Oleh Indira Paramita, Rena Budhiarta, dan Nayika Kumara — Denpasar

Kurang dari satu kilometer dari jantung Kota Denpasar, Pasar Badung berdiri sebagai nadi kehidupan, cerminan budaya, dan wajah sejati dari kota yang tidak pernah tidur. Menilik kembali nama Denpasar yang tersusun dari kata den yang berarti di utara dan pasar, menunjukan bahwa tanpa “pasar”, Denpasar tidak akan lahir. Asal kata ini merujuk pada sebuah kota yang terletak di utara Pasar Kumbasari dan Pasar Badung (dulunya dikenal sebagai Peken Payuk). Sudah saatnya kita tidak hanya menyebut nama kota tersebut tanpa peduli pada keberlangsungan hidup di asal muasalnya.
Pukul empat pagi ketika dunia belum sepenuhnya sadar dari mimpi indah, beberapa insan telah membunuh mimpi dan menggantinya dengan keranjang di atas kepala. Berjalan dengan setitik harapan agar hari ini pun, lembaran rupiah mengisi kantong. Mereka adalah para tukang suun. Pekerjaan ini banyak dilakoni oleh perempuan, dari belia hingga lanjut usia. Mereka menopang puluhan kilogram setiap harinya tanpa memberi ruang untuk lelah. Realitas ini menampilkan bahwa tekanan ekonomi terus menghimpit masyarakat lapisan bawah, hingga tubuh perempuan menjadi andalan untuk bertahan hidup.
Di tengah geliat modernisasi, tukang suun masih menjadi wajah yang tampak di antara riuhnya Pasar Badung. Istilah suun merajuk pada aktivitas membawa barang di atas kepala. Profesi ini menawarkan layanan angkut barang dengan cara yang unik: barang diletakkan dalam keranjang yang kemudian dibawa di atas kepala. Layanan angkut barang bagi para pengguna pasar ini akan dibayar seikhlasnya, seberapa pun tangan itu rela memberi. Mereka menapaki lorong-lorong sempit dan menanjak anak tangga yang seakan tidak ada ujungnya dengan keranjang puluhan kilogram di atas kepala seolah mahir akan seni untuk menyelinap di antara punggung-punggung para pengguna pasar. Mereka bukan hanya wajah dari kehidupan pasar, tetapi juga menggambarkan ketangguhan perempuan yang memiliki tekad untuk berjalan di atas kakinya sendiri.
Pekerjaan ini menjadi pilihan dengan berbagai alasan. Seperti yang diceritakan oleh Mé Karya (60) memilih menjadi seorang tukang suun sejak berusia 30 tahun. Dahulu ia bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di Lampung, tetapi karena ada keinginan untuk kembali ke Bali namun tetap mandiri sambil bisa melihat dunia luar, Mé Karya memutuskan menjadi tukang suun. “Kalau bekerja di rumah tangga, jadi tidak bebas. Jadi tidak tahu di luar sana gimana, contohnya seperti cara meyadnya di kampung. Kalau pekerjaan sebagai asisten rumah tangga, susah pulang kampungnya. Setahun sekali belum tentu diberi izin pulang. Kalau jadi tukang suun, bisa pulang kapan saja.”
Sejalan dengan Wayan Karimiati (47) yang telah menghabiskan 23 tahun dalam hidupnya menawarkan jasa angkut barang ini. Sebelum berusia 20 tahun, Karimiati bertahan hidup dengan menjadi ART. Namun, karena adanya kewajiban menjaga anaknya yang baru lahir, ia memilih pekerjaan dengan jam kerja yang fleksibel. “Dulu kerjanya gantian dengan suami, saya kerjanya dari pagi sampai siang, dia kerja siang sampai malam. Sekarang anak sudah SMP,” katanya.
Bagi mereka, yang telah mengabdikan separuh hidupnya berada di balik tembok-tembok pasar, merasa lebih bahagia karena bisa bercakap dengan teman-teman lain, walaupun harus dihadapkan dengan beban berat. Jawaban sederhana itu mencerminkan daya tahan yang telah ditempa bertahun-tahun, bahwa dibalik tubuh para perempuan itu, terdapat kekuatan untuk memikul beban puluhan kilogram dengan harapan untuk bisa mempertahankan nyala api dapur.
Beratnya keranjang seringkali tidak seimbang dengan rupiah yang dihasilkan. Hal ini menjadi tantangan besar bagi mereka. “Semenjak kebakaran, pasar lesu. Setelah itu pandemi juga sama sepinya. Kalau pasar sepi, pengguna jasa juga sepi. Sekarang masih ada, walaupun cuma sedikit,” lanjut Mé Karya dalam ceritanya.
Dalam sekali menyuun, pendapatan yang didapat bervariasi. Ada yang memberikan selembar sepuluh ribu rupiah bahkan secarik lima ribu rupiah. Jika sedang beruntung bertemu dengan pembeli yang murah hati, lembaran lima belas ribu rupiah berhasil masuk kantong. Pada hari-hari baik, ketika langganan datang bersamaan, seratus ribu rupiah akan menemani perjalanan pulang. Namun, jika dalam keadaan sepi maka hanya tujuh puluh lima ribu rupiah dikantongi. Dengan pemasukan yang tidak tentu ini, tukang suun hanya mampu menghasilkan satu juta rupiah hingga dua juta rupiah per bulannya, yang tentu saja tidak mencapai upah minimum regional (UMR) Kota Denpasar.
Langkah Berat Minim Perlindungan

Keluhan kesehatan banyak disampaikan oleh para perempuan tukang suun tersebut. Tidak heran mengingat puluhan kilo yang disuun setiap harinya sembari menaiki anak tangga yang terlampau besar dengan jarak pijakan yang jauh membuat langkah harus dipaksa panjang, seolah tidak dirancang untuk kaki-kaki tua yang menyuun beban berat di atas kepalanya. Tubuh berkompensasi dengan tangga-tangga terjal yang tidak selalu memiliki railing. Risiko terpeleset tinggi menghantui. Nyeri lutut, tegang otot bagian leher, pundak, dan punggung, kerap dialami. Keluhan memberat seiring bertambahnya usia, terlebih pada tukang suun dengan penyakit penyerta seperti asam urat.

Keadaan ini kemudian menimbulkan pertanyaan, bagaimana perlindungan kesehatan dan sosial tenaga kerja pada para pekerja informal ini? Tidak semua tukang suun memiliki asuransi perlindungan kesehatan. Hanya dua dari tujuh tukang suun yang kami wawancarai memilikinya. Menurut Anak Agung Ngurah Wijaya Kusuma selaku Kepala Unit Pasar Badung, para tukang suun ini juga belum memiliki BPJS Ketenagakerjaan. Berdasarkan data dari Unit Pasar Badung, saat ini terdapat 160 tukang suun di lingkungan Pasar Badung. Namun, data tersebut hanya berisikan nama dan alamat para tukang suun tanpa data demografi lebih lanjut. Sejauh ini di ekosistem Pasar Badung, hanya para pedagang berpotensi yang menjadi peserta program yang dibantu aksesnya oleh pengelola pasar yang memiliki perlindungan sosial tenaga kerja ini. Menurutnya, pewaris bahkan bisa mendapat santunan hingga Rp40.000.000,00. Entah karena kurangnya kesadaran terhadap program perlindungan tenaga kerja dan hak kesehatan, atau karena keterbatasan akses informasi dan sumber daya. Namun, jika kesadaran terhadap program perlindungan tenaga kerja dan kesehatan masih rendah dengan akses yang terbatas, maka bukankah seharusnya pemerintah yang “menjemput bola” untuk menjangkau populasi rentan seperti tukang suun?

