengan serangga ini.
Capung, menurut Sutedja, adalah sahabat petani. Petani akan senang jika di sawah mereka banyak capung karena itu berarti sawah mereka subur dan bersih. Capung serangga yang bisa hidup di tiga matra yaitu air, darat, dan udara. Ketiganya harus bersih. Karena itu capung adalah juga lambang kesuburan dan kemakmuran. Capung hewan yang tradisional dan rela berkorban. “Pada saat musim paceklik, capung bisa dimakan karena sumber protein tinggi,” Sutedja menambahkan.
Kini, sebagai pengembangan bisnis, UC Silver juga punya hotel di Kuta bernama Kuta Angel Hotel. Hotel ini berada di kawasan presitisius kuta, Jalan Pantai Kuta berderet dengan hotel-hotel ternama seperti Mercure, Hard Rock Hotel, Stones, dan lain-lain.
Adapun di Batubulan, saat ini UC Silver juga sedang membangun museum yang diklaim Sutedja akan menjadi museum perhiasan pertama di Indonesia. Ruang museum sedang dalam pengerjaan dan diperkirakan akan selesai dua tahun lagi, 2015. Di museum itu, Sutedja dan saudara-saudaranya akan memamerkan aneka perhiasan tak hanya dari Bali tapi juga daerah-daerah lain di Indonesia. “Kami ingin agar anak cucu kita bisa belajar betapa kayanya Negara ini dengan aneka rupa perhiasan di daerah masing-masing,” tambahnya. [b]
“Kami ingin agar anak cucu kita bisa belajar betapa kayanya Negara ini dengan aneka rupa perhiasan di daerah masing-masing,”
benar, agar mancanegara semakin senang untuk datang ke Pulau Dewata….