Oleh Luh De Suriyani
Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi Universitas Udayana membuat pameran terobosan baru soal arkeologi yang dipadu dengan multimedia berjudul “Archaeology Goes to Public”. Babakan sejarah penting Indonesia, khususnya Bali dipaparkan dengan bantuan audio visual, diorama, artefak, teater, dan seni rupa.
Pameran yang berlangsung pada 25-28 September ini ini bagian dari ulang tahun ke- 50 FS Unud yang berlokasi di Jalan Pulau Nias, Denpasar. “Arkeologi di Indonesia masih menjadi bidang yang tak tersentuh dan sangat asing. Kami ingin mendekatkan masyarakat umum pada hal ini dengan membuka pameran yang interaktif,” ujar Kristiawan, dosen arkeologi Unud yang menggagas pameran ini pada Jumat (26/9) kemarin.
Sebuah tempat parkir basement FS Unud disulap menjadi ruang pameran oleh mahasiswa dan dosen jurusan arkeologi. Tak hanya pajangan artefak dan benad-benda bersejarah, tapi juga ada tayangan video, seni rupa, dan foto yang menuntun pengunjung.
Dua pilar penyangga gedung dibuat menyerupai tatahan batu yang dicorat-coret dengan pilox berwarna-warni. “Memperlihatkan sebuah tindakan vandalisme yang menjadi persoalan di bidang arkeologi,” tutur Romi Hidayat, mahasiswa arkeologi angkatan 2004.
Menurut Romi, nyaris semua situs bersejarah di Bali tercemar kegiatan vandalisme dengan mencoret situs dengan nama-nama pengunjung atau pacar mereka. Sementara di bagian tengah arena pameran terdapat layar lebar dengan tayangan video-video zaman pra sejarah.
Interaksi dengan pengunjung dibangun dengan cara memperlihatkan praktek ekskavasi ketika proses penggalian situs atau benda sejarah. Sebuah kotak galian dalam tanah dibuat lengkap dengan alat-alat penggalian serta bagaimana proses ekskavasi dilakukan.
Ada lima periode sejarah yang digambarkan dalam pameran ini. Mulai zaman pra sejarah, klasik, peradaban Islam, periode epigrafi dimana banyak ditemukan prasasti dan lontar, dan zaman kolonial.
Zaman pra sejarah ketika sejumlah benda-benda manusia purba ditemukan. Misalnya sakofagus atau kuburan batu. Lalu zaman klasik, saat alat-alat rrmah tangga semakin halus dan detail, seperti piring china dan aneka keramik.
Berikutnya datangnya peradaban Islam di Indonesia. Misalnya manuskrip aksara Lontara di Makassar. Di Bali, salah satu komunitas muslim tertua di Kelurahan Serangan, Denpasar Selatan. Masyarakat Bugis, Makassar meletakkan fondasi penting bagi kekayaan budaya yang masih lestari di Serangan. Misalnya penggunaan pola hias dan aksen pada batu nisan serta terawatnya sebuah Al-Quran tua pada abad XVII yang ditulis tangan.
Beberapa dokumen foto juga mencatat hilangnya sejumlah benda sejarah di beberapa situs di Bali. Misalnya hilangnya Arca Budha di situs Goa Gajah, Kabupaten Gianyar yang belum ditemukan hingga kini. Selain itu ada Batu Kenong, peninggalan pra sejarah yang ternyata ditemukan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Bali-NTT-NTB di sebuah artshop di Kuta.
“Kita kehilangan banyak artefak dan benda langka lain. Sampai sekarang pemerintah sulit melacaknya karena penjualan sangat mudah, misalnya lewat internet. Sayang, masyarakat tidak banyak tahu ketika benda-benda langka ini hilang dari situsnya untuk diperdagangkan,” ungkap Kristiawan.
Yang menarik, diperlihatkan juga sejumlah program menyongsong kemajuan dunia saat ini. Seperti diorama archaeology underwater dan multimedia. “Media yang beragam dapat dimanfaatkan sebagai media sosialisasi konservasi warisan budaya,” kata Kristiawan.
Pameran arkeologi multimedia yang menurut Kristiawan baru pertama kali dilaksanakan di Bali, juga untuk menarik perhatian mahasiswa dan masyarakat pada bidang arkeologi. “Penemuan benda bersejarah menandai peradaban manusia. Kami ingin manusia melihat masa lalunya dan menyadari bahwa manusia tidak lahir dari perang. Tidak ada kekerasan soal agama,” ujar Kristiawan.
Apalagi jumlah mahasiswa yang belajar arkeologi makin berkurang drastis. Tahun ini saja, jumlah mahasiswa Unud jurusan arkeologi hanya 12 orang. Menurun dibanding tahun lalu yang berjumlah 35 orang. Demikian haknya dengan bantuan dana untuk kegiatan arkeologi. Kristiawan mengatakan, untuk pameran kali ini yang dianggarkan 150 juta, hanya mendapat bantuan dana Rp 2,5 juta dari fakultas.
“Kami harus lebih atraktif memperlihatkan wajah peradaban. Jika tidak, Bali akan kehilangan generasi ahli arkeologi karena kelas-kelas bisa ditutup karena mahasiswanya sangat sedikit,” Romi mengingatkan. [b]
Mendengar Arkeologi saya menjadi merasa sedih. Sudah bergelut dengan persoalan kuno, tidak dikenal bahkan dirasakan ditak perlu oleh masyarakat. Hal ini terpulang kembali karena kelemahan pendukung ilmu itu sendiri.
Saya minta sedikit perubahan paradigma dari mereka yang menekuni arkeologi dari yang selama ini philosofi descriptive ke philosofi social problem solving. Ingat semua disiplin ilmu itu lahir karena ada persoalan di masyarakat. Jika ilmu itu mampu membantu masyarakat untuk menyelesaikan persoalannya tentu ilmu itu akan diperlukan, kalau tidak ya untuk apa.
Kata kunci :
– Perkembangan agama yang tidak mendukung kemanjuan budaya sebemarmua hanya arkeologi yang bisa menjawab tanpa takut kepongor.
– Kegelapan dalam kehidupan sosial karena superstisi yang berdampak kepada kehidupan ekonomi dan bahkan runtuhnya digniti suatu bangsa sebenarnya arkeologi yang bisa menjawab.
Jika 2 kata kunci di atas benar-benar bisa disampaikan ke masyarakat dengan elegan saya yakin tidak akan ada budaya yang menghambit kemajuan bangsa Indonesia walaupun tidak perlu menerapkan konsep melting pot-nya Paman Sam
–