Kekosongan Kewajiban
Di sudut Pasar Badung terdapat sebuah klinik yang dijalankan oleh Yayasan Rama Sesana (YRS). YRS telah puluhan tahun memberikan bantuan sosial berkelanjutan dengan menjadi tulang punggung layanan kesehatan umum dan reproduksi di Pasar Badung. Namun, yayasan ini kini mengalami banyak perubahan yang dirasa cukup drastis. Dahulu, YRS didukung penuh oleh donor luar negeri sehingga mampu menawarkan layanan gratis. Selain itu, sebelumnya yayasan ini juga aktif melakukan kampanye kesehatan reproduksi untuk para penghuni pasar, namun kini hanya menggunakan media sosial untuk melakukan kampanye tersebut. Getok tular yang dulu efektif di ruang-ruang pasar lama kini sulit dilakukan karena desain pasar pasca revitalisasi jauh lebih tersegmentasi. Dulu ketika memberikan penyuluhan lebih mudah karena pedagang lebih dekat jaraknya dan membaur, sekarang lebih jauh dan dikelompokkan sesuai produknya. Saat ini mereka juga bergantung pada donasi sukarela karena keterbatasan dana demi klinik yang tetap dapat beroperasi walau jauh dari menguntungkan. Meski sifatnya tidak wajib, sejumlah tukang suun mengaku sungkan untuk datang berobat karena khawatir membebani. “Klinik berjalan tanpa subsidi pemerintah, dik. Honor dari mengajar, undangan TV, semua masuk ke yayasan,” ucap dr. Upadisari selaku pendiri dari YRS. Mirisnya, yayasan ini tetap ditagih biaya sewa untuk menempati sudut mungil tempat mereka melakukan pengabdian. Seolah selama ini perannya mengisi kekosongan layanan kesehatan publik di Pasar Badung, yang semestinya menjadi tanggung jawab pemerintah, memang kewajiban yayasan. Klinik YRS ini berada di lantai 1, salah satu pojok Pasar Badung dekat los bumbu dan rempah. Layanan klinik di antaranya kesehatan dasar seperti pengobatan flu batuk, dan berfokus ke kesehatan reproduksi.

Bantuan sosial dari yayasan dan perusahaan swasta kerap diasumsikan sebagai solusi permanen, seolah-olah menghapus kewajiban pemerintah dalam menyediakan perlindungan sosial yang layak dan berkelanjutan. Padahal bantuan sosial yang diberikan kepada para tukang suun, seringkali berupa sumbangan sembako yang sesungguhnya bukan merupakan solusi jangka panjang. Pemberian perlindungan kesehatan, sosial tenaga kerja dan perbaikan infrastruktur merupakan beberapa bantuan berkelanjutan yang dapat mempermudah pekerjaan sehari-hari dan memberikan rasa aman bagi tukang suun. Walau demikian, pemerintah justru cenderung hanya menjadi penyalur bantuan sosial dari yayasan dan perusahaan swasta tersebut kepada para tukang suun.
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Denpasar saat ini, I Gusti Ayu Laxmy Saraswaty menyampaikan bahwa perlindungan sosial ketenagakerjaan merupakan tanggung jawab pemberi pekerjaan. Ia menjelaskan, Dinsos Kota Denpasar memang tidak memiliki program khusus bantuan sosial ataupun perlindungan ketenagakerjaan untuk tukang suun di Pasar Badung. Hal ini, katanya, disebabkan karena sebagian besar tukang suun bukan ber-KTP Denpasar dan tidak berdomisili tetap di wilayah kota. Meskipun mereka bekerja di Pasar Badung, yang terletak di jantung Kota Denpasar, pengelompokan bantuan tetap dilakukan berdasarkan KTP dan alamat domisili, bukan lokasi kerja. Penentuan bantuan sosial dan jaminan sosial, lanjutnya, bergantung pada hasil asesmen dari kepala lingkungan dan kepala dusun di wilayah tempat tinggal mereka.
