• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Tuesday, May 13, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Opini

Simbiosis Mutualisme Lokal dan Pendatang di Bali

Angga Wijaya by Angga Wijaya
9 August 2017
in Opini
0 0
0
Para pemudik menunggu menjelang keberangkatan di Terminal Ubung, Denpasar pada Juni 2017. Foto Anton Muhajir.

“Susah ya gak ada orang Jawa..,”

Begitu kawan saya berujar saat hendak berangkat kerja. Dia bingung mencari penjual nasi yang pada hari-hari biasa mudah ditemui di pinggiran jalan Kota Denpasar.

Pada masa libur panjang Idul Fitri memang susah mencari pedagang kaki lima. Penyebabnya, para pedagang yang kebanyakan pendatang (baca: orang Jawa) pergi mudik ke kampung halaman merayakan hari besar agama Islam tersebut.

Biasanya seminggu atau dua minggu setelah Idul Fitri mereka akan balik ke Denpasar dan kembali bekerja sebagai pekerja non-formal. Misalnya pedagang kaki lima, buruh bangunan, pegawai salon dan spa, montir, pembantu rumah tangga, tukang cukur, bahkan pemulung dan tukang sampah. Sisanya bekerja di sektor pariwisata seperti karyawan hotel, supir, atau satpam.

Belum ada data pasti jumlah pendatang di Denpasar. Di sebuah portal berita yang saya baca saat puncak arus mudik Lebaran lalu jumlah pemudik di pelabuhan Gilimanuk yang meninggalkan Bali berjumlah 270 ribu orang.

Dari situ kita bisa tafsirkan besarnya jumlah penduduk pendatang di Bali. Persentasenya hampir 6 persen dari sekitar 4,2 juta penduduk Bali. Lebih dari 31 persen dari sekitar 840.000 penduduk Denpasar termasuk yang berasal dari berbagai kabupaten di Bali.

Jumlah pendatang yang menetap di Denpasar tak ayal membuat Denpasar menjadi sepi saat ditinggal mudik ketika Lebaran tiba. Ruas-ruas jalan menjadi lengang, warung-warung makan dan toko-toko tutup.

Di saat seperti ini Denpasar menunjukkan wajah aslinya sebagai kota urban seperti halnya Jakarta, tujuan urbanisasi yang sebagian besar penduduknya bukan warga asli melainkan pendatang dari berbagai daerah di Indonesia.

Saya tak hendak menulis tentang relasi penduduk lokal maupun pendatang yang kerap dianggap sebagai ancaman bagi warga lokal.
Saya ingin menulis tentang relasi antara penduduk lokal dan pendatang yang “mesra” dan harmonis yang sejatinya sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Ini terbukti dengan adanya kantong-kantong penduduk muslim yang kita temui di beberapa daerah di Bali seperti di Karangasem, Buleleng dan Jembrana jauh sebelum para pendatang dari Jawa yang merantau dan menetap di Bali belasan tahun belakangan.

Cerita kawan saya di awal tulisan ini menunjukkan tergantungnya warga lokal terhadap pendatang. Sebab, sektor-sektor non-formal memang kebanyakan dikuasai oleh pendatang. Bukan berarti warga lokal tak ada yang berkecimpung di sektor non-formal seperti pedagang kaki lima. Ada tetapi tak sebanyak warga pendatang. Wacana warga pendatang yang disebut sebagai ancaman terhadap warga lokal hendaknya disikapi dengan arif agar tidak terjebak dalam isu rasial.

Saya melihat relasi warga lokal dan pendatang ibarat simbiosis mutualisme, saling membutuhkan dan menguntungkan. Bidang pekerjaan yang tak banyak dikuasai oleh warga lokal diambil alih oleh warga pendatang.

Jika memang tak ingin dikuasai warga pendatang ada baiknya warga lokal mulai mengisi sektor-sektor non-formal dan membuang jauh rasa gengsi yang sering menjadi penghambat kemajuan. Ekonomi Denpasar yang seakan “lumpuh” selama liburan Idul Fitri menjadi penanda bahwa warga pendatang berperan besar dalam perputaran ekonomi di Kota Denpasar.

