Saat ini, pariwisata merupakan penggerak utama ekonomi Bali.
Pertanian yang semula sumber pendapatan utama pun makin tergantikan oleh pariwisata. Pelan-pelan, pertanian makin terpinggirkan. Sawah dialihfungsikan untuk fasilitas pariwisata, petani beralih jadi buruh pariwisata.
Lingkungan dieksploitasi atas nama pariwisata.
Di balik pesonanya, pariwisata juga melahirkan masalah di Bali. Karena itu, muncul pertanyaan besar. “Apakah Bali untuk pariwisata atau pariwisata untuk Bali?”
Maka, muncul ide untuk mengembangkan pariwisata kerakyatan, pariwisata budaya, dan seterusnya yang semangatnya adalah untuk memberi tempat pada yang selama ini agak terpinggirkan. Pariwisata berbasis lingkungan, misalnya, menitikberatkan pada perlunya pelestarian lingkungan. Ekowisata, contohnya, tidak harus mengubah petani jadi buruh pariwisata. Dan seterusnya..
Dalam konteks pariwisata alternatif itu, buku Ekowosata Kerakyatan, Memiliki Kembali Bali, terbitan Yayasan Wisnu ini menarik dibaca. Buku ini memberikan alternatif tentang model pariwisata yang peduli pada rakyat. Ya, meskipun sekitar tiga perempat isinya adalah profil empat desa binaan Yayasan Wisnu, bukan tentang ekowisata itu sendiri.
Buku ini dibuat berdasarkan pengalaman Yayasan Wisnu, lembaga swadaya masyarakat (LSM) di bidang pengembangan masyarakat. Yayasan Wisnu, berdiri sejak 25 Mei 1993 dan berkantor di Kerobokan, Kuta Utara, mengenalkan pariwisata alternatif ekowisata.
Ada lima cerita utama dalam buku ini yang dinarasikan dengan apik oleh masing-masing penutur. Bagian pertama, setelah pengantar dari mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika, adalah pengenalan tentang apa itu Jaringan Ekowisata Desa (JED). Gede Astana Jaya, Koordinator JED, menyampaikan gambaran dalam bentuk bertutur. Dia pernah bekerja di industri pariwisata massal (mass tourism).
Tapi, “Saya sering berpikir, industri priwisata selama ini hanya menjadikan orang Bali sebagai objek eksploitasi,“ tulisnya.
Gede ingin sesuatu yang lain. Dia kemudian bergabung dengan JED pada November 2006. Dia tertarik karena, menurutnya, JED adalah pengejawantahan ide model pariwisata berbasis masyarakat dan lingkungan. Ini sesuatu yang dia cari di antara hiruk pikuk pariwisata yang terlalu mengeksploitasi Bali.
JED sendiri merupakan program Yayasan Wisnu sejak 4 Juni 2002 yang melibatkan empat desa: Tenganan (Karangasem), Plaga (Badung), Sibetan (Karangasem), dan Nusa Ceningan (Klungkung). Ada tiga kegiatan utama JED yaitu ekowisata, distribusi hasil, dan koperasi simpan pinjam. Bagian yang diceritakan dalam buku ini adalah kegiatan terkait dengan ekowisata atau pariwisata kerakyatan.
Buku ini menerangkan sedikit tentang pariwisata kerakyatan. Ada dua titik tolak dalam pariwisata kerakyatan, masyarakat dan lingkungan. Sejak perencanaan, pariwisata model ini sudah melibatkan masyarakat lokal. Agar masyarakat lokal juga tidak sembarangan memutuskan, maka mereka harus mempertimbangkan lingkungan. Setelah pemetaan, masyarakat juga terlibat dalam pengelolaan.
Selain Gede, pengalaman keterlibatan dalam JED itu dituturkan oleh empat narasumber lain dalam buku ini yang mewakili empat desa anggota JED. Penuturan I Nyoman Suwita (Tenganan), I Made Sujana (Sibetan), I Gede Wiratha (Pelaga), dan I Gede Lama (Nusa Ceningan) menjadi bagian paling banyak di buku ini. Penuturan itu ditulis kembali oleh Ambarwati Kurniangsih, pengurus YayasanWisnu.
Tapi ya itu tadi, buku ini lebih sebagai dokumentasi dan publikasi profil masing-masing desa anggota JED.
I Nyoman Suwita, dalam bab tentang Tenganan, menceritakan pengalaman desanya bisa terlibat di JED. Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem adalah salah satu dari sedikit desa di Bali yang dikenal dengan nama bali aga. Kurang lebih desa tua, dengan adat dan budaya sedikit berbeda dari desa lain di Bali. Maka, Tenganan jadi salah satu desa yang banyak dikunjungi turis.