Kendati demikian, lebih lanjut, Laxmy mengungkapkan bahwa ia pernah terlibat dalam membantu tukang suun. Pada masa pandemi COVID-19, beberapa tukang suun memang sempat menerima bantuan, namun bukan dari program Dinas Sosial, melainkan bantuan inisiatif Corporate Social Responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Sekretariat Daerah Kota Denpasar. Saat itu, bantuan datang dari organisasi seperti Food Rescue dan Inti Bali, dan penggalangan CSR tersebut dikoordinasikan oleh Laxmy yang kala itu menjabat sebagai Kepala Bagian Kerja Sama.
Terkait perlindungan ketenagakerjaan, Laxmy mengarahkan sepenuhnya kepada Perumda Pasar Sewaka Dharma selaku pengelola pasar. “Kalau mau tanya tentang tukang suun, ke Perumda saja,” ujarnya. Namun, berdasarkan informasi yang kami terima dari pihak Perumda, data yang tersedia hanya terbatas pada nama, alamat asal, dan jumlah tukang suun. Tidak ada data demografi atau sistem perlindungan yang mendalam.
Informasi dari Dinsos dan Perumda menunjukkan bahwa tidak ada satu instansi yang mengklaim tanggung jawab penuh terhadap perlindungan sosial tukang suun. Mereka terjebak di antara birokrasi administratif yang berpijak pada KTP dan domisili padahal pekerja ini menopang denyut pasar di kota ini. Alih-alih adaptif terhadap realitas urban yang fluid, sistem yang ada justru kaku. Rigiditas ini menciptakan celah perlindungan di mana ruang kerja diakui sebagai milik kota, namun pekerja yang menghidupinya tidak dianggap sebagai tanggung jawab kota. Bantuan sosial yang berkolaborasi dengan CSR memang baik untuk membantu populasi rentan seperti tukang suun ini. Namun jika CSR dijadikan substitusi tetap atas tanggung jawab negara, maka ini menjadi problematik. Pemerintah seolah menggeser peran struktural negara ke sektor filantropi, dan justru memperkuat kesan bahwa perlindungan sosial sewajarnya berasal dari kebaikan hati pihak ketiga, dan bukan merupakan hak dasar warga negara.
Ini menimbulkan pertanyaan baru, jika pemerintah sendiri terjebak dengan rumitnya birokrasi administratif, CSR tidak menentu, dan tukang suun tidak memiliki pemberi kerja tetap, lalu kepada siapa sebenarnya mereka bisa bergantung? Siapa yang akan menjamin keselamatan kerja, kesehatan, dan keberlangsungan hidup mereka sebagai pekerja informal di ruang publik kota?
Peran Ganda Perempuan Bali
Di balik minimnya jaminan kesehatan dan tenaga kerja, para perempuan ini tetap menyuun beban ganda. Mayoritas perempuan yang bekerja sebagai tukang suun juga melakoni kewajiban sebagai ibu rumah tangga, sekaligus menjalankan kewajiban adat khas perempuan Bali.
Ada pagi-pagi yang dimulai sebelum matahari terbit dan malam-malam yang selesai begitu larut setelah pekerjaan di rumah rampung. Bekerja sebagai tukang suun di pasar, sekaligus mengambil peran lain yaitu sebagai pengelola rumah tangga. Di rumah, tanggung jawab domestik seperti memasak, menyiapkan banten, mencuci pakaian, atau bahkan ngempu cucu telah menanti untuk dikerjakan tanpa mengerti kondisi sendi-sendi yang perlu diistirahatkan. Seperti yang disampaikan oleh Made Kondriani mengatakan, “Bangun subuh untuk masak, buat banten saiban dan banten wedang, terus sembahyang. Sekitar jam tujuh pagi sudah berangkat ke pasar. Siangnya pulang jam satu siang, istirahat sebentar barang satu jam saja, kalau ada cucian, ya, nyuci.” Made Kondriani membagikan bahwa pekerjaan rumah dilakukan sendiri karena suami dan anak-anaknya bekerja dari pagi hingga malam. Sama halnya yang disampaikan oleh Wayan Kardiyani (60), yang telah menjadi tukang suun sejak berusia 40 tahun, mengaku, “Bangun jam 5 pagi, mebanten dulu di rumah baru berangkat ke pasar. Pulang dari nyuun, biasanya bikin canang.”

Di tengah diskursus feminisme yang memperjuangkan hak perempuan untuk bekerja, perempuan Bali telah melangkah jauh: bukan hanya bekerja, tapi mereka tak pernah berhenti bekerja. Namun, hak bekerja itu seringkali sulit dibedakan dengan kewajiban karena terdesak realitas ekonomi dan tuntutan adat. Biaya hidup yang terus naik dan biaya adat yang tidak sedikit memaksa mereka untuk jengah dan harus menguatkan diri.

Salah satu Tukang Suun di Pasar Badung, Wayan Catri (63) menjelaskan betapa lelahnya menjadi tukang suun, penopang tunggal ekonomi keluarga, dan perempuan di Bali. “Capek, kadang kesel lihat orang laki gini (tidak bekerja). Kalau meninggal ingin rasanya terlahir kembali sebagai laki-laki aja.” Kalimat ini adalah cerminan lelah yang selama ini tidak memiliki ruang untuk beristirahat dan didengar. Para tukang suun bukan sosok yang menunggu diberdayakan. Mereka telah lama menjadi pilar ekonomi keluarga dan adat, meski suaranya nyaris terlupakan oleh sibuknya dunia.
Desain yang Seharusnya Mendengar
Revitalisasi pasca kebakaran hebat yang membumihanguskan Pasar Badung di tahun 2016 silam telah rampung dilakukan kemudian bahkan sudah dikunjungi dua kali dan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo. Langkah ini kerap diagung-agungkan sebagai bentuk modernisasi dengan gedung yang berdiri tinggi, atap baru, lantai mengkilap, dan kios-kios yang rapi. Namun, di balik wajah Pasar Badung yang teramat cantik, terdapat pekerja-pekerja yang terpinggirkan. Tukang suun telah kehilangan tempatnya berpijak, yang terganti dengan anak tangga yang besar, lebar tangga yang sempit untuk bermanuver, dan tangga utama yang curam nan licin saat hujan. Terlebih lift dan eskalator hanya beroperasi di jam operasional, tanpa memikirkan mereka yang bekerja di luar jam tersebut. Mereka dihadapkan dengan kenyataan baru, tanpa benar-benar diajak bicara bersama.

Infrastruktur kerap disebut sebagai bagian dari keluhan yang dirasakan penghuni pasar. Para penghuni pasar yang senantiasa menghabiskan waktunya di pasar lah yang paling memahami denyut nadi kehidupan pasar tradisional. Namun ironisnya, berdasarkan pengakuan para tukang suun dan YRS, mereka merasa tidak pernah diajak berdiskusi dalam proses perencanaan ulang pasar pasca kebakaran. Pasar ini memang sudah berusaha untuk menjadi inklusif dengan memberikan eskalator, beberapa lift, dan ramp agar dapat diakses oleh para teman-teman disabilitas. Namun, pasar ini melupakan kepentingan mereka yang tidak hanya menyuun keranjang namun juga harapan.

Dalam arsitektur, ruang bukan hanya sekadar bentuk, ia kemudian akan mempengaruhi perilaku. Kami mewawancarai Yoka Sara, seorang arsitek senior Bali, dan mendalami pandangannya mengenai arsitektur partisipatif yang seharusnya menjadi prinsip desain revitalisasi Pasar Badung beberapa tahun silam yang erat kaitannya dengan terbentuknya perilaku dan persepsi pengguna pasar oleh bangunan pasar itu sendiri. “Bangunan itu mempengaruhi behavior penghuninya. Kalau tidak merasa memiliki, pasti habit-nya juga berbeda,” ujar Yoka. Ia menekankan bahwa desain ruang publik harus mampu mendidik civitas pasar, menciptakan rasa aman dan nyaman, juga rasa memiliki. Konsep arsitektur partisipatif seharusnya menjembatani ini dengan melibatkan seluruh civitas pasar, tidak hanya pengelola, tetapi termasuk dan tidak terbatas pada para pedagang kios, pedagang jongkok, dan tukang suun. Namun, pendekatan ini luput dilakukan pada revitalisasi Pasar Badung pasca kebakaran silam.

