Keramaian di kawasan Pantai Sanur. Foto oleh: I Gusti Ayu Septiari
“Kring… kring… kring…” sapaan yang tak asing membuat saya menepi untuk menghindar dari rombongan sepeda. Satu, dua, tiga, banyak sepeda lainnya yang melintas. Ada yang sendiri, ada yang berboncengan. Ada yang tertib di jalur sepeda, ada juga yang asal nyelonong di jalur pedestrian.
Suasana setiap hari di sepanjang Pantai Sanur tidak jauh-jauh dari padatnya pesepeda dan pejalan kaki. Saya pun beberapa kali menjadikan Pantai Sanur solusi untuk melepas penat. Bersepeda di Pantai Sanur sangat menyenangkan, meski harus waspada setiap waktu agar tidak menabrak pejalan kaki yang tiba-tiba muncul di jalur sepeda.
Saya terakhir kali mengunjungi Pantai Sanur bulan September tahun ini. Terhitung sudah lima tahun sejak saya mengunjungi pantai yang terletak di timur Kota Denpasar tersebut. Perbedaan yang sangat besar saya rasakan dalam rentang lima tahun. Dulu saya masih ingat tidak ada penyewaan sepeda di kawasan pantai, hanya ada ruko-ruko di jalan menuju pantai yang menyewakan sepeda. Sepeda yang disewakan pun tidak sebagus sekarang, harus dilihat dengan ekstra dulu untuk memastikan tidak ada rantai yang rusak dan rem blong.
Di pinggiran pantai masih sedikit hotel, villa, maupun restoran yang berdiri. Bangunan yang paling menarik saat itu hanya Bali Beach yang menjulang tinggi. Namun, sekarang banyak bangunan lain yang menyaingi dengan gaya arsitektur dan keramaiannya.
Pengelolaan oleh dua desa adat
Sejak tahun 2022, pengelolaan di kawasan pesisir Sanur dilakukan oleh dua Desa Adat yang diatur melalui Peraturan Walikota Denpasar Nomor 51 Tahun 2022 tentang Pedoman Pengelolaan Daya Tarik Wisata di Kawasan Pesisir Sanur. Sebagaimana yang disebutkan dalam Perwali, hal ini dilakukan untuk mewujudkan kawasan pesisir Sanur sebagai destinasi pariwisata yang ramah, bersih, indah, aman, dan berkualitas. Maka dari itu, pengelolaan diberikan kepada dua Desa Adat, yaitu Desa Adat Sanur dan Desa Adat Intaran yang dilakukan secara efektif mulai tanggal 1 Maret 2023.
Batas kewenangan pengelolaan pantai tersebut terletak di Pura Segara Aji. Area Pantai Matahari Terbit hingga Bali Beach dikelola oleh Desa Adat Sanur, sedangkan dari Pura Segara Aji hingga Muntig Siokan dikelola oleh Desa Adat Intaran. Pengelolaan tersebut dilakukan dalam empat aspek, yaitu keamanan, ketertiban, kebersihan, dan fasilitas pendukung.
Bangunan di wilayah pesisir pantai juga ditertibkan. Sebelumnya, banyak bangunan villa, hotel, maupun restoran yang menggunakan pesisir pantai untuk area bisnis. Misalnya, restoran meletakkan meja dan kursi di area pesisir, atau hotel yang menyewakan kursi di pesisir pantai.
Pantai bukan area privat
Pelaku usaha yang menggunakan area pesisir pantai untuk bisnis. Foto oleh: I Gusti Ayu Nyoman Septiari
Sebelum Perwali ditetapkan, pada tahun 2021 sempat viral video yang menunjukkan seorang ibu yang bernama Mirah dan anaknya diusir dari area pantai oleh pihak hotel dengan alasan area tersebut khusus untuk tamu hotel. Dalam video tersebut, Mirah mempertanyakan apakah pantai tersebut termasuk private beach dan tidak dapat diakses oleh publik. Padahal dirinya hanya bermain pasir bersama anaknya di depan kursi-kursi yang disewakan oleh pihak hotel.
Hal inilah yang kemudian ditertibkan oleh pengelola DTW (Daya Tarik Wisata) melalui Perwali Nomor 51 Tahun 2022. Pelaku usaha di area pantai dilarang mendirikan bangunan yang bersifat permanen untuk bisnis di pesisir pantai. “Kalau misalnya diam (bangunan permanen) seperti itu, itu membuat seakan-akan pantai itu milik mereka. Kan ada masyarakat yang juga punya hak terhadap pantai. Makanya kami terhadap pantai menzonasi juga, mana area publik, mana area UMKM, mana untuk tempat suci,” ungkap Gusti Agung Alit Kencana, Bendesa Adat Intaran ketika diwawancarai via Zoom pada 18 Oktober 2024.
Selain itu, pelaku usaha juga memerlukan izin dari desa adat untuk melaksanakan bisnis di kawasan pesisir. “Kalau dia memanfaatkan lahan pantai gitu ya untuk apa pun, apakah untuk bisnis ataupun untuk hal lain, itu harus berkoordinasi dengan desa adat. Harus minta izin, nanti kita hitung luasnya berapa yang dia pakai,” imbuh Alit Kencana. Retribusi yang dikenakan kepada pelaku usaha akan digunakan untuk memperbaiki kerusakan di area pantai, seperti air mati atau pipa bocor.
Alit Kencana menambahkan bahwa Perwali ini memberikan kekuatan hukum dalam pengelolaan pantai. Pasalnya, sebelum diberikan ke desa adat, area pesisir dikelola oleh banjar. Beberapa banjar bahkan menarik biaya kepada pelaku usaha. Namun, setelah Perwali muncul, beberapa banjar tidak rela melepas pengelolaan tersebut kepada pihak desa adat. Penolakan tersebut berupa penghadangan ketika pihak desa adat melakukan pendataan . “Itu (Perwali) sudah kami sosialisasikan. Setelah disosialisasikan kami rapatkan dan semua sudah sepakat dan setuju,” ujar Alit Kencana.
Pihak desa adat saat ini masih dalam tahap sosialisasi dan komunikasi mengenai Perwali agar semua pihak dapat tersosialisasikan dengan baik. Dengan diterapkannya Perwali ini, harapannya tidak ada kejadian serupa seperti yang dialami Mirah. Pelaku usaha pun harus tertib dan tidak ada lagi istilah privatisasi pantai karena pantai adalah hak publik.