Suwita, yang sebelumnya bertugas di pos monyet, tempat di mana warga setempat duduk meminta sumbangan dari tamu yang datang, merasa ada yang tidak tepat dengan praktik pariwisata di desanya. Sebagai warga yang desanya dikunjungi ratusan turis tiap hari, Suwita merasa hanya menjadi penderita dari gurita bisnis pariwisata Bali. “Kami hanya memperoleh remah dari kue yang dimasak di pusat kendali pariwisata itu,” tuturnya.
Bersama warga lain, Suwita kemudian belajar memetakan desanya, baik potensi budaya maupun lingkungannya. Tenganan memang berbeda dengan desa umumnya di Bali. Dari agama, misalnya, warga Tenganan menganut Hindu yang mengacu pada Dewa Indra, bukan Dewa Siwa. Dewa Indra adalah dewa perang. Ini berdampak pada arsitektur desa yang disebut jaga satru dengan bentuk menyerupai benteng pertahanan.
Melalui pemetaan itu, Suwita dan penduduk Tenganan yang lain bisa mendata potensi apa saja yang mereka miliki. Salah satu potensi yang dimiliki Tenganan adalah kain gringsing. Kain ini dibuat dengan tangan, bukan mesin. Warnanya kuning, merah, dan hitam. Warna-warna ini melambangkan udara, matahari, dan air. Semula, kain ini tidak dijual, hanya untuk keperluan upacara. Namun karena permintaan turis, akhirnya kain ini dijual juga.
Selain kain gringsing, Tenganan juga punya kerajinan dari tanaman ata. Misalnya tas, keranjang, dan seterusnya.
Budaya unik yang dimiliki Tenganan adalah pendidikan tradisional. Ada ritual daha (untuk anak perempuan) dan truna nyoman (untuk anak lak-laki) sebagai simbol bahwa si anak itu sudah dewasa. Menurut saya ritual ini mirip Ospek untuk mahasiswa baru.
Pengetahuan tentang potensi lokal itu memudahkan Suwita dan teman-temannya untuk menjadi pelaku wisata di desanya sendiri. Mereka yang menemani tamu yang berkunjung ke desanya. Mereka menjadi tuan yang bisa mengenalkan dan menjaga potensi desanya sendiri “Saya membayangkan semua potensi itu bagaikana benteng yang melindungi Tenganan dari musuh yang diciptakan pembangunanisme,” tulis Suwita.
Keinginan menjadi tuan di tanah sendiri itu pula yang membuat I Made Sujana, warga Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem tertarik bergabung dengan JED. Sujana pernah bekerja sebagai buruh di galian C, Klungkung. Ketika ada pelatihan dari Wisnu terkait JED, Sujana pun bergabung.
“Melalui ekowisata desa kehidupan pertanian sebagai warisan leluhur dapat terus berjalan tanpa berbenturan dengan dinamika pariwisata,” tuturnya.
Sibetan merupakan salah satu desa sentra penghasil salak di Bali. Makanya salah satu salak yang terkenal di Bali adalah sibetan. Penjual salak di pasar Badung, misalnya, lebih pede kalau bilang salak sibetan dibanding salak tabanan. Karena itu, kegiatan pariwisata yang dikembangkan warga Sibetan adalah berkunjung ke kebun salak.
Turis yang berkunjung ke sini akan dibawa ke kebun salak untuk melihat kegiatan petani sehari-hari. Mulai merawat tanaman, memanen buah, dan seterusnya.
Semula, hampir sepertiga warga Sibetan adalah petani padi gaga dan padi lokal lainnya. Namun, akibat Revolusi Hijau, warga beralih menanam padi unggulan. Ternyata gagal karena tidak cocok ditanam di lahan tersebut. Saat ini, hampir 90 persen lahan di desa ini jadi kebun salak.
Puncak panen salak di Sibetan pada Agustus – September. Pada bulan-bulan ini harga salak bisa turun drastis karena saking banyaknya. Panen salak juga terjadi pada Januari – Februari namun jumlahnya lebih sedikit, biasa disebut panen gaduh. Pada puncak panen raya salak, harga buah berkulit kasar ini bisa turun drastis. Misalnya sampai 5 kg salak untuk 1 kg beras.
Karena harga yang turun drastis itu, maka warga setempat membuat olahan dari buah salak. Antara lain dodol (bahkan warga setempat punya ritual unik bernama ngusaba dodol sebagai penghormatan terhadap dewa melalui dodol) dan wine.
Wine di Sibetan dijual Rp 30 ribu per botol 350 ml. Sayangnya wine ini tidak bisa dipasarkan keluar karena kandungan alkoholnya sampai 12 persen. Padahal standar alkohol dari pemerintah adalah 7 persen.
Budaya unik lainnya di Sibetan adalah genjek dan megibung. Dua kegiatan ini khas daerah Karangasem. Genjek merupakan kegiatan menyanyi bersama tanpa iringan musik apa pun. Semacam akapela. Kegiatan ini dilakukan bersama sekitar 5-10 orang sambil duduk bersila melingkar. Sambil menyanyi mereka menggerakkan kepal, tangan, dan badan. Mereka bebas berekspresi. Biasanya sih dilakukan sambil minum tuak atau arak.
Adapun megibung adalah kebiasaan warga setempat untuk makan bersama ketika ada upacara atau undangan. Tradisi kuliner unik ini masih dilakukan sampai sekarang. Menu yang disantap antara lain nasi beserta ketela, jagung, kuning telur, atau campuran daun dadap dan pisang.
Kalau di Sibetan terkenal dengan salaknya, maka Desa Pelaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung terkenal dengan kopinya. Buah berasa pahit ini yang jadi komoditi andalan desa berhawa sejuk ini dalam ekowisata. I Gede Wiratha, penutur dari desa ini menceritakan pola yang tidak jauh beda dalam ekowisata.
Kopi di Pelaga ada dua jenis, robusta dan arabika. Kegiatan wisata di desa ini berupa kunjungan ke kebun kopi. Turis yang datang bisa ikut merawat tanaman sampai membuat kopi bubuk. Selain itu, turis juga bisa ikut treking menyusuri desa kalau berkunjung ke desa ini.
Untuk tradisinya, desa ini punya sekaa bleganjur, seperti halnya di desa-desa lain di Bali. Ada juga tabuh jodeg, yang menggabungkan seni musik dan seni tari. Sedangkan untuk kuliner yang khas, Desa Pelaga terkenal sebagai penghasil sarad, sesajen dari tepung beras.
Barongh adalah seni yang hampir hilang, namun akhir-akhir ini mulai dipertontonkan lagi. Salah satunya untuk mengurangi konflik, yang makin sering terjadi ketika barong makin jarang dimainkan.
Dengan ekowisata, petani kopi di Pelaga masih bisa tetap bertani namun mendapat limpahan rezeki dari pariwisata juga. Mereka tidak perlu menjual tanah untuk menikmati kue pariwisata. Ini kan banyak terjadi di Bali saat ini. Misalnya pembangunan lapangan golf di Pecatu, Kuta yang membuat petani harus pergi. Atau, di Serangan, Denpasar misalnya di mana akan dibangun kawasan wisata sehingga warga harus menjual tanahnya.
Pengalaman warga Serangan itu yang membuat warga Nusa Ceningan, Kecamatan Nusa Penida menolak proyek besar bernama Green Island yang akan dibangun oleh Pemerintah Daerah Klungkung, Bali Tourism Development Centre (BTDC), dan PT Puri Lokas Asri.
Pada 1999, investor bermaksud membangun 16 hotel bintang lima dan dua lapangan golf di pulau seluas 306 hektar ini. Konsekuensinya, warga harus menjual tanahnya. “Saya pikir Ida Betara Penguasa Ceningan tak merestui rencana itu. Kami akan berdosa pada generasi sesudah kami bila membiarkan tanah kami diambil investor,” tulis I Gede Lama di buku ini.
Warga setempat lebih memilih bercocok tana rumput laut dibanding menjual pulaunya pada investor. Kini kalau ada turis berkunjung ke Nusa Ceningan, Gede dan teman-temannya bisa melayani turis tersebut. Warga setempat menjadi diri sendiri, bukan buruh pariwisata bagi perusahaan milik orang lain.
Warga Nusa Ceningan tidak perlu terasing dari potensi mereka sendiri. Seperti kata Gede Astana Jaya, ekowisata tidak melulu soal ekonomi. Dia sekaligus usaha memanusiakan manusia itu sendiri.. [b]
Keterangan Buku
Judul Buku: Ekowisata Kerakyatan, Memiliki Kembali Bali
Penerbit: Yayasan Wisnu dan Matamera Book, Mei 2008
Penulis: Ambarwati Kurniangsih
Penutur: I Made Sujana, I Nyoman Sujana, I Gede Wirata, I Gede Lama, I Gede Astana Jaya, dan I Made Suarnatha
Tebal: 80 halaman
Untuk pemesanan buku silakan kontak Yayasan Wisnu di wisnu@wisnu.or.id atau jed@wisnu.or.id
Saya tertarik beli buku ini, bagaimana memesannya ..??