Yoka merupakan saksi bagaimana Sayembara Pasar Badung diadakan. Ia dan tim merupakan salah satu kelompok peserta yang menjadi finalis dari sayembara tersebut. “Lemah di data. Jadi harapan utama ‘kan di PD Pasar, nih. Saat itu statistik gimana pedagang, klasifikasinya itu nggak ada. Jadi misalnya lah, kategori pedagang jongkok, pedagang kios, tukang suun. Nah itu datanya minim sekali. Jadi secara kuantitatif, kita berasumsi di sana,” saksinya. Ini menunjukkan lagi-lagi kekosongan kewajiban yang kemudian menjadi determinan kondisi pasar saat ini. Minimnya data yang dapat diakses dan masa tenggat sayembara yang mendesak membuat ia merasa hasil kerja timnya kurang maksimal.
Awalnya keberadaan sayembara ini sungguh menggugah semangat pegiat arsitektur di Bali. Seolah ada harapan bahwa warga yang tinggal di sekitar Pasar Badung sendiri memang bisa berkontribusi untuk pasar yang dulunya kerap disapa sebagai Peken Payuk itu. Namun, menurutnya, akhirnya sayembara tersebut hanyalah sebuah formalitas. “Sayembara itu seolah hanya jadi formalitas. Tidak ada kelanjutan dari desain juara 1, 2, dan 3 yang katanya akan dikolaborasikan. Yang dibangun sama sekali nggak ada hubungannya dengan tiga besar sayembara. Bentuk akhirnya beda total,” ungkap arsitek gaek yang pemikirannya masih sangat kritis ini.
Salah satu kekhawatiran utama Yoka adalah hilangnya nyawa pasar yang sesungguhnya. “Karakter original seperti Peken Payuk itu hilang. Interaksi di pedagang jongkok itu lebih tinggi. Dulu di samping Pura Melanting tu rame pedagang,” kenang arsitek yang tumbuh besar di Banjar Gerenceng yang terletak kurang dari 500 m dari Pasar Badung. Ia menyesali bahwa revitalisasi pasar ini justru menghapus roh komunal yang dahulu sangat hidup. Kini pelataran pasar dekat Pura yang dimaksud Yoka memang sepi di pagi dan siang hari. Hanya akan mulai hidup di malam hari saat ada acara tertentu saja.
Ketika ditanya mengenai apa yang bisa dilakukan saat ini demi mewujudkan pasar yang berpihak pada rakyatnya, Yoka mengatakan bahwa perbaikan harus dimulai dari tata kelola pasar itu sendiri dengan memastikan kompetensi sumber daya manusia di dalamnya harus lebih baik. Harapannya agar revitalisasi tidak sekadar membawa wajah baru, tetapi juga berfungsi lebih manusiawi. Langkah konkret perbaikan tata kelola dapat dimulai dari membangun database civitas pasar secara sistematis. Prinsip arsitektur partisipatif perlu diterapkan dengan benar, yakni dengan melibatkan para pelaku dan pengguna pasar dalam proses perencanaan. Proses ini sebaiknya dijalankan oleh tim desain lintas disiplin, seperti arsitek, antropolog, ahli statistik, hingga perencana kota. Pendekatan lintas disiplin ini diharapkan mampu menjawab kompleksitas kebutuhan sosial dan spasial pasar tradisional. Hal-hal yang terdengar struktural ini kemudian menjadi penting, karena ia menyatakan bahwa perbaikan fisik sesungguhnya mudah. “Kalau fisik itu enggak masalah. Tinggal dibobok tangganya. Keluhannya ‘kan sudah ada, tapi dikerjakan tidak?” Pernyataan ini menunjukkan bahwa perubahan baru terjadi jika pengelola bersedia melakukannya.
Dua Dunia Berbeda di Kota yang Sama
Tren a day in my life di sosial media merupakan wujud romantisasi masyarakat kelas menengah atas terhadap rutinitasnya. Mulai dari bangun pagi, bekerja dalam kubikel di balik komputer, minum es kopi susu dari brand lokal favorit, dan menutup hari mereka dengan olahraga yang sedang hype di masa kini. Kontras terhadap fenomena tersebut, tukang suun juga memiliki a day in my life versinya yang tak dapat diromantisasi. Berisikan rutinitas padat dan berat dengan imbalan yang tidak sepadan. Bila mana pola tersebut tidak dilakukan maka tungku dapur tidak menyala, keperluan adat tidak terpenuhi, berisiko menjadi buah bibir semeton karena tidak ikut serta dalam ngayah di banjar. Dua wajah berbeda dari sebuah kota tersebut nyata adanya.
Tapi lebih dari itu, mari bersama lebih peka dan sadar, karena tak jauh dari kita, meski tak muncul di FYP, masih ada perempuan yang menyuun bukan hanya keranjang, tapi keberlangsungan hidup sebuah keluarga dan sebuah budaya di kota madya ini. Mereka tidak minta dikasihani, tapi sangat layak untuk didengar.

Sebagai warga kota, sebagai generasi muda, sebagai pembaca yang mungkin tumbuh dalam ruang yang lebih nyaman, mari sejenak bertanya, apakah pembangunan di kota ini sudah benar-benar adil? Sebab keadilan tidak akan hadir dari proyek-proyek megah yang mementingkan estetika. Namun, ia lahir dari keberanian untuk membuka mata dan telinga, melibatkan mereka yang bergerilya mencari nafkah di akar rumput.
Jika tulisan ini berhasil membuat anda gusar dan mengusik kenyamanan anda, berarti hati kita masih hidup, dan harapan akan kota yang adil dan berpihak pada warganya belum padam. Bahwa memperjuangkan keberlanjutan hidup para pelaku pasar seperti tukang suun adalah bentuk penghormatan terhadap akar sejarah kota itu sendiri.