Beberapa tahun terakhir ada wacana yang dicetuskan oleh seorang senator asal Bali yakni tentang pemberdayaan ekonomi orang Bali dengan memberi label “Sukla” untuk warung milik orang Bali. Label ini artinya bersih dan suci baik dari segi kebersihan maupun cara penyajian makanan.

Seorang teman dalam status FB-nya mempertanyakan istilah “sukla” ini. “Bukankah istilah sukla hanya untuk makanan atau persembahan kepada para Bhatara atau Dewa?” begitu tulis teman saya.

Kini di beberapa ruas Kota Denpasar kita temui warung berlabel agama, Warung Hindu, sebagai penanda bahwa warung tersebut adalah milik orang Bali dan beragama Hindu.

Di sebuah buku yang saya baca di masa lalu saat Soekarno berkunjung ke India heran melihat warung atau toko berlabel agama seperti warung Muslim atau Hindu. Saat itu di Indonesia tak ada warung seperti itu. Namun kini di negeri kita warung berlabel agama mudah kita jumpai. Kita menjadi begitu berbeda dan tersekat bahkan dalam urusan makan.

Jika ingin memberdayakan orang Bali menurut saya tak perlu membuat gerakan berbau rasial. Orang Bali mesti mau mengisi sektor non-formal yang selama ini diisi warga pendatang tanpa harus menciptakan label-label yang menjauhkan kita dari semangat keberagaman.

Pendidikan juga harus diperhatikan, akan sangat bagus jika banyak pemuda dan pemudi Bali mengenyam universitas baik di Bali maupun di luar Bali. Jika lapangan pekerjaan di Bali dirasa sedikit ada baiknya merantau ke luar daerah. Untuk mengasah diri dan mencari pengalaman baru.

Dengan demikian tak ada lagi yang merasa bahwa warga pendatang adalah ancaman bagi warga lokal, sebuah sentimen yang bisa memicu perpecahan dan dijadikan komoditas politik untuk meraih kekuasaan. [b]

Tags: Anugerah Jurnalisme Warga 2017BudayaCitizen Journalism Award 2017Sosial
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
Angga Wijaya

Angga Wijaya

Bernama lengkap I Ketut Angga Wijaya. Lahir di Negara, Bali, 14 Februari 1984. Menyukai dunia literasi sejak SMA. Pernah kuliah Prodi Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana. Bekerja sebagai wartawan di Denpasar.

Related Posts

Bali Hampir Habis, Semenjana dan Tergantikan

4 January 2025
Lebih dari Sekadar Wastra, Ragam Ekspresi di Roman Muka

Lebih dari Sekadar Wastra, Ragam Ekspresi di Roman Muka

22 July 2024
Napak Tilas Konflik Tanah Desa Adat Bugbug

Napak Tilas Konflik Tanah Desa Adat Bugbug

23 October 2023
TPA Suwung yang Dibalut Asap: The Aftermath

TPA Suwung yang Dibalut Asap: The Aftermath

19 October 2023
Klub Menulis Musik bersama Made Adnyana: Sisi Lain Dunia Musik

Klub Menulis Musik bersama Made Adnyana: Sisi Lain Dunia Musik

13 September 2023
Gemuruh di Bali Utara: Hulutara, Irama Utara, Beluluk (Bagian 1)

Gemuruh di Bali Utara: Hulutara, Irama Utara, Beluluk (Bagian 1)

4 September 2023
Next Post
R/C “Lawan” Profesor demi Garap Video Klip

R/C “Lawan” Profesor demi Garap Video Klip

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

matan AI

Intelektual Blangko

11 May 2025
Merawat Kreativitas dan Kebebasan Berpikir Anak Muda Melalui Muruk dan Nutur

Merawat Kreativitas dan Kebebasan Berpikir Anak Muda Melalui Muruk dan Nutur

10 May 2025
Jangan Panik, Lakukan Ini Ketika Terjadi Pemadaman Listrik

Jangan Panik, Lakukan Ini Ketika Terjadi Pemadaman Listrik

9 May 2025
KB Krama Bali Bebankan Perempuan Secara Fisik dan Mental

KB Krama Bali Bebankan Perempuan Secara Fisik dan Mental

9 May 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia